Sultan Tak Diakui Lagi sebagai Raja

Kamis, 07 Mei 2015 - 09:31 WIB
Sultan Tak Diakui Lagi sebagai Raja
Sultan Tak Diakui Lagi sebagai Raja
A A A
BANTUL - Persoalan di Keraton Yogyakarta semakin meruncing. Keluarga besar Keraton Yogyakarta tidak lagi mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sebagai Ngarso Dalem alias Raja dan Gubernur DIY.

Alasannya, Ngarso Dalem menggunakan gelar khalifatullah dan Hamengku Buwono, bukan Hamengku Bawono. Sabdaraja yang dikeluarkan Sultan juga menyebabkan kekisruhan di tubuh Keraton Ngayogyakarto dan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.

Adik Sri Sultan HB X, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat mengatakan karena sudah tidak diakui lagi, maka mereka tidak akan pernah menghadiri undangan atau panggilan dari Sri Sultan HB X selama masih menghilangkan sebutan khalifatullah dan memakai nama Hamengku Bawono.

Seperti beberapa waktu lalu, di mana mereka juga mendapat undangan untuk diberi penjelasan tentang Sabdaraja. “Siapa yang mengundang, kalau masih Hamengku Bawono kami tetap tidak akan datang. Seperti kemarin kami kan diundang untuk diberi penjelasan, penjelasan itu sendiri juga salah,” tegas Gusti Yudha – sapaan akrab GBPH Yudhaningrat usai menyerahkan Dana Keistimewaan (Danais) kepada abdi dalem Keraton Surakarta di Kekanjengan Imogiri kemarin.

Gusti Yudho menandaskan para adik Sultan tetap menuntut agar gelar tersebut dikembalikan sebagaimana mestinya. Karena bila dipaksakan, maka dia khawatir Keraton dan rakyat Ngayogyakarto juga akan tercerai berai dan tidak amanah. Jika Sultan masih tetap ngeyel atau ngototdengan Sabdaraja-nya, maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyerahkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Gusti Yudho, tanggal 30 April 2015 menjadi hari yang sangat buruk bagi Keraton Ngayogyakarto. Tanpa hujan dan angin, tiba-tiba ada petir yang merusak tatanan Keistimewaan Ngayogyakarto Hadiningrat. Secara dadakan Sri Sultan HB X menghilangkan sebutan khalifatullah dan menggunakan nama Hamengku Bawono. Bukan lagi Hamengku Buwono. “Rupanya ada maksud tertentu yang ingin menghilangkan simbol kelakilakian karena ingin mengangkat putrinya,” tudingnya.

Seharusnya, lanjut Gusti Yudho, harusnya Sultan HB X bertindak sebagai orang tua yang seharusnya. Jika ingin memuliakan harus sesuai dengan paugeran (aturan) Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Bukan seperti yang dilakukan saat ini yakni mengangkat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi Putri Mahkota.

Apalagi sampai saat ini keturunan atau anak-anak Sri Sultan HB X sudah diberi kedudukan yang penting di perusahaan milik Keraton. Semua anaknya sudah diberi usaha masing-masing dan berhak mendapatkan bagian lantai di hotel dan pusat perbelanjaan Ambarrukmo Plaza. Selain itu, ada yang menjadi komisaris PT Madubaru dengan penghasilan yang tidak sedikit. “Harusnya Sri Sultan HB X perannya sebagai orang tua tidak merusak tatanan yang sudah ada,” tegasnya.

Dia menilai Sri Sultan telah dianggap merusak tatanan yang ada di Keraton. Padahal sejatinya dia hanyalah seseorang yang tinggal melaksanakan apa yang sudah tersedia. Jika ingin mengubah paugeran, Sri Sultan harus mendirikan kerajaan baru. Lalu sebutan Hamengku Bawono bukan yang kesepuluh (X) tetapi pertama atau kapisan(I).

Kendati demikian, para pangeran mengaku tidak akan menyabotase Sri Sultan dengan mengangkat Plt Ngarso Dalem. Mereka akan bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh keluarga besar dan akan mengadakan pisowanan agung. Karena Gusti Yudha mengklaim banyak masyarakat, bahkan provisi lain terutama yang banyak memiliki santri menghendaki agar sebutan khalifatullahdikembalikan.

“Sabdaraja itu milik Tuhan, Hamengku Bawono yang artinya kekal juga itu hanya milik Tuhan. Tidak ada yang kekal,” sesalnya. Selain berimplikasi pada kekisruhan di Keraton, apa yang dilakukan Sultan juga berimplikasi besar terhadap Dana Keistimewaan atau Danais. Sebab Danais disebutkan sesuai undang-undang harus ada pengesahan dari Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X bukan Sri Sultan Hamengku Bawono.

Jika itu tetap dilakukan, maka hal tersebut termasuk korupsi karena tidak sesuai Undang- Undang Keistimewaan (UUK) DIY. Implikasinya Danais yang telah digelontorkan harus dikembalikan. Jika itu nanti terjadi maka keluarga akan sangat malu. Karena keluarga Keraton Ngayogyakarto yang menjadi panutan masyarakat luas tersandung masalah korupsi. “Bisabisa mulut dan omongan saya sudah tidak dipercaya lagi,” tuturnya.

