Sepekan, Target Transaksi hingga Rp4 M
A
A
A
YOGYAKARTA - Batu akik, siapa tak yang tak tahu? Bagi yang tak suka pun tak bisa lagi menghindar dari kepungan pencinta batu akik yang tengah booming. Bagi pebisnis, kondisi ini menjadi lahan baru, baik untuk ikut berjualan atau sekadar memfasilitasi dengan menggelar pameran. Opsi ini yang dipilih Dwi Suyono.
Dia memilih menggelar pameran batu akik secara reguler setiap Selasa Wage. Lokasinya di Jalan Kenari dekat kompleks Balai Kota Yogyakarta. Model ini jadi pembeda karena pameran sejenis biasanya digelar insidental dan tidak terjadwal. Tapi, pola ini justru menjadi daya tarik tersendiri baik bagi penjual maupun pembelinya. Terbukti, pameran ini sudah masuk pameran ketiga kalinya dan selalu mendapat respons positif.
Dari sisi omzet misalnya, pada pameran pertama transaksi yang diraih pada pameran yang digelar hampir sepekan mencapai Rp1 miliar. Event kedua naik menjadi Rp1,5 miliar dan pada gelaran ketiga, naik lagi. Hingga hari keempat, transaksi sudah mencapai Rp2 miliar. “Targetnya transaksi mencapai Rp4 miliar sampai pameran ditutup pada Minggu besok. Kami optimis terealisasi karena animonya cukup tinggi,” ucap Dwi.
Dia menyebut, pameran secara reguler memberi banyak keuntungan. Pameran bisa mendatangkan penjual dalam skala besar karena waktunya yang terjadwal. Pembeli juga tak perlu repot mencari karena jadwal pameran sudah ditetapkan. Pada pameran ketiga kalinya, Dwi menyebut, total stan mencapai 60. Mereka tidak saja berasal dari wilayah DIY dan sekitarnya, tapi juga luar daerah seperti Sukabumi, Jawa Barat bahkan ada peserta yang berasal dari Aceh.
Dua hari lalu, tempat pameran ini bahkan sempat dikunjungi rombongan dari DPRD Nabire, Papua. Mereka melihat langsung potensi perbatuan yang diperjualbelikan di lokasi ini. Dwi menyebut, ada pergeseran minat pembeli pada batu. Jika sebelumnya pembeli lebih banyak membentuk barang kali, kini pembeli justru lebih suka mencari bahan yang bisa dikreasikan dan dibentuk sendiri. “Di pameran semuanya ada, bongkahan, pemolesan, maupun emban,” katanya.
Ini juga didukung batu lokal yang kini mulai naik kelas. Batu lokal memiliki kekuatan dari sisi motif karena memiliki banyak gambar yang cukup unik. Kekuatan artistik inilah yang lambat laun membuat batuan lokal banyak diburu pencinta batu. Perubahan lain, pencinta batu yang datang kini tidak hanya kaum Adam, tapi juga kaum Hawa. Mereka datang mencari batu incaran.
Dalam sehari, tingkat kunjungan pameran mencapai 5.000 orang lebih. M Rifai, penjual batu asal Sukabumi mengaku, sudah dua kali mengikuti pameran di Yogyakarta. Menurutnya, animo pembeli cukup tinggi, terutama pada batuan kelas menengah bawah yang harganya relatif terjangkau. “Kami bawa batu dari daerah, kebanyakan dari Sukabumi atau Garut. Bedanya memang dari sisi harga, batuan dari Garut lebih mahal dari produk Sukabumi. Tapi kami konsisten dengan produk lokal,” katanya.
Ia mengaku diuntungkan dengan pameran yang sudah terjadwal rapi. Dengan begitu, ia bisa mengatur waktu untuk membuka stan di daerah lain. “Biasanya muter, tapi yang di sini rutin akan ikut,” katanya. Joko tak jauh berbeda. Pencinta batu yang sudah mengoleksi beberapa jenis, mulai kecubung hingga pancawarna ini, masih terus berburu. Ia masih menambah koleksi bebatuannya. Agenda rutin pameran dijadikan rujukan untuk menambah koleksi.
