6 TKI Jateng Tunggu Eksekusi Mati
A
A
A
SEMARANG - Miris. Nasib enam Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Jawa Tengah yang bekerja di Arab Saudi berada di ujung tanduk. Mereka saat ini menunggu eksekusi hukuman mati menyusul Karni binti Medi Tarsim, 37, yang ditembak mati di penjara Kota Yanbu, Kamis (16/4).
Awal tahun ini ada delapan TKI asal Jateng terancam hukuman mati. “Namun, saat ini tinggal enam. Sebab Karni asal Brebes sudah menjalani hukuman dan Satinah asal Kabupaten Semarang terbebas dari hukuman mati, karena diyat-nya sudah terbayar. Saat ini Satinah mengalami sakit stroke,” kata Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Negeri Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Ahmad Aziz saat rapat koordinasi penempatan dan perlindungan TKI tahun 2015 di Semarang, kemarin.
Enam TKI tersebut bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Mereka antara lain, Tuti Tursilawati asal Cilacap dan Tarsini asal Brebes. “Sedangkan empat lainnya TKI yang kedapatan menjadi kurir narkoba,” kata dia. Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja, Guntur Witjaksono menambahkan, secara nasional ada 279 TKI terancam hukuman mati.
Untuk membebaskan atau meringankan hukumannya, Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara setempat fokus dengan pendekatan informal kepada keluarga korban. “Pendekatan informal ini dilakukan bagi TKI yang melakukan pembunuhan. Sementara mereka yang dalam proses persidangan karena menjadi kurir narkoba dilakukan upaya pembelaan di persidangan oleh kuasa hukum yang disediakan KBRI,” ungkapnya.
Menurut Guntur, lobi informal kepada keluarga menjadi kunci pembebasan dari hukuman mati. Terutama di Saudi Arabia yang saat ini ada 36 TKI terancam hukuman mati. “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi sudah mengirimkan surat, kenyataannya tidak bisa. Raja Arab pun hanya bisa memengaruhi, keputusan tetap ada di tangan keluarga. Karena kuncinya adalah pihak keluarga. Negosiasi diyat,” kata dia.
Sementara Deputi Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Agusdin Subianto menjelaskan, 279 TKI yang terancam hukuman mati itu di antaranya karena kedapatan menjadi kurir narkoba dan melakukan pembunuhan. “TKI yang bermasalah itu paling banyak berada di kategori nonformal. Mereka rata-rata menjadi pembantu rumah tangga (PRT),” kata dia.
Menurut dia, permasalahan sebenarnya dimulai dari perekrutan yang terkadang tidak dipenuhi aturan bakunya. Mulai dari kelengkapan dokumen, pemberian penyuluhan, seleksi, pemeriksaan kesehatan, hingga pelatihan untuk memastikan kompetensi sesuai dengan permintaan. Kompetensi meliputi keterampilan, pengetahuan, bahasa, dan kemampuan beradaptasi. “Kelemahan paling banyak di kompetensi. Ke depan harus ditekankan fokus pada peningkatan kompetensinya,” kata Agusdin.
Dipaparkannya, saat ini jumlah TKI nonformal semakin menurun. Berkisar 42% dari angka 429.000. Kemudian lainnya TKI profesional, seperti perawat atau tenaga kerja di pengeboran minyak. “Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah, 2017 harus zero TKI PRT,” katanya.
Pemerintah Kecewa
Terpisah, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyatakan masih ada 36 Warga Negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di luar negeri. Pemerintah masih berupaya agar mereka bisa lolos dari hukuman mati. “Ada 36 TKI di luar negeri yang saat ini masih menjalani proses hukum dan terancam hukuman mati,” kata Kepala BNP2TKI Nusron Wahid saat mengunjungi rumah almarhumah Karni di RT02/RW03 Desa Karangjunti, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, kemarin.
Nusron mengungkapkan, para WNI tersebut tersandung kasus perzinaan, sihir, dan pembunuhan. Pemerintah, kata Nusron, terus memperjuangkan agar mereka bisa lolos dari hukuman mati. “BNP2TKI bersama Kemenlu masih terus mengupayakan agar mereka tidak dihukum mati,” katanya.
Terkait eksekusi mati yang sudah dilakukan terhadap Karni, Nusron menyesalkan sikap Pemerintah Arab Saudi tak memberitahukan lebih dulu ke Pemerintah RI. Dia menyebut hal itu sebagai sebuah tradisi buruk. “Yang membuat kita berat hati adalah karena tidak ada pemberitahuan dan itu adalah satu tradisi buruk yang sering dilakukan oleh Arab Saudi terhadap warga negara asing,” katanya.
