Minum Teh, Menghidupkan

Minggu, 12 April 2015 - 10:14 WIB
Minum Teh, Menghidupkan
Minum Teh, Menghidupkan
A A A
Kembali Tradisi yang Memudar Tradisi minum teh di sejumlah negara menjadi bagian kebudayaan bahkan status sosial. Setiap negara juga memiliki kekhasan minum teh yang unik. Keterampilan menyajikan teh hingga cara meminumnya lestari hingga turun-temurun.

Meski berbeda-beda tradisinya, ritual minum teh di berbagai negara ampuh sebagai alternatif membangun kehangatan keluarga. Namun, saat ini banyak masyarakat yang sudah mulai melupakan tradisi ini. Bahkan, teh juga telah terimbas dengan munculnya beragam jenis minuman lain. Di Indonesia, teh pertama kali dikenal pada 1686 ketika Dr Andreas Cleyer yang berkebangsaan Belanda membawa tanaman ini ke Tanah Air. Uniknya, tanaman teh di Indonesia dikenal sebagai tanaman hias.

Lalu di abad ke-17 pemerintah Belanda mendatangkan teh dari China untuk ditanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Sejak itu masyarakat Indonesia mulai terbiasa minum teh untuk perjamuan resmi hingga penghangat di tengah keluarga sehari- hari. Sambil minum teh ditemani camilan khas Indonesia, keluarga bisa saling berkomunikasi dengan lebih akrab.

Beberapa daerah di Indonesia mempunyai tradisi minum teh yang khas, seperti teh poci di Tegal, teh nasgitel di Solo, teh telur di Padang, dan sebagainya. Bahkan di Solo dikenal profesi khusus penyeduh teh yang disebut Jayeng . Masyarakat Eropa menyebut teh sebagai tay atau yang berasal dari bahasa Canton. Lalu orang Inggris melafalkannya sebagai tea. Sementara bangsa Belanda menyebutnya tee.

Nah, konon dari situlah awal mula masyarakat Indonesia menyebut teh. Seiring berjalannya waktu dan zaman, pertumbuhan gerai- gerai teh pun sangat pesat di setiap daerah di Indonesia. Begitu juga di Sumatera Utara, sebagai salah satu daerah terbesar di Indonesia. Penikmat teh tak kalah banyaknya dengan penikmat kopi saat ini. Gerai dan rumah teh semakin berkembang pesat di Kota Medan. Sebut saja seperti Rumah Teh Ho Teh Tiam (HTT) di Jalan Mongonsidi, Medan.

Rumah teh yang khusus menyediakan teh murni baik dari China maupun lokal ini sudah ada di Medan sejak 2008. Awalnya gerai ini dibuka karena pemiliknya, Endar Hadi Purwanto adalah penikmat teh dan sering ngumpul dengan kawan-kawannya sambil minum teh sejak 1995 di Medan. Bahkan karena kegemarannya untuk minum teh, mereka juga membuat komunitas Medan Tea Club yang dicetuskan 12 Juni 1999.

“Awalnya kami sering ngumpul sambil minum teh. Minum teh ini dapat menimbulkan kehangatan di antara kita, bisa berbincang sambil membicarakan berbagai hal. Oleh karena itulah, lalu kami membuat komunitas dan akhirnya saya mendirikan HTT yang terbuka untuk umum. Kami ingin lebih menyosialisasikan kepada masyarakat luas tentang manfaat minum teh yang sehat bagi kesehatan,” papar Endar, yang juga Sekretaris Medan Tea Club ini.

Menurut Endar, teh ini merupakan budaya timur yang harus tetap dilestarikan. Selain teh yang dikonsumsi dengan cara penyeduhan yang baik dapat menjaga stabilitas metabolisme tubuh sehingga tubuh bisa stabil dan sehat. Meminum teh juga seni, karena saat menyeduh teh ada rasa dan mood yang muncul di situ. “Teh ini bisa menjadi antioksidan bagi tubuh. Ibarat stabilizer untuk menstabilkan voltase listrik, maka teh ini adalah stabilisasi bagi tubuh kita.

