Pakar Hukum: Sertifikat Lahan di Atas Laut Diperbolehkan dalam UU Agraria
Kamis, 06 Februari 2025 - 22:15 WIB
JAKARTA - Kepemilikan sertifikat berupa Sertifikat Hak Milik (SHM), maupun Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan pesisir, adalah hal yang lumrah. Hal itu diatur dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA).
"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Suwardjono, dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisisr. Sebut saja Suku Bajo yang kondang dengan permukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pada 2022, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang kala itu dipimpin Sofyan Djalil menyerahkan HGB kepada Suku Bajo. Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
"Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," terang Prof Maria.
Sebelumnya, Pakar Hukum Agraria UGM, Prof Nurhasan Ismail menerangkan pasal 1 ayat 4 UU PA menyatakan, pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.
Khusus tanah di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait.
"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Suwardjono, dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisisr. Sebut saja Suku Bajo yang kondang dengan permukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Baca Juga
Pada 2022, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang kala itu dipimpin Sofyan Djalil menyerahkan HGB kepada Suku Bajo. Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
"Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," terang Prof Maria.
Sebelumnya, Pakar Hukum Agraria UGM, Prof Nurhasan Ismail menerangkan pasal 1 ayat 4 UU PA menyatakan, pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.
Khusus tanah di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait.
Lihat Juga :
tulis komentar anda