Pembedah Parkinson Pertama di Indonesia
A
A
A
BERKAT kemampuannya dalam bedah saraf, Achmad Fahmi menjadi dokter pertama di Indonesia yang melakukan operasi parkinson. Dengan teknik stereotactic brain lesion, operasinya diklaim sangat akurat dan minim risiko.
Jerih payah selama beberapa tahun tak sia-sia. Lama berkecimpung di dunia medis tak membuat Achmad Fahmi berhenti menimba ilmu.
Berbagai pelatihan, seminar, dan kursus kesehatan, baik lokal maupun internasional dia ikuti. Tujuannya, mendalami parkinson dan cara pengobatannya. Alhasil, pria 34 tahun asal Malang ini kini menjadi dokter pertama yang melakukan operasi parkinson di Indonesia.
Lazimnya, ada dua persoalan yang muncul dalam benaknya. Tak banyak orang yang tahu tentang penyakit penyerang saraf tubuh itu. Persoalan lainnya, penyakit ini juga diketahui belum ada obatnya.
"Sampai sekarang, di seluruh dunia, belum ada jenis suntikan dan obat penyembuh parkinson," beber Fahmi kepada SINDO Weekly, Minggu lalu.
Berawal dari kondisi itu, spesialis bedah saraf di National Hospital Surabaya ini pun tertarik memperdalam keilmuannya tentang parkinson. Keinginannya itu pun berbuah kenyataan. Pada 2013, ia berkesempatan belajar langsung dari Takaomi Taira, profesor asal Jepang yang sudah lama menangani bedah saraf.
Selama tiga bulan lamanya, Presiden World Society for Stereotactic and Functional Neurosurgery itu melatih Fahmi mengenai taktik operasi yang cukup ampuh dalam mengobati penyakit disorder, seperti parkinson, tremor, dan distonia.
Teknik ini dikenal dengan stereotactic brain lesion dan DBS (deep brain stimulation). Tak hanya itu, pemahaman tentang metode operasi ini juga didapatnya melalui pelatihan stereotactic di Academisch Medisch Centrum (AMC), Amsterdam, Belanda.
Kendati sudah berlatih, bukan berarti Fahmi langsung mahir. Saat kembali ke Indonesia, ia pun tak berjuang sendiri. Dalam menangani beberapa kasus operasi pasiennya, ia mendapat supervisi langsung dari Takaomi Taira.
Pendampingan itu kian mematangkan kemampuannya dalam melakukan operasi secara mandiri. Alhasil, pada April 2013, ia mulai menerapkan teknik brain lesion. Sementara, DBS diterapkan olehnya sejak Januari 2014.
Meski melalui proses operasi, keduanya memiliki perbedaan. "Pada metode operasi DBS, ditanam sebuah alat untuk menstimulasi otak, sementara pada brain lesion, alat berupa frame stereotactic membantu mencapai titik di dalam otak dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi, kurang dari 1 mm," kata Fahmi.
Ia mengaku, teknik pembedahan menggunakan alat stereotik memiliki kelebihan yakni meminimalkan luka bedah dan dapat dilakukan dengan kondisi pasien sadar penuh.
Akurasi alat ini, katanya, dapat menghindarkan risiko terjadinya manipulasi otak saat operasi berlangsung sehingga lebih aman dibandingkan metode pembedahan konvensional.
Operasinya berlangsung selama satu jam dengan masa pemulihan setelah operasi yang juga begitu cepat. Rata-rata, pasien sudah dapat keluar dari rumah sakit empat atau lima hari setelah operasi.
Namun, teknik ini bukan pengganti penanganan melalui obat, melainkan teknik yang dapat mengurangi konsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak. Sebab, paparnya, pasien parkinson selama hidupnya akan terus mengonsumsi obat-obatan. Jumlah obat yang dikonsumsinya pun terbilang banyak.
"Tergantung dari tingkat yang dialaminya, apalagi untuk pasien on off period (kambuhan). Walaupun sudah minum obat, dalam kasus tertentu, terkadang masa reaksi obat dapat hilang beberapa jam. Si pasien akan mengalami gejala serupa dan harus minum obat kembali. Dalam sehari, ada yang minum (obat) sampai 12 kali dengan beragam jenis obat."
