Ketika NU Kecewa, Tarik Diri lalu Jadi Partai Politik hingga Pecundangi Masyumi

Rabu, 08 Februari 2023 - 05:49 WIB
Ketegangan itu dipicu adanya perubahan kepemimpinan, kebijakan, peraturan dan sikap partai terhadap ulama tradisionalis. Semua perubahan yang merugikan NU itu adalah hasil Kongres Masyumi ke-4 pada Desember 1949 di Yogyakarta.

Kongres telah mengantarkan Moh Natsir sebagai Ketua DPP dan sekaligus menjadikan orang-orangnya mendominasi partai.

Melalui peraturan barunya, Natsir menyempitkan peran Majelis Syuro (Dewan Penasihat) yang diketuai KH Wahab Chasbullah. Dewan Syuro dilarang mencampuri urusan politik dan hanya dibolehkan memberi fatwa terkait hukum Islam.

Sementara di Masyumi, satu-satunya lembaga kepemimpinan yang didominasi NU hanya Majelis Syuro. NU memandang anggaran dasar baru itu meletakkan politisi pada posisi lebih tinggi dari ulama.

“Perubahan peran ulama dan Majelis Syuro ini merupakan penyebab utama pertikaian antara NU dengan kelompok Natsir,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967.

Di dalam Kongres Masyumi ke-4 di Yogyakarta itu, serangan kaum modernis terhadap ulama tradisionalis juga diperlihatkan terang-terangan. Wali Kota Yogyakarta, Mr Saleh melontarkan ucapan yang memerahkan telinga warga NU.

Dikatakan politik merupakan dunia yang luas, dan bukan hanya menyangkut peristiwa seputar pondok dan pesantren. Ia juga mengatakan masalah politik terlalu luas untuk didiskusikan sambil menggenggam tasbih.

“Ucapan itu mengundang protes keras kaum tradisionalis, yang akhirnya menyebabkan utusan NU meninggalkan sidang,” kata Amak Fadholi dalam buku Partai NU.

NU semakin kecewa ketika usulan pengubahan struktur di Masyumi ditolak. Sebagai kekuatan terbesar di Masyumi, NU merasakan adanya pembagian kekuasaan yang tak seimbang.

Pasca Kongres Masyumi 1949 sejumlah aktivis NU mulai berkampanye untuk menarik diri dari Masyumi.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More