Menurut mantan anggota DPR itu, pemerintah sudah berupaya keras agar Karni mendapat pengampunan dari Pemerintah Arab Saudi. Begitu juga dengan Zaenab, TKI asal Bangkalan yang lebih dulu dieksekusi. Namun eksekusi mati ternyata tetap dilakukan. “Segala sesuatu yang dilakukan pemerintah sudah sangat optimal. Bahkan, presiden sudah kirim surat kepada raja tapi tidak menghasilkan karena undang- undang di Arab Saudi kalau kasus pembunuhan adalah harus mendapatkan maaf dari keluarga korban,” ucapnya.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, dalam proses eksekusi mati yang dialami Karni dan Zaenab, Pemerintah Arab Saudi tidak punya kewajiban memberikan notifikasi, namun eksekusi yang dilakukan tanpa pemberitahuan tetap sangat disayangkan.
“Memang mereka tidak ada kewajiban untuk memberikan notifikasi, tapi kan ada yang namanya tata krama dalam pergaulan internasional. Itu yang tidak dipenuhi. Kita sudah melayangkan protes karena mereka tidak memenuhi tata krama tersebut. Sama halnya Indonesia tidak ada kewajiban, tapi kita setiap menghukum mati kita selalu memberikan notifikasi,” ujarnya.
Nusron bersama rombongan tiba di rumah almarhumah Karni sekitar pukul 10.30 WIB. Sejumlah keluarga Karni yang menyambut di antaranya suami, ayah, dan ibu Karni. Saat menerima kunjungan, suasana duka masih menyelimuti keluarga tersebut. Kepada mereka, BNP2TKI dan Kemenlu berjanji akan mengupayakan hak-hak Karni yang belum dibayarkan selama delapan bulan.
Termasuk mengupayakan agar suami dan keluarga bisa mengunjungi makam Karni di Yanbu, Arab Saudi. “Kemenlu juga akan memberikan beasiswa agar anak Karni agar bisa menyelesaikan pendidikannya,” kata Iqbal.
Bupati Brebes Idza Priyanti yang kemarin juga mendatangi rumah Karni untuk menyampaikan belasungkawa memastikan pemkab akan memberikan bantuan untuk anak bungsu Karni yang masih duduk di bangku kelas III SD. “Pemkab akan memberikan bantuan agar tetap bisa bersekolah hingga SMA,” katanya.
Menurut Idza, pihaknya akan meningkatkan upaya perlindungan kepada para warga Brebes yang bekerja sebagai TKI di luar negeri. Salah satunya dengan menyosialisasikan aturan dan budaya yang berlaku di wilayah setempat. Diharapkan langkah ini dapat mencegah kasus Karni terulang. “Dengan pembekalan diharapkan para TKI bisa mudah beradaptasi dan bersosialisasi dengan tempat kerja mereka,” ujar Idza sembari menyebut jumlah TKI asal Brebes sekitar 2.000 orang.
Keluarga Berharap Satinah Segera Pulang
Nasib kebebasan Satinah, TKW asal Dusun Mrunten Wetan, RT 2/RW 3, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, hingga saat ini masih terkatung-katung. Meski sudah terbebas dari ancaman hukuman pancung lantaran pemerintah sudah memenuhi permintaan diyat keluarga korban namun Satinah masih menjalani serangkaian proses hukum.
“Dia masih harus sidang dua kali seminggu, tiap hari Minggu dan Senin,” tutur kakak ipar Satinah, Sulastri,38, kemarin. Sulastri mengaku pihak keluarga tidak mengetahui persis proses sidang yang saat ini dijalani Satinah. “Sidangnya ini sidang pembebasan atau bagaimana juga tidak jelas,” ujar dia.
Awalnya, keluarga mengira Satinah sudah bisa menghirup udara bebas selepas lolos dari hukuman pancung lantaran keluarga mantan majikan, Nura Al Gharib, bersedia menerima uang diyat sebesar Rp21 miliar. Kenyataannya, Satinah masih ditahan di penjara Buraidah, Provinsi Al Gaseem, Arab Saudi. “Apakah pembebasannya masih proses atau masih menjalani hukuman penjara, kurang tahu juga. Yang buat bingung, katanya masih sidang tapi tidak mendapat pendampingan dari KBRI,” katanya.