Fahmi meyakini, teknik brain lesion dan BDS memiliki tingkat keberhasilan 80-90 persen. Kini, setidaknya dia bisa melihat pasiennya memiliki harapan hidup yang lebih berkualitas.
Jerih payah selama beberapa tahun tak sia-sia. Lama berkecimpung di dunia medis tak membuat Achmad Fahmi berhenti menimba ilmu.
Berbagai pelatihan, seminar, dan kursus kesehatan, baik lokal maupun internasional dia ikuti. Tujuannya, mendalami parkinson dan cara pengobatannya. Alhasil, pria 34 tahun asal Malang ini kini menjadi dokter pertama yang melakukan operasi parkinson di Indonesia.
Lazimnya, ada dua persoalan yang muncul dalam benaknya. Tak banyak orang yang tahu tentang penyakit penyerang saraf tubuh itu. Persoalan lainnya, penyakit ini juga diketahui belum ada obatnya.
"Sampai sekarang, di seluruh dunia, belum ada jenis suntikan dan obat penyembuh parkinson," beber Fahmi kepada SINDO Weekly, Minggu lalu.
Berawal dari kondisi itu, spesialis bedah saraf di National Hospital Surabaya ini pun tertarik memperdalam keilmuannya tentang parkinson. Keinginannya itu pun berbuah kenyataan. Pada 2013, ia berkesempatan belajar langsung dari Takaomi Taira, profesor asal Jepang yang sudah lama menangani bedah saraf.
Selama tiga bulan lamanya, Presiden World Society for Stereotactic and Functional Neurosurgery itu melatih Fahmi mengenai taktik operasi yang cukup ampuh dalam mengobati penyakit disorder, seperti parkinson, tremor, dan distonia.
Teknik ini dikenal dengan stereotactic brain lesion dan DBS (deep brain stimulation). Tak hanya itu, pemahaman tentang metode operasi ini juga didapatnya melalui pelatihan stereotactic di Academisch Medisch Centrum (AMC), Amsterdam, Belanda.
Kendati sudah berlatih, bukan berarti Fahmi langsung mahir. Saat kembali ke Indonesia, ia pun tak berjuang sendiri. Dalam menangani beberapa kasus operasi pasiennya, ia mendapat supervisi langsung dari Takaomi Taira.
Pendampingan itu kian mematangkan kemampuannya dalam melakukan operasi secara mandiri. Alhasil, pada April 2013, ia mulai menerapkan teknik brain lesion. Sementara, DBS diterapkan olehnya sejak Januari 2014.
Meski melalui proses operasi, keduanya memiliki perbedaan. "Pada metode operasi DBS, ditanam sebuah alat untuk menstimulasi otak, sementara pada brain lesion, alat berupa frame stereotactic membantu mencapai titik di dalam otak dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi, kurang dari 1 mm," kata Fahmi.
Ia mengaku, teknik pembedahan menggunakan alat stereotik memiliki kelebihan yakni meminimalkan luka bedah dan dapat dilakukan dengan kondisi pasien sadar penuh.
Akurasi alat ini, katanya, dapat menghindarkan risiko terjadinya manipulasi otak saat operasi berlangsung sehingga lebih aman dibandingkan metode pembedahan konvensional.
Operasinya berlangsung selama satu jam dengan masa pemulihan setelah operasi yang juga begitu cepat. Rata-rata, pasien sudah dapat keluar dari rumah sakit empat atau lima hari setelah operasi.
Namun, teknik ini bukan pengganti penanganan melalui obat, melainkan teknik yang dapat mengurangi konsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak. Sebab, paparnya, pasien parkinson selama hidupnya akan terus mengonsumsi obat-obatan. Jumlah obat yang dikonsumsinya pun terbilang banyak.
"Tergantung dari tingkat yang dialaminya, apalagi untuk pasien on off period (kambuhan). Walaupun sudah minum obat, dalam kasus tertentu, terkadang masa reaksi obat dapat hilang beberapa jam. Si pasien akan mengalami gejala serupa dan harus minum obat kembali. Dalam sehari, ada yang minum (obat) sampai 12 kali dengan beragam jenis obat."
Fahmi meyakini, teknik brain lesion dan BDS memiliki tingkat keberhasilan 80-90 persen. Kini, setidaknya dia bisa melihat pasiennya memiliki harapan hidup yang lebih berkualitas.
(zik)