“Sekarang musimnya akik, jadi tambah koleksi terus. Tidak ada ruginya karena bisa diperjualbelikan. Keuntungannya juga lumayan. Jadi mumpung masih booming,nyari untuk koleksi sekalian bisnis,” ucapnya.
Sodik
Dia memilih menggelar pameran batu akik secara reguler setiap Selasa Wage. Lokasinya di Jalan Kenari dekat kompleks Balai Kota Yogyakarta. Model ini jadi pembeda karena pameran sejenis biasanya digelar insidental dan tidak terjadwal. Tapi, pola ini justru menjadi daya tarik tersendiri baik bagi penjual maupun pembelinya. Terbukti, pameran ini sudah masuk pameran ketiga kalinya dan selalu mendapat respons positif.
Dari sisi omzet misalnya, pada pameran pertama transaksi yang diraih pada pameran yang digelar hampir sepekan mencapai Rp1 miliar. Event kedua naik menjadi Rp1,5 miliar dan pada gelaran ketiga, naik lagi. Hingga hari keempat, transaksi sudah mencapai Rp2 miliar. “Targetnya transaksi mencapai Rp4 miliar sampai pameran ditutup pada Minggu besok. Kami optimis terealisasi karena animonya cukup tinggi,” ucap Dwi.
Dia menyebut, pameran secara reguler memberi banyak keuntungan. Pameran bisa mendatangkan penjual dalam skala besar karena waktunya yang terjadwal. Pembeli juga tak perlu repot mencari karena jadwal pameran sudah ditetapkan. Pada pameran ketiga kalinya, Dwi menyebut, total stan mencapai 60. Mereka tidak saja berasal dari wilayah DIY dan sekitarnya, tapi juga luar daerah seperti Sukabumi, Jawa Barat bahkan ada peserta yang berasal dari Aceh.
Dua hari lalu, tempat pameran ini bahkan sempat dikunjungi rombongan dari DPRD Nabire, Papua. Mereka melihat langsung potensi perbatuan yang diperjualbelikan di lokasi ini. Dwi menyebut, ada pergeseran minat pembeli pada batu. Jika sebelumnya pembeli lebih banyak membentuk barang kali, kini pembeli justru lebih suka mencari bahan yang bisa dikreasikan dan dibentuk sendiri. “Di pameran semuanya ada, bongkahan, pemolesan, maupun emban,” katanya.
Ini juga didukung batu lokal yang kini mulai naik kelas. Batu lokal memiliki kekuatan dari sisi motif karena memiliki banyak gambar yang cukup unik. Kekuatan artistik inilah yang lambat laun membuat batuan lokal banyak diburu pencinta batu. Perubahan lain, pencinta batu yang datang kini tidak hanya kaum Adam, tapi juga kaum Hawa. Mereka datang mencari batu incaran.
Dalam sehari, tingkat kunjungan pameran mencapai 5.000 orang lebih. M Rifai, penjual batu asal Sukabumi mengaku, sudah dua kali mengikuti pameran di Yogyakarta. Menurutnya, animo pembeli cukup tinggi, terutama pada batuan kelas menengah bawah yang harganya relatif terjangkau. “Kami bawa batu dari daerah, kebanyakan dari Sukabumi atau Garut. Bedanya memang dari sisi harga, batuan dari Garut lebih mahal dari produk Sukabumi. Tapi kami konsisten dengan produk lokal,” katanya.
Ia mengaku diuntungkan dengan pameran yang sudah terjadwal rapi. Dengan begitu, ia bisa mengatur waktu untuk membuka stan di daerah lain. “Biasanya muter, tapi yang di sini rutin akan ikut,” katanya. Joko tak jauh berbeda. Pencinta batu yang sudah mengoleksi beberapa jenis, mulai kecubung hingga pancawarna ini, masih terus berburu. Ia masih menambah koleksi bebatuannya. Agenda rutin pameran dijadikan rujukan untuk menambah koleksi.
“Sekarang musimnya akik, jadi tambah koleksi terus. Tidak ada ruginya karena bisa diperjualbelikan. Keuntungannya juga lumayan. Jadi mumpung masih booming,nyari untuk koleksi sekalian bisnis,” ucapnya.
Sodik
(ftr)