Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda

Selasa, 19 November 2024 - 08:04 WIB


Hal ini dapat diartikan sebagai perlambang suatu perhimpunan atau pergerakan yang merefleksikan sebuah perjuangan melawan kebatilan dan kezaliman, dengan harapan keselamatan dunia serta akhirat untuk para pengikut Pangeran Diponegoro.

"Nama Kanjeng Kyai Cokro sendiri merujuk pada bentuknya, berupa cakra, yang dipakai dalam prosesi pelantikan Pangeran Diponegoro menjadi Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ats Tsani Ratu Paneteg Panatagama Satanah Jawi," jelasnya.

Disebabkan seorang pangeran tak dapat memberikan perintah kepada sesama pangeran, untuk mempermudah rantai komando organisasi, maka gelar tersebut disematkan dan digunakan Pangeran Diponegoro sebagai penanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa.

Sebagai informasi saja, ada kurang lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro.

“Jadi penggunaan gelar tersebut tidak untuk menentang institusi keraton dan rajanya, namun digunakan untuk melawan Belanda dan londo ireng (pribumi yang memihak Belanda)," ucapnya.

Para pihak yang berseberangan, menganggap bahwa gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro identik dengan makar atau pemberontakan, bahkan berandalan.

Narasi ini terdapat dalam Babad Diponegoro lan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, bupati pertama Purworejo yang memihak Belanda.

"Saat ini, keberadaan Kanjeng Kyai Cokro dan beberapa artefak pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro, seperti Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu dan lain-lain, tersimpan dan menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta," tandasnya.
(shf)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content