Medan Belum Mencerminkan Smart City
A
A
A
MEDAN - Pembangunan di Kota Medan dinilai belum mencerminkan konsep smart city atau kota yang cerdas sebagai salah satu identitas kota metropolitan.
“Pembangunan yang diterapkan menyebabkan semua serba semrawut,” ujar antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Usman Pelly dalam dialog yang diselenggarakan salah satu stasiun radio di Medan, kemarin. MenurutUsman, Medanmerupakan kota yang memilikii banyak keistimewaan sehingga berpeluang besar untuk berkembang dan menjadi kota metropolitan.
Bahkan, dengan hegemoni masyarakat dan kondisi geografis, Medan memiliki potensi besar untuk menjadi kota yang paling maju di Indonesia setelah Jakarta. Potensi Medan sebagai kota besar tersebut juga diakui Presiden Soekarno karena menganggap daerah ini memiliki hampir seluruh persyaratan sebagai kota metropolitan.“Bahkan Bung Karno pernah mengatakan, jika ibu kota dipindahkan dari Jakarta, Beliau memilih Medan,” katanya.
Namun sayangnya, konsep pembangunan yang diterapkan belum ada yang mengarah pada penciptaan Medan sebagai smart city yang penuh keteraturan. Meski mengalami pembangunan secara pisik, tetapi identitas Kota Medan dinilai semakin tidak jelas dan belum menciptakan pemerataan kesejahteraan. “Konsep pembangunan yang dijalankan tidak mampu menunjukkan identitas Kota Medan,” ujar Usman Pelly.
Sementara itu, pengamat perkotaan dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jaya Arjuna, menilai, pembuat kebijakan di ota ini tidak mampu menyiapkan konsep pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika memang pembangunan tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, seharusnya Pemko Medan menyiapkan berbagai program yang bersifat antisipasi.
Ia mencontohkan perlunya aturan di bidang pertanahan dan pemukiman sebagai salah satu konsekwensi dari pertumbuhan masyarakat. “Sayangnya wali kota dan legislatif saat ini hanya mampu melihat hal yang di depan mata untuk bisa dijadikan duit saja,” katanya.
Sebenarnya, kata dia, kebijakan untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan menciptkan Medan sebagai kota cerdas tersebut telah dilakukan ketika Wali Kota Medan dijabat Syaukani. Antisipasi tersebut dapat terlihat dari kebijakan untuk pengembangan kota dengan melebarkan pembangunan ke daerah pinggiran seperti Marelan dan daerah perbatasan lainnya. Sayang, kebijakan tersebut tidak dilanjutkan. “Wali kota sesudahnya justru memusatkan pembangunan di tengah kota yang sudah padat,” kata Jaya Arjuna.
Konflik Pertanahan Akibat Abaikan Sejarah
Di sisi lain, konflik pertanahan yang terjadi di Kota Medan dan sekitarnya selama ini disebabkan pelaku usaha dan pembuat kebijakan agraria melupakan akar sejarah yang ada. Kuasa hukum Kesultanan Deli, Abdul Hakim Siagian, mengatakan, banyak pihak yang tidak menyadari jika Kesultanan Deli merupakan pemilik sejumlah lahan yang dipergunakan sebagai lokasi bisnis selama ini.
Akibat ketidaktahuan tentang sejarah tersebut, banyak pelaku usaha yang tidak meminta izin untuk menggunakan tanah milik Kesultanan Deli itu sebagai lokasi bisnis. Ia menjelaskan, proses peminjaman tanah milik Kesultanan Deli tersebut mulai dilakukan sejak masa penjajahan Belanda sebagai lokasi perkantoran dan berbagai aktivitas lain.
Peminjaman tersebut berlanjut hingga awal kemerdekaan dengan konsep nasionalisasi yang menjadikan berbagai aset kolonial selama ini menjadi milik pemerintah RI. Kesultanan Deli mengizinkan peminjaman tersebut dengan persyaratan bahwa tanah-tanah tersebut dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan menunjang aktivitas pemerintahan.
Ia mencontohkan peminjaman lahan di sekitar Lapangan Merdeka kepada “Deli Maatschappij” yang kemudian berubah menjadi Perusahaan Jawatan kereta Api (PJKA) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung sarana perkeretaapian. “Sepanjang pemanfaatan tanah itu untuk kesejahteraan, Kesultanan tidak pernah mempermasalahkan,” katanya.
Namun Kesultanan Deli tidak dapat membiarkan jika pemanfaatan lahan-lahan yang dipinjamkan selama ini dialihkan, terutama untuk aktivitas komersil. Masalah mulai muncul karena adanya proses menyamaratakan landasan hukum antara lahan-lahan milik umum dengan tanah yang dipinjamkan Kesultanan Deli. “Disitu ada masalah karena adanya penyamarataan hukum yang tidak tepat,” kata Abdul Hakim.