Saat kita menyeduh teh, kita menggunakan dua tangan, maka otak kiri dan otak kanan kita bekerja. Sehingga membuat kita benar-benar enjoy , kalau percaya hal itu bisa membuat kita terhindar dari pikun,” kata Endar. Namun, Endar mengakui kalau tradisi teh ini sempat memudar di tengah masyarakat. Padahal, bagi tradisi masyarakat Tionghoa, minum teh ini adalah kehormatan karena biasanya ada tradisi yang memberikan teh dari yang muda ke yang tua sebagai rasa hormat.

Begitu pun, belakangan ini generasi muda termasuk di Medan menurut Endar sudah mulai kembali back to nature. “Kalau kita lihat belakangan ini banyak anak muda yang sudah peduli dengan kesehatan, mulai menghindari minuman bersoda dan lainnya. Mereka lebih memilih teh karena sudah mulai sadar untuk kesehatan. Di China dan Jepang kalau kita singgah ke kafe atau kedai minuman yang ada cuma dua pilihan, minum, yakni teh dan arak.

Teh yang disajikan juga tidak menggunakan gula, melainkan adalah teh murni,” papar Endar. Di rumah teh HTT lanjut Endar, pihaknya menyediakan teh yang didatangkan dari Tiongkok, Bogor juga Sidikalang. Tiga jenis teh yang disajikan yakni teh tanpa fermentasi, yaitu teh hijau, teh dengan full fermentasi atau hitam, dan teh yang semifermentasi yakni teh merah. “Semua teh ini berasal dari satu jenis daun yakni camelia sinensis.

Untuk masyarakat Sumut sangat baik mengonsumsi black tea karena rata-rata masyarakat Sumut bermasalah dengan lambung. Hal itu disebabkan seringnya memakan gorengan juga mi dan makanan yang mengandung penyedap,” kata Endar. Anggota DPRD Sumut Brillian Moktar menuturkan, dia merupakan pencinta teh pu erh. Teh yang difermentasi dan disimpan dalam waktu yang lama.

Sebagai sosok vegetarian dan perokok, dia merasakan manfaat dari mengonsumsi teh tersebut. “Dalam lima tahun terakhir rutin mengonsumsi teh pu erh, saya cek secara medis, kondisi paru-paru saya semakin baik. Jadi, teh ini mendetok paru-paru saya,” ucapnya. Karenanya, Brillian menyarankan agar masyarakat meminum teh. Teh yang dikonsumsi benar-benar teh orisinal. Jangan dicampur-campur.

Lantaran menurutnya, jika minum teh yang dicampur-campur maka khasiat dan manfaat teh akan berkurang. Pemilik Rumah Teh Shangri La di Kompleks MMTC Medan ini menuturkan, di rumah tehnya, kini sudah mulai banyak pencinta teh yang datang. Berbagai jenis teh dan alat minum ditawarkan di sini. Mulai dari nampan, set cangkir, dan penyeduhnya. Serta teh yang didatangkan dari Cina.

Di antaranya teh hijau, teh bunga, teh padat, teh titam, dan teh oolong. Senada, pemilik Raja Foto Studio, Janice, juga mengaku sebagai pencinta teh. Dia lebih menyukai teh pu erh. Menurutnya, teh pu erh tidak memiliki efek samping, terutama ke lambung. “Saya tidak bisa minum teh hijau karena sangat berpengaruh ke lambung, terutama kalau ada sakit maag,” ujarnya.

Janice suka menyajikan teh untuk acara kumpul-kumpul bersama kerabat dan sahabat. Melalui minum teh bersama, Janice ingin menciptakan suasana minum teh yang lebih akrab. Menurutnya, ngeteh bisa menghilangkan kekakuan suasana. Di sisi lain, tidak hanya rumah teh yang khusus menyajikan teh murni untuk kesehatan. Rumah teh yang baru muncul, hadir dengan memberikan warna baru bagi pencinta teh di Medan.

