Kesultanan Deli Somasi PT ACK
A
A
A
MEDAN - Kesultanan Deli melayangkan surat somasi kepada PT Arga Citra Kharisma (ACK), Pemerintah Kota (Pemko) Medan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan, karena menganggap sudah merampas dan mengaburkan hakhak mereka terhadap lahan di Jalan Jawa seluas 36.000 meter persegi.
“Kami sudah melayangkan surat somasi kepada tiga pihak tersebut sejak Sabtu (4/4) sesuai kewenangan masing-masing pihak. Upaya ini sebagai peringatan kepada mereka, karena sudah melawan hukum dan merampas hak-hak Kesultanan Deli,” ujar Kuasa Hukum Kesultanan Deli, Abdul Hakim Siagian, didampingi Kepala Urusan Pertanahan Kesultanan Deli, Dr OK Saidin, kepada wartawan, kemarin.
Abdul Hakim menyebutkan, PT ACK diperingatkan segera menyerahkan lahan Jalan Jawa dalam keadaan baik dan kosong kepada Kesultanan Deli. Sementara kepada Pemko Medan, Kesultanan Deli memperingatkan agar tidak mengeluarkan perizinan dalam bentuk apapun, seperti izin mendirikan bangunan dan izin perubahan peruntukan.
Pemko Medan juga diminta segera merobohkan bangunan yang tidak memiliki izin di atas lahan tersebut. “Masyarakat kecil saja yang bangunannya tidak punya izin dibongkar dengan alasan demi menegakkan aturan. Nah, ini bangunan besar yang jelas-jelas tidak ada izinnya, seharusnya juga (ditindak) tegas. Kalau tidak, berarti dugaan kami selama ini terhadap pemko benar.
Pemko ada main mata, terkesan membiarkan. Padahal, tidak ada izin apapun,” tuturnya. Sementara bentuk somasi yang disampaikan Kesultanan Deli kepada kepala BPN meminta tidak memproses penerbitan hak atau pengalihan hak apapun di atas tanah Jalan Jawa. Sebab, hingga saat ini Kesultanan Deli tidak pernah melepas atau mengalihkan hak tersebut kepada siapa pun dengan cara apa pun, termasuk kepada pihak PT ACK yang sekarang menduduki dan menguasai lahan itu.
“Apabila masing-masing pihak tidak mengindahkan somasi atau peringatan yang kami layangkan, kami akan layangkan sekali lagi dan selanjutnya akan melakukan upaya hukum (gugatan) sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku,” ucapnya. Menurut dia, Kesultanan Deli memiliki bukti cukup kuat sebagai alas hak untuk mempertahankan tanah di Jalan Jawa.
Sebab, berdasarkan kontrak konsesi Mabar-Deli Toewa pada 11 Juni 1870, atau bertepatan 11 Rabiul Awal 1287, antara Kesultanan Deli dan Deli Maatschappij yang dibuat dan ditandatangani di depan notaris W J M Michielsen tertanggal 17 Nopember 1870, disebutkan tanah Jalan Jawa tersebut adalah milik Kesultanan Deli.
Tanah itu kemudian digunakan untuk membangun sarana kereta api atas persetujuan Sultan Deli. “Sultan memberikan izin, dan kalau tidak dipakai lagi harus dikembalikan. Nah , kontrak Mabar itu sudah berakhir 2002 lalu, jadi harusnya sudah dikembalikan. Memang benar, ada peristiwa politik yang disebut nasionalisasi, menjadikan aset nasional yang bukan nasional. Itulah hak keperdataan, tapi bukan termasuk tanah. Sebab, yang punya tanah adalah pribumi, masyarakat Melayu.
Jadi, harus dikembalikan ke pemiliknya,” ungkapnya. Kepala Urusan Pertanahan Kesultanan Deli, Dr OK Saidin, menambahkan, setelah mempelajari UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, ternyata yang boleh dinasionalisasi adalah aset. Dalam buku aset kekayaan Belanda, DSM (Deli Spur Maskapai) ternyata tidak termasuk dalam daftar, hanya sebatas sewa.
“PJKA yang akhirnya mengubah nama menjadi PT KAI ternyata tidak pernah membangun apapun di atas lahan itu sejak awal. Yang membangun ternyata DSM. PT KAI hanya penerus hak. Sebagai penerus hak, seharusnya meneruskan hak yang ada, tapi ternyata tidak ada. Mereka hanya menambah pada hak yang tidak ada, itu yang membuat kami keberatan,” ucapnya.
Meski dalam perkara lahan Jalan Jawa PT KAI sudah dikalahkan karena PT ACK sudah membayar uang ganti rugi kepada mantan karyawan PT KAI, sifatnya hanya hubungan hukum antaraPTACKdanPTKAI, bukan hubungan hak kebendaan yang bisa dipertahankan terhadap semua orang. “Artinya mereka (PT ACK) harus mencari apa alas hak mereka mempertahankan lahan Jalan Jawa,” katanya.
