Patih Djojodigdo, Pemilik Ilmu Abadi yang Makamnya Digantung
Senin, 20 Maret 2023 - 05:28 WIB
Sebelumnya pada tahun 2007, erupsi Gunung Kelud memunculkan kubah (anak kelud). Letusan dahsyat Gunung Kelud, juga berlangsung pada tahun 1965, dan 1990. Material batu pijar menyembur ke angkasa, dan saat jatuh meluluh lantakkan banyak bangunan rumah.
Tidak sedikit warga yang tewas akibat tertimpa material atau tertindih bangunan rumah. Namun warga yang mengungsi di kediaman Eyang Djojodigdo, selamat. "Hanya hujan debu. Tidak sampai ada lahar," kata Mbah Lasiman, yang pada saat wawancara tahun 2021 sudah 11 tahun menjaga Pesanggrahan Djojodigdan.
Pesanggrahan Djojodigdan merupakan nama kediaman Patih Kadipaten Blitar, Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo atau Eyang Djojodigdo, pemilik Pecut Samandiman yang mampu mengusir lahar Gunung Kelud. Patih Djojodigdo juga rutin menggelar ritual rampogan macan, sebagai tolak balak amukan Gunung Kelud.
Pawadiman Djojodigdo lahir 28 Juli 1827 di Kulon Progo, Yogyakarta. Ia lahir di tengah berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Kartodiwirjo, ayah Djojodigdo seorang Adipati Nggetan, Kulon Progo, yang bergelar Raden Mas Tumenggung (RMT). RMT Kartodiwirjo berpihak kepada Diponegoro, dan bahkan turut bergerilya.
Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda, membuat karir Kartodiwirjo di pemerintahan berakhir. Sebagaimana nasib pengikut Diponegoro yang lain. Kolonial Belanda juga memburunya.
Pawadiman Djojodigdo yang masih berumur belasan tahun, tumbuh mandiri. Ia menempa diri dengan menempuh laku riyadhoh (tirakat) serta berkelana. Ia berguru kepada orang–orang yang memiliki kemampuan spiritual, termasuk kepada Eyang Jugo atau Mbah Jugo.
Eyang Jugo atau Mbah Jugo tak lain dari Raden Mas Suryo Diatmojo, putra Kiai Zakaria, ulama besar Kraton Yogyakarta. Karenanya ada juga yang memanggil Mbah Jugo dengan sebutan Kiai Zakaria II.
Mbah Jugo juga salah satu pimpinan pasukan laskar Diponegoro, yang terpaksa menyamar untuk menghindari kejaran. Nama Jugo ia peroleh saat masih bermukim di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.
Tidak sedikit warga yang tewas akibat tertimpa material atau tertindih bangunan rumah. Namun warga yang mengungsi di kediaman Eyang Djojodigdo, selamat. "Hanya hujan debu. Tidak sampai ada lahar," kata Mbah Lasiman, yang pada saat wawancara tahun 2021 sudah 11 tahun menjaga Pesanggrahan Djojodigdan.
Pesanggrahan Djojodigdan merupakan nama kediaman Patih Kadipaten Blitar, Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo atau Eyang Djojodigdo, pemilik Pecut Samandiman yang mampu mengusir lahar Gunung Kelud. Patih Djojodigdo juga rutin menggelar ritual rampogan macan, sebagai tolak balak amukan Gunung Kelud.
Pawadiman Djojodigdo lahir 28 Juli 1827 di Kulon Progo, Yogyakarta. Ia lahir di tengah berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Kartodiwirjo, ayah Djojodigdo seorang Adipati Nggetan, Kulon Progo, yang bergelar Raden Mas Tumenggung (RMT). RMT Kartodiwirjo berpihak kepada Diponegoro, dan bahkan turut bergerilya.
Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda, membuat karir Kartodiwirjo di pemerintahan berakhir. Sebagaimana nasib pengikut Diponegoro yang lain. Kolonial Belanda juga memburunya.
Pawadiman Djojodigdo yang masih berumur belasan tahun, tumbuh mandiri. Ia menempa diri dengan menempuh laku riyadhoh (tirakat) serta berkelana. Ia berguru kepada orang–orang yang memiliki kemampuan spiritual, termasuk kepada Eyang Jugo atau Mbah Jugo.
Eyang Jugo atau Mbah Jugo tak lain dari Raden Mas Suryo Diatmojo, putra Kiai Zakaria, ulama besar Kraton Yogyakarta. Karenanya ada juga yang memanggil Mbah Jugo dengan sebutan Kiai Zakaria II.
Mbah Jugo juga salah satu pimpinan pasukan laskar Diponegoro, yang terpaksa menyamar untuk menghindari kejaran. Nama Jugo ia peroleh saat masih bermukim di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.
tulis komentar anda