Normal Baru di Tengah Pandemi COVID-19, Ini Kata Pakar UB
Kamis, 28 Mei 2020 - 10:59 WIB
MALANG - Normal baru yang mulai dikampanyekan dan bakal dilaksanakan untuk menghadapi pandemi COVID-19, memiliki sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat.
(Baca juga: 10 Hari PSBB Malang Raya, 4.589 Kendaraan Dipaksa Putar Balik )
Pakar komunikasi dan Management Krisis Universitas Brawijaya (UB) Malang, Maulina Pia Wulandari mengatakan, normal baru adalah tentang dua hal yaitu kesadaran dan displin.
"Masyarakat harus memiliki kesadaran dan displin dengan gaya hidup baru yang lebih fokus pada keselamatan dan kesehatan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Sayangnya di Indonesia masyarakatnya belum memiliki tingkat kesadaran dan disiplin yang tinggi," katanya.
Pia menambahkan, tingkat kesadaran dan disiplin yang masyarakat yang masih rendah perlu ada sanksi tegas yang mengatur. "Jika tidak ada sanksi tegas maka peraturan tersebut seolah seperti macan ompong," Ungkapnya.
Pemberian sanksi tegas akan membentuk masyarakat yang disiplin dan patuh terhadap peraturan."Seperti contohnya penerapan peraturan pemakaian seragam di sekolah. Semua murid patuh karena ada sanksi tegas yang mengatur," katanya.
Dia juga menambahkan bahwa penerapan sangksi jangan sampai transaksional. "Kalau penerapan sangsi masih bersifat transaksional dan tidak tegas, masyarakat kita cenderung tidak akan patuh karena karakter masyarakat Indonesia yang masih suka ngeyel, sak karepe dewe, dan suka menawar," kata Pia.
Normalitas baru adalah melakukan aktivitas normal dengan menggunakan standar protokol COVID-19, seperti cuci tangan sesering mungkin, menghindari menyentuh daerah wajah, menerapkan etika batuk dan bersin, gunakan masker, dan menjaga jarak sosial atau sosial distancing.
Dalam menerapkan new normal, menurutnya beberapa lokasi yang beresiko seperti sekolah, mall, tempat wisata dan panti jompo harus sepenuhnya dididik dan diberdayakan dibawah konsep normal baru. Selain itu, sistem kesehatan juga harus disiapkan apakah sudah bisa melacak setiap kasus baru.
Masyarakat harus mendapatkan sosialisasi tentang normal baru tersebut, sesuai karakteristiknya di Indonesia. Bentuk sosialisasi bisa dilakukan lewat media komunikasi tradisional misalnya pertunjukan wayang bagi masyarakat di wilayah pedesaan, dan media sosial bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan. Tujuannya agar hal ini mudah diterima masyarakat.
"Agar konsep normal bisa diterima masyarakat, maka sosialisasinya harus disesuaikan dengan kondisi demografis mereka. Sosialisasi pada masyarakat desa tentunya bisa dilakukan dengan wayang. Dan sosialisasi masyarakat perkotaan bisa dilakukan lewat media sosial. Sedangkan untuk remaja (sosialisasi) bisa lewat tokoh idola dan panutan mereka," katanya.
(Baca juga: 10 Hari PSBB Malang Raya, 4.589 Kendaraan Dipaksa Putar Balik )
Pakar komunikasi dan Management Krisis Universitas Brawijaya (UB) Malang, Maulina Pia Wulandari mengatakan, normal baru adalah tentang dua hal yaitu kesadaran dan displin.
"Masyarakat harus memiliki kesadaran dan displin dengan gaya hidup baru yang lebih fokus pada keselamatan dan kesehatan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Sayangnya di Indonesia masyarakatnya belum memiliki tingkat kesadaran dan disiplin yang tinggi," katanya.
Pia menambahkan, tingkat kesadaran dan disiplin yang masyarakat yang masih rendah perlu ada sanksi tegas yang mengatur. "Jika tidak ada sanksi tegas maka peraturan tersebut seolah seperti macan ompong," Ungkapnya.
Pemberian sanksi tegas akan membentuk masyarakat yang disiplin dan patuh terhadap peraturan."Seperti contohnya penerapan peraturan pemakaian seragam di sekolah. Semua murid patuh karena ada sanksi tegas yang mengatur," katanya.
Dia juga menambahkan bahwa penerapan sangksi jangan sampai transaksional. "Kalau penerapan sangsi masih bersifat transaksional dan tidak tegas, masyarakat kita cenderung tidak akan patuh karena karakter masyarakat Indonesia yang masih suka ngeyel, sak karepe dewe, dan suka menawar," kata Pia.
Normalitas baru adalah melakukan aktivitas normal dengan menggunakan standar protokol COVID-19, seperti cuci tangan sesering mungkin, menghindari menyentuh daerah wajah, menerapkan etika batuk dan bersin, gunakan masker, dan menjaga jarak sosial atau sosial distancing.
Dalam menerapkan new normal, menurutnya beberapa lokasi yang beresiko seperti sekolah, mall, tempat wisata dan panti jompo harus sepenuhnya dididik dan diberdayakan dibawah konsep normal baru. Selain itu, sistem kesehatan juga harus disiapkan apakah sudah bisa melacak setiap kasus baru.
Masyarakat harus mendapatkan sosialisasi tentang normal baru tersebut, sesuai karakteristiknya di Indonesia. Bentuk sosialisasi bisa dilakukan lewat media komunikasi tradisional misalnya pertunjukan wayang bagi masyarakat di wilayah pedesaan, dan media sosial bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan. Tujuannya agar hal ini mudah diterima masyarakat.
"Agar konsep normal bisa diterima masyarakat, maka sosialisasinya harus disesuaikan dengan kondisi demografis mereka. Sosialisasi pada masyarakat desa tentunya bisa dilakukan dengan wayang. Dan sosialisasi masyarakat perkotaan bisa dilakukan lewat media sosial. Sedangkan untuk remaja (sosialisasi) bisa lewat tokoh idola dan panutan mereka," katanya.
(eyt)
tulis komentar anda