Kisah Serangan Umum Arek Malang, Membuktikan Kemerdekaan di Tengah Gempuran Belanda
Rabu, 28 Agustus 2024 - 10:04 WIB
Di tengah riuh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tak hanya Yogyakarta yang menjadi panggung pertempuran penting melawan penjajah Belanda . Kota Malang, dengan keberanian dan tekad arek-areknya, turut menorehkan sejarah melalui serangan umum yang dilancarkan oleh para pejuang gerilyawan, membuktikan bahwa semangat kemerdekaan Indonesia masih menyala terang di segala penjuru tanah air.
Pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda dan sekutunya berusaha kembali merebut wilayah Indonesia, termasuk Malang. Namun, langkah mereka tak berjalan mulus. Tanggal 21 Juli 1947 menjadi saksi masuknya pasukan Belanda ke Malang, tetapi mereka segera dihadang oleh gelombang perlawanan yang tak terduga. Para pejuang yang berkolaborasi dengan arek-arek Malang melancarkan serangan balik, yang menggetarkan kekuatan penjajah.
Eko Irawan, pemerhati sejarah Malang, menjelaskan bahwa serangan umum di Malang ini bukan sekadar serangan biasa, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa Indonesia masih kuat, masih berdiri. "Perintah serangan umum itu sebenarnya tidak hanya di Jogja, tapi hampir di seluruh Indonesia yang memiliki pasukan, termasuk di Malang setelah tahun 1945," ungkap Eko.
Yang membuat perlawanan di Malang begitu kuat adalah fakta bahwa hampir setiap pejuang di sana sudah dipersenjatai. Senjata-senjata tersebut sebagian besar didapat dari rampasan tentara Jepang yang sebelumnya berhasil diusir oleh rakyat Indonesia. Kondisi ini menjadikan pasukan pejuang di Malang sebagai kekuatan yang tak bisa diremehkan.
Pada bulan Juli 1947, Belanda kembali mencoba menguasai Malang. Namun, serangan pertama yang dipimpin oleh para gerilyawan dari markas komando di Sumbersari segera menggagalkan ambisi tersebut. Mereka tak hanya bertempur, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Serangan kedua yang tak kalah heroik terjadi pada bulan Oktober 1948. Pasukan gerilyawan kembali bergerak dari markas di Sumbersari, dan kali ini pertempuran berlanjut hingga ke pinggiran kota, tepatnya di daerah yang kini dikenal sebagai Taman Rekreasi Sengkaling. Serangan ini bukanlah pertempuran untuk menang secara langsung, tetapi lebih sebagai pernyataan eksistensi yang membuktikan bahwa Indonesia masih ada, masih berjuang.
Pertempuran di Sengkaling, meskipun hanya berlangsung beberapa jam, berhasil menegaskan pesan penting: kemerdekaan Indonesia bukan sekadar klaim kosong, melainkan sebuah kenyataan yang akan terus dipertahankan, meski harus melawan kekuatan besar seperti Belanda.
Serangan-serangan ini, meskipun tidak sebesar dan seterkenal Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, menunjukkan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan terjadi di setiap sudut Indonesia, dengan cara dan keberanian yang berbeda-beda. Di Malang, keberanian arek-arek Malang bersama para pejuang gerilyawan membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang layak diperjuangkan hingga tetes darah penghabisan.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda dan sekutunya berusaha kembali merebut wilayah Indonesia, termasuk Malang. Namun, langkah mereka tak berjalan mulus. Tanggal 21 Juli 1947 menjadi saksi masuknya pasukan Belanda ke Malang, tetapi mereka segera dihadang oleh gelombang perlawanan yang tak terduga. Para pejuang yang berkolaborasi dengan arek-arek Malang melancarkan serangan balik, yang menggetarkan kekuatan penjajah.
Eko Irawan, pemerhati sejarah Malang, menjelaskan bahwa serangan umum di Malang ini bukan sekadar serangan biasa, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa Indonesia masih kuat, masih berdiri. "Perintah serangan umum itu sebenarnya tidak hanya di Jogja, tapi hampir di seluruh Indonesia yang memiliki pasukan, termasuk di Malang setelah tahun 1945," ungkap Eko.
Baca Juga
Yang membuat perlawanan di Malang begitu kuat adalah fakta bahwa hampir setiap pejuang di sana sudah dipersenjatai. Senjata-senjata tersebut sebagian besar didapat dari rampasan tentara Jepang yang sebelumnya berhasil diusir oleh rakyat Indonesia. Kondisi ini menjadikan pasukan pejuang di Malang sebagai kekuatan yang tak bisa diremehkan.
Pada bulan Juli 1947, Belanda kembali mencoba menguasai Malang. Namun, serangan pertama yang dipimpin oleh para gerilyawan dari markas komando di Sumbersari segera menggagalkan ambisi tersebut. Mereka tak hanya bertempur, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Serangan kedua yang tak kalah heroik terjadi pada bulan Oktober 1948. Pasukan gerilyawan kembali bergerak dari markas di Sumbersari, dan kali ini pertempuran berlanjut hingga ke pinggiran kota, tepatnya di daerah yang kini dikenal sebagai Taman Rekreasi Sengkaling. Serangan ini bukanlah pertempuran untuk menang secara langsung, tetapi lebih sebagai pernyataan eksistensi yang membuktikan bahwa Indonesia masih ada, masih berjuang.
Pertempuran di Sengkaling, meskipun hanya berlangsung beberapa jam, berhasil menegaskan pesan penting: kemerdekaan Indonesia bukan sekadar klaim kosong, melainkan sebuah kenyataan yang akan terus dipertahankan, meski harus melawan kekuatan besar seperti Belanda.
Serangan-serangan ini, meskipun tidak sebesar dan seterkenal Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, menunjukkan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan terjadi di setiap sudut Indonesia, dengan cara dan keberanian yang berbeda-beda. Di Malang, keberanian arek-arek Malang bersama para pejuang gerilyawan membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang layak diperjuangkan hingga tetes darah penghabisan.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(hri)
tulis komentar anda