Ketua Dewan Kebudayaan Bantul Harsoyo HS mengaku kecewa dengan sikap dan tindakan Sri Sultan HB X tersebut. Apa yang dilakukan sudah melenceng jauh dari pendahulu pendahulunya. Keberadaan Ngayogyakarto tidak bisa lepas dari peran Sri Sultan HB I yang telah berkorban dan tetap memilih Ngayogyakarto sebagai daerah kekuasaan. “Tetapi sebagai rakyat kecil, kami tidak bisa berbuat banyak. Kami berharap agar Sri Sultan sadar,” pintanya.

Sultan HB X Tak Gentar

Lalu apa respons Raja Keraton Yogyakarta? Ternyata Sri Sultan HB X mengaku sama sekali tidak khawatir jika dua Sabdaraja yang dikeluarkannya tak mendapat dukungan. Sultan juga tidak khawatir adikadiknya atau para pangeran Keraton menentangnya. Sultan mengakui dalam dua kali Sabdaraja yang dikeluarkan, pada Kamis (30/4) dan Selasa (5/5) selalu mengundang adik-adiknya untuk hadir. “Lha saya undang dua kali nggak datang,” katanya saat ditemui di Kantor Kepatihan Yogyakarta kemarin.

Gubernur DIY ini mengungkapkan Sabdaraja merupakan momen penting sehingga harus dihadiri oleh keluarga Keraton. “Mereka kanadik-adik saya, tetap saya undang. Akan saya jelaskan. Tapi nggak datang, ya udah ga papa,” katanya enteng. Raja yang naik takhta sejak 7 Maret 1989 ini menilai, adikadiknya tidak bersedia datang karena tidak sepakat dengan Sabdaraja.

“Ya bisa terjadi (tak sepakat). Orang lain yang tidak setuju juga boleh kok. Wong orang belum kenal saya nggak setuju juga boleh. Ya kan, namanya orang. Ya udah gitu saja,” imbuhnya. Ditanya apakah akan menjalin komunikasi lagi dengan para pangeran, Sultan menjawab sudah tidak perlu lagi. “Nggak perlu,” katanya singkat.

Sultan sampai saat ini belum mengungkapkan secara jelas Sabdraja yang kedua berupa penobatan GKR Pembayun yang berganti nama GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota penerus takhta. Namun secara implisit, Sultan tidak menampiknya. “Wingi tahu ndak? Kalau sudah tahu jangan tanya lagi,” cetusnya.

Pria bernama lahir BRM Herjuno Darpito mengaku sengaja membiarkan pihak yang tidak setuju berkomentar macam- macam. “Biar sekarang yang nggak setuju muncul dulu, berkoar-koar dulu,” ungkapnya. Sultan menegaskan pada saatnya nanti akan menjelaskan secara terbuka kepada publik, khususnya media massa seputar Sabdaraja dan latar belakangnya. “Minggu depan baru akan saya undang wartawan,” janjinya.

Sementara itu, para adik Sultan HB X melakukan ziarah di makam Raja-raja Mataram di Imogiri. Ziarah ini untuk memintakan doa bagi Sultan HB X yang dinilai telah khilaf dengan mengeluarkan dua Sabdaraja. Juru bicara adik-adik Sultan HB X, GBPH Prabukusumo mengungkapkan, mayoritas adikadik Sultan HB X tidak sepakat dengan Sabdaraja. “Kami menyadari, Ngarso Dalem sudah khilaf,” katanya sebelum berangkat ke makam Imogiri.

Rombongan berangkat dari Tepas Keprajuritan Keraton Yogyakarta. Ada sembilan pangeran yang akan berziarah di Makam Imogiri. Mereka antara lain Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, GBPH Cakraningrat, dan lainnya. Sedangkan GBPH Yudhaningrat sudah menunggu dikompleks makam.

“Kami bersembilan,” imbuh Gusti Prabu, sapaan akrab GBPH Prabukusumo. Gusti Prabu menegaskan, sikap para pangeran yang tidak sepakat dengan Sultan HB X tidak memiliki kepentingan apa pun. Para pangeran juga tidak bermaksud memengaruhi siapa pun agar melawan apa yang telah dilakukan Sultan beberapa waktu terakhir ini.

Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan melawan Sultan HB X hanya untuk menyelamatkan Keraton Yogyakarta. “Kami tidak memiliki kepentingan apa pun. Kami hanya ingin menyelamatkan Keraton tetap lestari, menjunjung tinggi leluhur. Itu yang terpenting,” tegas Gusti Prabu.

Justru Gusti Prabu mencium adanya pengerahan massa dari berbagai pelosok di DIY untuk mendukung Sabdaraja. “Ada gerakan untuk mendukung (Sabdaraja), semacam pisowanan agung. Mayoritas mereka dari Bantul dan Sleman,” pungkasnya.

Erfanto linangkung/ Ridwan anshori
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7773 seconds (0.1#10.140)
pixels