Misalnya, Rumah Teh Tong Tji. Baru hadir sejak awal 2015 di Plaza Medan Fair. Di sana penikmat teh bisa menikmati sensasi teh melati asal Tegal. Berbagai rasa teh melati yang dicampur dengan rempah- rempah dan berkhasiat untuk kesehatan disajikan. Apalagi ditambah dengan suasana rumah teh berwarna hijau.

Tentu akan menambah kenyamanan bagi pengunjungnya. Agus Sulistijo, penanggung jawab Tea House Tong Tji di luar daerah Jawa, mengatakan teh Tong Tji ini sudah ada sejak 1938 silam didirikan pengusaha bernama Tan See Giam. Saat ini sudah ada menyebar di sejumlah kota besar seperti, Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta, Makasar, Medan, Manado, Lampung, Kediri, Tegal, dan lainnya.

Berbeda dengan teh lainnya, karena teh melatih diolah dengan cara tradisional, lalu mencampurkan teh dengan aroma kuncup melati. Berbagai rasa teh dengan sensasi teh melati yang juga berkhasiat untuk kesehatan ada di Rumah Teh Tong Tji. Di antaranya teh uwuh yang rasanya terdiri dari campuran rempahrempah, seperti jahe dikepruk, daun salam, batang serai, lengkuas, dan cengkeh. Tidak hanya itu, tradisional javanese tea juga merupakan teh jasmine menjadi menu unggulan.

Psikolog Irna Minauli menilai tradisi teh ini memang tidak bisa dihilangkan. Saat ini budaya teh harus terus digalakkan di kalangan orang Indonesia, khususnya ketika mereka berkumpul bersama keluarga. Selain dapat mempengaruhi peningkatan komunikasi kepada anggota keluarga, teh juga dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan dan psikologis seseorang.

“Dengan minum the bersama akan menimbulkan rasa tenang. Tentu selama ngeteh , semuanya harus meninggalkan gadget -nya masing-masing sehingga lebih fokus menikmati rasa tehnya dan keakraban yang ditimbulkan di suasana minum teh,” kata Irna Minauli kepada KORAN SINDO MEDAN kemarin. Saat ini waktu berkualitas di antara anggota keluarga sudah semakin sedikit.

Masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan ketika berkumpul dengan keluarga pun, mereka masih sibuk dengan ponsel atau gadget -nya masing-masing. Namun, saat ngeteh bareng itu tentunya kontak mata akan lebih banyak dibandingkan dengan komunikasi biasa yang sering tanpa berpandangan mata sama sekali. Padahal dengan kontak mata dapat meningkatkan kedekatan di antara mereka yang melakukannya.

Hal ini dapat menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka. Pengamat sosial Agus Suryadi menuturkan kultur sejarah budaya minum teh yang masuk ke Indonesia terbagi dua, yakni budaya Tiongkok dan Jepang. Bagi dua budaya ini, minum teh dilakukan untuk mempererat tali silaturahmi dan untuk menjaga kesehatan.

Namun, seiring perkembangan globalisasi, hanya minum teh untuk mempererat tali silaturahmi saja yang tetap sama, sedangkan untuk menjaga kesehatan sudah mulai memudar. “Sekarang wujudnya berubah lantaran dipadankan dengan budaya barat. Jenis minuman yang digunakan sudah variatif dan dicampur.

Minum teh yang dicampur ini, seperti menjadi presitis bagi kalangan masyarakat kota,” ungkapnya. Karenanya, Agus berharap agar variasi minuman ini harus diperhatikan. Dengan tidak menghilangkan silaturahmi, minuman sehat juga terjaga. Dengan begitu, budaya ngeteh bisa bertahan di masyarakat.

Lia anggia nasution/ eko agustyo fb/ siti amelia
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3602 seconds (0.1#10.140)