Pakar Epidemiologi: Masih Ada Titik Lemah PPKM Jawa-Bali
Selasa, 12 Januari 2021 - 15:00 WIB
SURABAYA - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali sampai 25 Januari mendatang masih memunculkan pro dan kontra. Ada beberapa alternatif memutus mata rantai penularan COVID-19 yang bisa dilakukan secara masif.
Pakar Biostatistika Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. Windhu Purnomo, dr., MS menuturkan, kebijakan tersebut tepat dilakukan untuk menekan penularan virus COVID-19. Ada catatan yang harus diberikan dalam penerapan PPKM. “Pembatasan mobilitas masyarakat bisa menjadi salah satu upaya pencegahan penularan virus yang dapat dengan mudah menularkan melalui interaksi jarak dekat,” kata Windhu, Selasa (12/1/2021)
Inisiator Tim Advokasi PSBB & Surveilans COVID-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair ini menambahkan, pelaksanaan PPKM hendaknya dilakukan secara serentak di seluruh Jawa-Bali. Hal tersebut dimaksudkan untuk menekan penularan COVID-19 secara total. (Baca juga: PKM Berlaku Mulai Hari Ini, Operasional Bus Transjakarta Berakhir Pukul 20.00 WIB)
“Kalau kita mau membatasi pergerakan itu yang betul-betul harus dilakukan di seluruh wilayah pulau Jawa, Madura, dan Bali. Misalnya Surabaya sekarang PPKM yang lainnya tidak, nanti ada DKI Jakarta juga PPKM tapi Bekasi dan Depok tidak, percuma saja. Jadi, artinya PPKM itu namanya parsial dan yang terjadi penularan akan pingpong atau gampangnya itu penularan akan bolak-balik saja,” tegasnya.
Windhu menambahkan, jika memang pembatasan dilaksanakan di daerah tertentu dan pergerakan tetap berjalan, hendaknya yang boleh beraktivitas hanya sektor yang esensial. Salah satunya sektor yang berkenaan dengan kebutuhan bahan pokok dan pom bensin sebagai penyedia energi untuk distribusi logistik.
“Tapi nyatanya kan yang direncanakan pemberlakuan seperti jam malam sampai pukul 20.00 WIB. Resto dibatasi tapi orang yang boleh makan di tempat 25 persen. Beribadah di gereja, di masjid 50 persen saja. Sektor non-esensial masih dibuka dan pergerakan tetap berjalan,” jelasnya.
Baginya, PPKM merupakan pilihan, jika tidak melaksanakan boleh saja. Namun, pemerintah harus melakukan pencarian kasus sebanyak mungkin melalui testing dan tracing yang saat ini sangat lemah. Dengan begitu, penularan akan terkendali dengan baik karena telah terdeteksi.
“Sekarang ini banyak kasus di bawah permukaan yang belum terdeteksi, yang diumumkan hanya puncak gunung es. Indonesia kemarin umumkan ada 9.000 kasus per hari, apa memang cuma 9.000 Indonesia itu di masyarakat mungkin bisa 5 sampai 10 kali lipat itu sesungguhnya. Tapi kita tidak mampu mendeteksi karena testing kita rendah, tracing kita jelek,” jelasnya. ( Baca juga: Tidak Ada Momen Libur Panjang, Anies Berharap Penurunan Kasus Covid-19 Bisa Tuntas)
Selain itu, ada juga tugas yang tak kalah penting. Yaitu, mengembalikan kedisiplinan masyarakat dengan melakukan kontrol protokol kesehatan 3M: mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak. Juga membuat gerakan masyarakat dengan memberdayakan para kader yang sudah ada, seperti kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), kader kesehatan, dan kader Keluarga Berencana (KB).
Pakar Biostatistika Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. Windhu Purnomo, dr., MS menuturkan, kebijakan tersebut tepat dilakukan untuk menekan penularan virus COVID-19. Ada catatan yang harus diberikan dalam penerapan PPKM. “Pembatasan mobilitas masyarakat bisa menjadi salah satu upaya pencegahan penularan virus yang dapat dengan mudah menularkan melalui interaksi jarak dekat,” kata Windhu, Selasa (12/1/2021)
Inisiator Tim Advokasi PSBB & Surveilans COVID-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair ini menambahkan, pelaksanaan PPKM hendaknya dilakukan secara serentak di seluruh Jawa-Bali. Hal tersebut dimaksudkan untuk menekan penularan COVID-19 secara total. (Baca juga: PKM Berlaku Mulai Hari Ini, Operasional Bus Transjakarta Berakhir Pukul 20.00 WIB)
“Kalau kita mau membatasi pergerakan itu yang betul-betul harus dilakukan di seluruh wilayah pulau Jawa, Madura, dan Bali. Misalnya Surabaya sekarang PPKM yang lainnya tidak, nanti ada DKI Jakarta juga PPKM tapi Bekasi dan Depok tidak, percuma saja. Jadi, artinya PPKM itu namanya parsial dan yang terjadi penularan akan pingpong atau gampangnya itu penularan akan bolak-balik saja,” tegasnya.
Windhu menambahkan, jika memang pembatasan dilaksanakan di daerah tertentu dan pergerakan tetap berjalan, hendaknya yang boleh beraktivitas hanya sektor yang esensial. Salah satunya sektor yang berkenaan dengan kebutuhan bahan pokok dan pom bensin sebagai penyedia energi untuk distribusi logistik.
“Tapi nyatanya kan yang direncanakan pemberlakuan seperti jam malam sampai pukul 20.00 WIB. Resto dibatasi tapi orang yang boleh makan di tempat 25 persen. Beribadah di gereja, di masjid 50 persen saja. Sektor non-esensial masih dibuka dan pergerakan tetap berjalan,” jelasnya.
Baginya, PPKM merupakan pilihan, jika tidak melaksanakan boleh saja. Namun, pemerintah harus melakukan pencarian kasus sebanyak mungkin melalui testing dan tracing yang saat ini sangat lemah. Dengan begitu, penularan akan terkendali dengan baik karena telah terdeteksi.
“Sekarang ini banyak kasus di bawah permukaan yang belum terdeteksi, yang diumumkan hanya puncak gunung es. Indonesia kemarin umumkan ada 9.000 kasus per hari, apa memang cuma 9.000 Indonesia itu di masyarakat mungkin bisa 5 sampai 10 kali lipat itu sesungguhnya. Tapi kita tidak mampu mendeteksi karena testing kita rendah, tracing kita jelek,” jelasnya. ( Baca juga: Tidak Ada Momen Libur Panjang, Anies Berharap Penurunan Kasus Covid-19 Bisa Tuntas)
Selain itu, ada juga tugas yang tak kalah penting. Yaitu, mengembalikan kedisiplinan masyarakat dengan melakukan kontrol protokol kesehatan 3M: mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak. Juga membuat gerakan masyarakat dengan memberdayakan para kader yang sudah ada, seperti kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), kader kesehatan, dan kader Keluarga Berencana (KB).
(don)
tulis komentar anda