Ant
“Pembangunan yang diterapkan menyebabkan semua serba semrawut,” ujar antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Usman Pelly dalam dialog yang diselenggarakan salah satu stasiun radio di Medan, kemarin. MenurutUsman, Medanmerupakan kota yang memilikii banyak keistimewaan sehingga berpeluang besar untuk berkembang dan menjadi kota metropolitan.
Bahkan, dengan hegemoni masyarakat dan kondisi geografis, Medan memiliki potensi besar untuk menjadi kota yang paling maju di Indonesia setelah Jakarta. Potensi Medan sebagai kota besar tersebut juga diakui Presiden Soekarno karena menganggap daerah ini memiliki hampir seluruh persyaratan sebagai kota metropolitan.“Bahkan Bung Karno pernah mengatakan, jika ibu kota dipindahkan dari Jakarta, Beliau memilih Medan,” katanya.
Namun sayangnya, konsep pembangunan yang diterapkan belum ada yang mengarah pada penciptaan Medan sebagai smart city yang penuh keteraturan. Meski mengalami pembangunan secara pisik, tetapi identitas Kota Medan dinilai semakin tidak jelas dan belum menciptakan pemerataan kesejahteraan. “Konsep pembangunan yang dijalankan tidak mampu menunjukkan identitas Kota Medan,” ujar Usman Pelly.
Sementara itu, pengamat perkotaan dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jaya Arjuna, menilai, pembuat kebijakan di ota ini tidak mampu menyiapkan konsep pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika memang pembangunan tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, seharusnya Pemko Medan menyiapkan berbagai program yang bersifat antisipasi.
Ia mencontohkan perlunya aturan di bidang pertanahan dan pemukiman sebagai salah satu konsekwensi dari pertumbuhan masyarakat. “Sayangnya wali kota dan legislatif saat ini hanya mampu melihat hal yang di depan mata untuk bisa dijadikan duit saja,” katanya.
Sebenarnya, kata dia, kebijakan untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan menciptkan Medan sebagai kota cerdas tersebut telah dilakukan ketika Wali Kota Medan dijabat Syaukani. Antisipasi tersebut dapat terlihat dari kebijakan untuk pengembangan kota dengan melebarkan pembangunan ke daerah pinggiran seperti Marelan dan daerah perbatasan lainnya. Sayang, kebijakan tersebut tidak dilanjutkan. “Wali kota sesudahnya justru memusatkan pembangunan di tengah kota yang sudah padat,” kata Jaya Arjuna.
Konflik Pertanahan Akibat Abaikan Sejarah
Di sisi lain, konflik pertanahan yang terjadi di Kota Medan dan sekitarnya selama ini disebabkan pelaku usaha dan pembuat kebijakan agraria melupakan akar sejarah yang ada. Kuasa hukum Kesultanan Deli, Abdul Hakim Siagian, mengatakan, banyak pihak yang tidak menyadari jika Kesultanan Deli merupakan pemilik sejumlah lahan yang dipergunakan sebagai lokasi bisnis selama ini.
Akibat ketidaktahuan tentang sejarah tersebut, banyak pelaku usaha yang tidak meminta izin untuk menggunakan tanah milik Kesultanan Deli itu sebagai lokasi bisnis. Ia menjelaskan, proses peminjaman tanah milik Kesultanan Deli tersebut mulai dilakukan sejak masa penjajahan Belanda sebagai lokasi perkantoran dan berbagai aktivitas lain.
Peminjaman tersebut berlanjut hingga awal kemerdekaan dengan konsep nasionalisasi yang menjadikan berbagai aset kolonial selama ini menjadi milik pemerintah RI. Kesultanan Deli mengizinkan peminjaman tersebut dengan persyaratan bahwa tanah-tanah tersebut dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan menunjang aktivitas pemerintahan.
Ia mencontohkan peminjaman lahan di sekitar Lapangan Merdeka kepada “Deli Maatschappij” yang kemudian berubah menjadi Perusahaan Jawatan kereta Api (PJKA) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung sarana perkeretaapian. “Sepanjang pemanfaatan tanah itu untuk kesejahteraan, Kesultanan tidak pernah mempermasalahkan,” katanya.
Namun Kesultanan Deli tidak dapat membiarkan jika pemanfaatan lahan-lahan yang dipinjamkan selama ini dialihkan, terutama untuk aktivitas komersil. Masalah mulai muncul karena adanya proses menyamaratakan landasan hukum antara lahan-lahan milik umum dengan tanah yang dipinjamkan Kesultanan Deli. “Disitu ada masalah karena adanya penyamarataan hukum yang tidak tepat,” kata Abdul Hakim.
Ant
(ftr)