Dulu Kebanggaan, Kini Hanya Jadi Pilihan Terakhir

Minggu, 05 April 2015 - 10:47 WIB
Dulu Kebanggaan, Kini...
Dulu Kebanggaan, Kini Hanya Jadi Pilihan Terakhir
A A A
PULUH tahun sudah pria yang rambutnya memutih ini hidup dari laut. Wajahnya yang mengkriput tak membuat nyalinya surut untuk mengarungi luasnya pesisir pantai timur Sumatera.

Pahit getir serta manisnya kehidupan di saat harus bertopang nasib dari kekayaan laut sudah pernah dirasakannya. Namun asam garam pengalaman yang telah dilampauinya tak pula membawanya pada taraf hidup yang mensejahterakan bagi keluarga sendiri. Itulah nasib yang harus dijalani Monel Yusuf, 67, warga Kelurahan Pekan Labuhan, Medan yang sudah menjadikan laut sebagai halaman depan rumahnya sejak tahun 1960-an.

Dengan tutur bicara yang cepat dan logat khas masyarakat pesisir, pria yang sudah bercicit ini penuh semangat berbagi pengalaman sebagai nelayan. Pada masa mudanya, menjadi nelayan adalah kebanggaan. Bahkan jika dibandingkan dengan kerja sebagai pegawai, masih punya prestise ketika menyandang status sebagai nelayan. Sebab dari sisi penghasilan, mereka bisa lebih sejahtera dibanding pegawai.

“Dulu maaf cakap, orang makan gaji (pegawai) angkat tangan lah penghasilannya. Lebih mau lagi jadi nelayan daripada kerja di darat,” kata Monel. Karena untuk mencari ikan, udang dan cumi, sangat mudah. Cukup menunggu di satu lokasi pemasangan jaring, sudah dapat tangkapan yang memadai. Berbeda dengan saat ini, harus lebih banyak bergerak mengarungi laut hingga bermil-mil jauhnya namun belum tentu dapat seperti yang diharapkan.

“Nggak perlu jauh-jauh cari ikan, cukup diambai (jaring yang dipasang pada belat) saja udah dapat. Sekarang harus bergerak kemana-mana sampai ke tengah belum tentu dapat,” ujarnya. Ibaratnya kerja sehari, bisa untuk kehidupan seminggu. Anak-anak muda dulu jika sudah tidak punya uang di kantong, cukup pergi ke laut sebentar sudah bisa berisi kantong. “Kalau mau duit tinggal ke laut. Dulu aja rokok saya Abdullah (rokok luar negeri), paling jatuh Samsu. Sekarang mau makan pun susah,” sebutnya.

Apalagi pada tahun 1990-an hasil laut pesisir pantai timur Sumatera sedang berkibar. Di saat itu pula dirinya memiliki perahu sendiri. Jika untuk sekedar membangun rumah, cukup mudah menurutnya. Karena itu pula ketiga anaknya yang ada saat ini ikut menjadi nelayan pula. Namun setelah berkembang alat tangkap trawl atau jaring pukat harimau dan cantrang yang merusak lingkungan dan rumah-rumah ikan, hasil tangkapan nelayan turun drastis.

Bagaimana tidak merusak, alat tangkapnya menyapu bersih dasar laut bahkan mengeruknya hingga 30 sentimeter ke dalam tanah. Setiap lewat kapal motor trawl, air laut langsung keruh. Ikan-ikan yang masih kecil, bahkan yang belum menetas pun habis terbawa beserta karang- karangnya. Perekonomian nelayan hancur lebur dihantam pukat harimau yang merajalela di lautan. Kini nelayan hidup di garis kemiskinan.

Jika dulu bangga menyandang status sebagai nelayan, kini pekerjaan itu pun hanya menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat Pekan Labuhan. “Mau tak mau jadi nelayan ini pilihan terakhir. Kalau ada pekerjaan lain, bagus pilih yang lain,” ujarnya lirih. Zainuddin, 29, warga Kelurahan Pekan Labuhan, meski dari generasi yang berbeda dengan Monel, namun sempat juga merasakan enaknya menjadi keluarga nelayan.

Bahkan dimasa sekolahnya dulu, kerap membawa teman-temannya ke rumah untuk dihidang beragam makanan laut yang lezat dan jarang ada ditemukan di pasar atau pun warung nasi. “Dulu kawan-kawan sekolah sering saya ajak kemari dijamu dengan bakar-bakar ikan. Kalau sekarang udah nggak bisa lagi lah. Untuk makan sehari-hari di rumah aja susah,” keluhnya. Yang lebih memprihatinkan lagi menurutnya regenerasi nelayan perlahan akan menghilang jika perekonomiannya tidak kunjung membaik. Sebab kini anak-anak nelayan lebih suka bekerja di pabrik dan pasar-pasar dibanding turun ke laut yang penghasilannya tidak jelas.

“Sekarang kaderisasi nelayan sudah nggak ada lagi. Kalau dulu masih kecil-kecil anak nelayan ini sudah bisa diupah untuk bersihkan boat dan ikut melaut pas libur. Sekarang mana ada lagi, ke pasar-pasar lah mereka. Syukur-syukur nggak jadi preman,” ujarnya.

M rinaldi khair
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7962 seconds (0.1#10.140)