Eko agustyo fb
“Kami sudah melayangkan surat somasi kepada tiga pihak tersebut sejak Sabtu (4/4) sesuai kewenangan masing-masing pihak. Upaya ini sebagai peringatan kepada mereka, karena sudah melawan hukum dan merampas hak-hak Kesultanan Deli,” ujar Kuasa Hukum Kesultanan Deli, Abdul Hakim Siagian, didampingi Kepala Urusan Pertanahan Kesultanan Deli, Dr OK Saidin, kepada wartawan, kemarin.
Abdul Hakim menyebutkan, PT ACK diperingatkan segera menyerahkan lahan Jalan Jawa dalam keadaan baik dan kosong kepada Kesultanan Deli. Sementara kepada Pemko Medan, Kesultanan Deli memperingatkan agar tidak mengeluarkan perizinan dalam bentuk apapun, seperti izin mendirikan bangunan dan izin perubahan peruntukan.
Pemko Medan juga diminta segera merobohkan bangunan yang tidak memiliki izin di atas lahan tersebut. “Masyarakat kecil saja yang bangunannya tidak punya izin dibongkar dengan alasan demi menegakkan aturan. Nah, ini bangunan besar yang jelas-jelas tidak ada izinnya, seharusnya juga (ditindak) tegas. Kalau tidak, berarti dugaan kami selama ini terhadap pemko benar.
Pemko ada main mata, terkesan membiarkan. Padahal, tidak ada izin apapun,” tuturnya. Sementara bentuk somasi yang disampaikan Kesultanan Deli kepada kepala BPN meminta tidak memproses penerbitan hak atau pengalihan hak apapun di atas tanah Jalan Jawa. Sebab, hingga saat ini Kesultanan Deli tidak pernah melepas atau mengalihkan hak tersebut kepada siapa pun dengan cara apa pun, termasuk kepada pihak PT ACK yang sekarang menduduki dan menguasai lahan itu.
“Apabila masing-masing pihak tidak mengindahkan somasi atau peringatan yang kami layangkan, kami akan layangkan sekali lagi dan selanjutnya akan melakukan upaya hukum (gugatan) sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku,” ucapnya. Menurut dia, Kesultanan Deli memiliki bukti cukup kuat sebagai alas hak untuk mempertahankan tanah di Jalan Jawa.
Sebab, berdasarkan kontrak konsesi Mabar-Deli Toewa pada 11 Juni 1870, atau bertepatan 11 Rabiul Awal 1287, antara Kesultanan Deli dan Deli Maatschappij yang dibuat dan ditandatangani di depan notaris W J M Michielsen tertanggal 17 Nopember 1870, disebutkan tanah Jalan Jawa tersebut adalah milik Kesultanan Deli.
Tanah itu kemudian digunakan untuk membangun sarana kereta api atas persetujuan Sultan Deli. “Sultan memberikan izin, dan kalau tidak dipakai lagi harus dikembalikan. Nah , kontrak Mabar itu sudah berakhir 2002 lalu, jadi harusnya sudah dikembalikan. Memang benar, ada peristiwa politik yang disebut nasionalisasi, menjadikan aset nasional yang bukan nasional. Itulah hak keperdataan, tapi bukan termasuk tanah. Sebab, yang punya tanah adalah pribumi, masyarakat Melayu.
Jadi, harus dikembalikan ke pemiliknya,” ungkapnya. Kepala Urusan Pertanahan Kesultanan Deli, Dr OK Saidin, menambahkan, setelah mempelajari UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, ternyata yang boleh dinasionalisasi adalah aset. Dalam buku aset kekayaan Belanda, DSM (Deli Spur Maskapai) ternyata tidak termasuk dalam daftar, hanya sebatas sewa.
“PJKA yang akhirnya mengubah nama menjadi PT KAI ternyata tidak pernah membangun apapun di atas lahan itu sejak awal. Yang membangun ternyata DSM. PT KAI hanya penerus hak. Sebagai penerus hak, seharusnya meneruskan hak yang ada, tapi ternyata tidak ada. Mereka hanya menambah pada hak yang tidak ada, itu yang membuat kami keberatan,” ucapnya.
Meski dalam perkara lahan Jalan Jawa PT KAI sudah dikalahkan karena PT ACK sudah membayar uang ganti rugi kepada mantan karyawan PT KAI, sifatnya hanya hubungan hukum antaraPTACKdanPTKAI, bukan hubungan hak kebendaan yang bisa dipertahankan terhadap semua orang. “Artinya mereka (PT ACK) harus mencari apa alas hak mereka mempertahankan lahan Jalan Jawa,” katanya.
Eko agustyo fb
(bbg)