Sulastri menceritakan sekitar satu bulan lalu pihak keluarga berkesempatan mengunjungi Satinah di penjara Al Ghaseem. Dari kunjungan itu, keluarga mengetahui jika kondisi Satinah sangat memprihatinkan. “Satinah kena gelaja stroke dan kelihatan kurus. Bicaranya susah, tangan kirinya sulit digerakkan. Kondisinya sangat mengenaskan, itu pun masih menjalani sidang,” tutur dia.
Atas kondisi tersebut, keluarga sangat berharap Satinah cepat dibebaskan agar bisa dibawa pulang. “Seandainya benar sudah bebas dari pancung, kami berharap Satinah bisa cepat pulang dan dirawat keluarga,” pinta Sulastri. Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari mengatakan Satinah seharusnya sudah bebas paskaditerimanya pembayaran diyat.
“Satinah ini case yang sudah hampir selesai dan sudah diatasi. Tinggal finalnya gimana ini ? Kalau benar sudah dibayar juga, harusnya sudah selesai. Apalagi jumlah diyatnya cukup besar,” kata dia. Lebih lanjut Dita menyatakan pemerintah akan mengubah kebijakan mengenai penanganan kasus TKI yang menghadapi hukuman mati di luar negeri, khususnya dalam pembayaran uang darah atau diyat.
Sebelumnya, pemerintah selalu memenuhi setiap permohonan diyat terhadap para TKI yang menghadapi hukuman mati, berapapun yang diminta oleh keluarga korban. “Kalau kasusnya karena membela diri itu kami prioritaskan. Tapi kalau kasusnya narkoba atau terbukti membunuh orang dan dia mengakui bukan karena membela diri, tapi karena tidak bisa mengontrol emosi, itu kita tidak prioritaskan. Dan pembayaran diyat pun dibatasi sesuai syariat Islam kan seratus onta,” bebernya.
Data yang ada, saat ini sebanyak 276 TKI yang tersebar di berbagai negara menghadapi ancaman hukuman mati. Sebagian besar para TKI tersebut tersangkut kasus narkoba di Malaysia. Terhadap kasus narkoba, pemerintah tidak bisa berbuat banyak lantaran jika pembelaan dilakukan maka akan kontradiktif dengan komitmen pemerintah dalam memerangi narkoba.
“Sudah tahu itu dilarang, kena hukuman mati kalau (bawa) narkoba di Malaysia, kok masih tetap dibawa. Di Indonesia saja kita nembak orang gara-gara narkoba kan, orang asing lagi. Jadi kami proporsional, tidak semua kasus kami tangani,” imbuh Dita.
Amin fauzi / Farid firdaus/ Agus joko
Awal tahun ini ada delapan TKI asal Jateng terancam hukuman mati. “Namun, saat ini tinggal enam. Sebab Karni asal Brebes sudah menjalani hukuman dan Satinah asal Kabupaten Semarang terbebas dari hukuman mati, karena diyat-nya sudah terbayar. Saat ini Satinah mengalami sakit stroke,” kata Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Negeri Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Ahmad Aziz saat rapat koordinasi penempatan dan perlindungan TKI tahun 2015 di Semarang, kemarin.
Enam TKI tersebut bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Mereka antara lain, Tuti Tursilawati asal Cilacap dan Tarsini asal Brebes. “Sedangkan empat lainnya TKI yang kedapatan menjadi kurir narkoba,” kata dia. Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja, Guntur Witjaksono menambahkan, secara nasional ada 279 TKI terancam hukuman mati.
Untuk membebaskan atau meringankan hukumannya, Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara setempat fokus dengan pendekatan informal kepada keluarga korban. “Pendekatan informal ini dilakukan bagi TKI yang melakukan pembunuhan. Sementara mereka yang dalam proses persidangan karena menjadi kurir narkoba dilakukan upaya pembelaan di persidangan oleh kuasa hukum yang disediakan KBRI,” ungkapnya.
Menurut Guntur, lobi informal kepada keluarga menjadi kunci pembebasan dari hukuman mati. Terutama di Saudi Arabia yang saat ini ada 36 TKI terancam hukuman mati. “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi sudah mengirimkan surat, kenyataannya tidak bisa. Raja Arab pun hanya bisa memengaruhi, keputusan tetap ada di tangan keluarga. Karena kuncinya adalah pihak keluarga. Negosiasi diyat,” kata dia.
Sementara Deputi Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Agusdin Subianto menjelaskan, 279 TKI yang terancam hukuman mati itu di antaranya karena kedapatan menjadi kurir narkoba dan melakukan pembunuhan. “TKI yang bermasalah itu paling banyak berada di kategori nonformal. Mereka rata-rata menjadi pembantu rumah tangga (PRT),” kata dia.
