Ki Wijil, Pengusir Kerajaan Jin dan Mengenalkan Logam untuk Bertani
Sabtu, 05 Juni 2021 - 05:04 WIB
Keberhasilan Ki Wijil ini membuat penduduk di kawasan itu heran. Mereka yang juga bertani di lahan yang sama tidak bisa memperoleh hasil pertanian yang melimpah. Mereka pun penasaran dan bertanya pada Ki Wijil cara untuk memperoleh hasil pertanian yang meluber di lumbung-lumbung.
Ki Wijil pun menyampaikan, dirinya memakai alat bertani dari logam. Para warga heran dan begitu takjub ketika melihat logam itu dipakai untuk bertani. Kemudahan bertani dengan logam, membuat pertanian yang dihasilkan Ki Wijil begitu melimpah. Pekerjaan yang dilakukan lebih mudah dan hasil yang diperoleh lebih banyak.
Warga kemudian saling bergantian meminjam alat dari logam yang dipakai Ki Wijil. Senyum mereka merekah. Hasil panen warga terus meningkat dan Ki Wijil senang dengan kondisi itu yang lebih mengutamakan gotong royong di tingkatan warga.
Semakin hari, Ki Wijil memahami betul kalau warganya butuh peralatan dari logam seperti miliknya. Sehingga hasil pertanian terus melimpah ruah. Seperti panggilan dari alam, Ki Wijil yang memiliki darah Empu Gandring mulai meninggalkan kegiatan di sawah dan menjadi pande besi untuk membantu masyarakat.
Setiap hari, ia menempa besi untuk dibuat cangkul, sabit, parang, mata bajak, keris, mata tombak, sampai kapak. Makin jauh, Ki Wijil begitu tersohor lewat keahlian mengolah besinya. Banyak orang yang memesan, termasuk mereka yang berasal dari daerah yang jauh.
Ki Wijil semakin dihormati dan orang-orang yang menjadi muridnya tersebar ke berbagai daerah. Setiap orang yang berguru padanya harus memiliki sebuah janji untuk terus menjual murah hasil olahan besi pada petani miskin.
Nama Ki Wijil semakin tersohor, seluruh area baru yang dulu hutan belantara kini menjadi perkampungan besar yang ditinggali para pande besi. Ahli logam yang menyuplai semua hasil ke berbagai daerah di Indonesia. Menambah hasil panen para warga di berbagai daerah dengan alat yang dibutuhkan untuk bertani.
Mulai saat itu, selepas Subuh selalu ada bunyi nyaring yang bersahutan di tiap perkampungan. Benturan besi yang memiliki irama, menembus angin dan memecah dinginnya pagi. Orang-orang pun akhirnya menyebut kawasan dulu yang dikenal dengan hutan dan Ujunggaluh dengan sebutan tang-tang-tang. Kini kawasan itu dikenal dengan nama Ketintang, sebuah lokasi bisnis dan permukiman yang begitu vital di Surabaya Selatan.
Sampai saat ini, makam Ki Wijil masih bisa dijumpai warga di Jalan Ketintang Barat II, lokasinya satu area dengan Masjid Muttaqin. Sebuah kawasan yang dulunya Ki Wijil pernah membangun surau. Para warga sampai saat ini memahami betul bagaimana gotong royong dan kesejahteraan bersama lebih penting serta bisa terus ditanam di kehidupan masyarakat.
Ki Wijil pun menyampaikan, dirinya memakai alat bertani dari logam. Para warga heran dan begitu takjub ketika melihat logam itu dipakai untuk bertani. Kemudahan bertani dengan logam, membuat pertanian yang dihasilkan Ki Wijil begitu melimpah. Pekerjaan yang dilakukan lebih mudah dan hasil yang diperoleh lebih banyak.
Warga kemudian saling bergantian meminjam alat dari logam yang dipakai Ki Wijil. Senyum mereka merekah. Hasil panen warga terus meningkat dan Ki Wijil senang dengan kondisi itu yang lebih mengutamakan gotong royong di tingkatan warga.
Semakin hari, Ki Wijil memahami betul kalau warganya butuh peralatan dari logam seperti miliknya. Sehingga hasil pertanian terus melimpah ruah. Seperti panggilan dari alam, Ki Wijil yang memiliki darah Empu Gandring mulai meninggalkan kegiatan di sawah dan menjadi pande besi untuk membantu masyarakat.
Setiap hari, ia menempa besi untuk dibuat cangkul, sabit, parang, mata bajak, keris, mata tombak, sampai kapak. Makin jauh, Ki Wijil begitu tersohor lewat keahlian mengolah besinya. Banyak orang yang memesan, termasuk mereka yang berasal dari daerah yang jauh.
Ki Wijil semakin dihormati dan orang-orang yang menjadi muridnya tersebar ke berbagai daerah. Setiap orang yang berguru padanya harus memiliki sebuah janji untuk terus menjual murah hasil olahan besi pada petani miskin.
Nama Ki Wijil semakin tersohor, seluruh area baru yang dulu hutan belantara kini menjadi perkampungan besar yang ditinggali para pande besi. Ahli logam yang menyuplai semua hasil ke berbagai daerah di Indonesia. Menambah hasil panen para warga di berbagai daerah dengan alat yang dibutuhkan untuk bertani.
Baca Juga
Mulai saat itu, selepas Subuh selalu ada bunyi nyaring yang bersahutan di tiap perkampungan. Benturan besi yang memiliki irama, menembus angin dan memecah dinginnya pagi. Orang-orang pun akhirnya menyebut kawasan dulu yang dikenal dengan hutan dan Ujunggaluh dengan sebutan tang-tang-tang. Kini kawasan itu dikenal dengan nama Ketintang, sebuah lokasi bisnis dan permukiman yang begitu vital di Surabaya Selatan.
Sampai saat ini, makam Ki Wijil masih bisa dijumpai warga di Jalan Ketintang Barat II, lokasinya satu area dengan Masjid Muttaqin. Sebuah kawasan yang dulunya Ki Wijil pernah membangun surau. Para warga sampai saat ini memahami betul bagaimana gotong royong dan kesejahteraan bersama lebih penting serta bisa terus ditanam di kehidupan masyarakat.
tulis komentar anda