Menurut dia, permasalahan sebenarnya dimulai dari perekrutan yang terkadang tidak dipenuhi aturan bakunya. Mulai dari kelengkapan dokumen, pemberian penyuluhan, seleksi, pemeriksaan kesehatan, hingga pelatihan untuk memastikan kompetensi sesuai dengan permintaan. Kompetensi meliputi keterampilan, pengetahuan, bahasa, dan kemampuan beradaptasi. “Kelemahan paling banyak di kompetensi. Ke depan harus ditekankan fokus pada peningkatan kompetensinya,” kata Agusdin.
Dipaparkannya, saat ini jumlah TKI nonformal semakin menurun. Berkisar 42% dari angka 429.000. Kemudian lainnya TKI profesional, seperti perawat atau tenaga kerja di pengeboran minyak. “Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah, 2017 harus zero TKI PRT,” katanya.
Pemerintah Kecewa
Terpisah, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyatakan masih ada 36 Warga Negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di luar negeri. Pemerintah masih berupaya agar mereka bisa lolos dari hukuman mati. “Ada 36 TKI di luar negeri yang saat ini masih menjalani proses hukum dan terancam hukuman mati,” kata Kepala BNP2TKI Nusron Wahid saat mengunjungi rumah almarhumah Karni di RT02/RW03 Desa Karangjunti, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, kemarin.
Nusron mengungkapkan, para WNI tersebut tersandung kasus perzinaan, sihir, dan pembunuhan. Pemerintah, kata Nusron, terus memperjuangkan agar mereka bisa lolos dari hukuman mati. “BNP2TKI bersama Kemenlu masih terus mengupayakan agar mereka tidak dihukum mati,” katanya.
Terkait eksekusi mati yang sudah dilakukan terhadap Karni, Nusron menyesalkan sikap Pemerintah Arab Saudi tak memberitahukan lebih dulu ke Pemerintah RI. Dia menyebut hal itu sebagai sebuah tradisi buruk. “Yang membuat kita berat hati adalah karena tidak ada pemberitahuan dan itu adalah satu tradisi buruk yang sering dilakukan oleh Arab Saudi terhadap warga negara asing,” katanya.
Menurut mantan anggota DPR itu, pemerintah sudah berupaya keras agar Karni mendapat pengampunan dari Pemerintah Arab Saudi. Begitu juga dengan Zaenab, TKI asal Bangkalan yang lebih dulu dieksekusi. Namun eksekusi mati ternyata tetap dilakukan. “Segala sesuatu yang dilakukan pemerintah sudah sangat optimal. Bahkan, presiden sudah kirim surat kepada raja tapi tidak menghasilkan karena undang- undang di Arab Saudi kalau kasus pembunuhan adalah harus mendapatkan maaf dari keluarga korban,” ucapnya.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, dalam proses eksekusi mati yang dialami Karni dan Zaenab, Pemerintah Arab Saudi tidak punya kewajiban memberikan notifikasi, namun eksekusi yang dilakukan tanpa pemberitahuan tetap sangat disayangkan.
“Memang mereka tidak ada kewajiban untuk memberikan notifikasi, tapi kan ada yang namanya tata krama dalam pergaulan internasional. Itu yang tidak dipenuhi. Kita sudah melayangkan protes karena mereka tidak memenuhi tata krama tersebut. Sama halnya Indonesia tidak ada kewajiban, tapi kita setiap menghukum mati kita selalu memberikan notifikasi,” ujarnya.
Nusron bersama rombongan tiba di rumah almarhumah Karni sekitar pukul 10.30 WIB. Sejumlah keluarga Karni yang menyambut di antaranya suami, ayah, dan ibu Karni. Saat menerima kunjungan, suasana duka masih menyelimuti keluarga tersebut. Kepada mereka, BNP2TKI dan Kemenlu berjanji akan mengupayakan hak-hak Karni yang belum dibayarkan selama delapan bulan.
Termasuk mengupayakan agar suami dan keluarga bisa mengunjungi makam Karni di Yanbu, Arab Saudi. “Kemenlu juga akan memberikan beasiswa agar anak Karni agar bisa menyelesaikan pendidikannya,” kata Iqbal.
Bupati Brebes Idza Priyanti yang kemarin juga mendatangi rumah Karni untuk menyampaikan belasungkawa memastikan pemkab akan memberikan bantuan untuk anak bungsu Karni yang masih duduk di bangku kelas III SD. “Pemkab akan memberikan bantuan agar tetap bisa bersekolah hingga SMA,” katanya.
Menurut Idza, pihaknya akan meningkatkan upaya perlindungan kepada para warga Brebes yang bekerja sebagai TKI di luar negeri. Salah satunya dengan menyosialisasikan aturan dan budaya yang berlaku di wilayah setempat. Diharapkan langkah ini dapat mencegah kasus Karni terulang. “Dengan pembekalan diharapkan para TKI bisa mudah beradaptasi dan bersosialisasi dengan tempat kerja mereka,” ujar Idza sembari menyebut jumlah TKI asal Brebes sekitar 2.000 orang.
Keluarga Berharap Satinah Segera Pulang
Nasib kebebasan Satinah, TKW asal Dusun Mrunten Wetan, RT 2/RW 3, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, hingga saat ini masih terkatung-katung. Meski sudah terbebas dari ancaman hukuman pancung lantaran pemerintah sudah memenuhi permintaan diyat keluarga korban namun Satinah masih menjalani serangkaian proses hukum.
“Dia masih harus sidang dua kali seminggu, tiap hari Minggu dan Senin,” tutur kakak ipar Satinah, Sulastri,38, kemarin. Sulastri mengaku pihak keluarga tidak mengetahui persis proses sidang yang saat ini dijalani Satinah. “Sidangnya ini sidang pembebasan atau bagaimana juga tidak jelas,” ujar dia.
Awalnya, keluarga mengira Satinah sudah bisa menghirup udara bebas selepas lolos dari hukuman pancung lantaran keluarga mantan majikan, Nura Al Gharib, bersedia menerima uang diyat sebesar Rp21 miliar. Kenyataannya, Satinah masih ditahan di penjara Buraidah, Provinsi Al Gaseem, Arab Saudi. “Apakah pembebasannya masih proses atau masih menjalani hukuman penjara, kurang tahu juga. Yang buat bingung, katanya masih sidang tapi tidak mendapat pendampingan dari KBRI,” katanya.
Sulastri menceritakan sekitar satu bulan lalu pihak keluarga berkesempatan mengunjungi Satinah di penjara Al Ghaseem. Dari kunjungan itu, keluarga mengetahui jika kondisi Satinah sangat memprihatinkan. “Satinah kena gelaja stroke dan kelihatan kurus. Bicaranya susah, tangan kirinya sulit digerakkan. Kondisinya sangat mengenaskan, itu pun masih menjalani sidang,” tutur dia.
Atas kondisi tersebut, keluarga sangat berharap Satinah cepat dibebaskan agar bisa dibawa pulang. “Seandainya benar sudah bebas dari pancung, kami berharap Satinah bisa cepat pulang dan dirawat keluarga,” pinta Sulastri. Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari mengatakan Satinah seharusnya sudah bebas paskaditerimanya pembayaran diyat.
“Satinah ini case yang sudah hampir selesai dan sudah diatasi. Tinggal finalnya gimana ini ? Kalau benar sudah dibayar juga, harusnya sudah selesai. Apalagi jumlah diyatnya cukup besar,” kata dia. Lebih lanjut Dita menyatakan pemerintah akan mengubah kebijakan mengenai penanganan kasus TKI yang menghadapi hukuman mati di luar negeri, khususnya dalam pembayaran uang darah atau diyat.
Sebelumnya, pemerintah selalu memenuhi setiap permohonan diyat terhadap para TKI yang menghadapi hukuman mati, berapapun yang diminta oleh keluarga korban. “Kalau kasusnya karena membela diri itu kami prioritaskan. Tapi kalau kasusnya narkoba atau terbukti membunuh orang dan dia mengakui bukan karena membela diri, tapi karena tidak bisa mengontrol emosi, itu kita tidak prioritaskan. Dan pembayaran diyat pun dibatasi sesuai syariat Islam kan seratus onta,” bebernya.
Data yang ada, saat ini sebanyak 276 TKI yang tersebar di berbagai negara menghadapi ancaman hukuman mati. Sebagian besar para TKI tersebut tersangkut kasus narkoba di Malaysia. Terhadap kasus narkoba, pemerintah tidak bisa berbuat banyak lantaran jika pembelaan dilakukan maka akan kontradiktif dengan komitmen pemerintah dalam memerangi narkoba.
“Sudah tahu itu dilarang, kena hukuman mati kalau (bawa) narkoba di Malaysia, kok masih tetap dibawa. Di Indonesia saja kita nembak orang gara-gara narkoba kan, orang asing lagi. Jadi kami proporsional, tidak semua kasus kami tangani,” imbuh Dita.
Amin fauzi / Farid firdaus/ Agus joko
(ftr)