Usia Media Cetak Masih Cukup Panjang

Selasa, 31 Maret 2015 - 09:37 WIB
Usia Media Cetak Masih...
Usia Media Cetak Masih Cukup Panjang
A A A
BANDUNG - Nasib media massa cetak terutama koran di Indonesia masih cukup pan jang, meskipun gempuran media elektronik maupun online sangat gencar dan tak terbendung.

Selama jaringan internet di Indonesia belum merata, gempuran media elektronik mau pun onlinetak terlalu jadi permasalahan. Demikian diungkapkan Re daktur Pelaksana KORAN SIN DO Hanna Farhana dalam acara Sindo Goes to Kampus yang ber lang sung di Gedung Hj Kartimi Kridhoharsojo atau Aula Uni ver sitas Islam Ban - dung (Unis ba), Jalan Tamansari, Kota Ban dung, kemarin Hadir pula dalam kesem pat an tersebut Redaktur KORAN SINDO Armydian Kurniawan dan Wakil Pemimpin Redaksi Sindo TV Latief Siregar.

“Satu faktor lain yang membuat umur koran masih agak panjang adalah kepercayaan iklan di media cetak masih sangat tinggi. Sebab feedback bagi pengiklan cepat dan terasa,” kata Hanna. Namun begitu, pelaku me dia cetak khususnya KORAN SIN DO sudah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari. Misalnya, seorang reporter bertugas meliput event yang lumayan be sar seperti G20 di Brisbane, selain mengirim berita untuk ko ran, dia juga harus mampu mengirim untuk online dalam hal ini sindonews.comdengan karak terhard news, oke zone.comyang lebih soft news.

Atau juga live report di Radio Sindo Trijaya FM yang lebih serius,Global Radio yang lebih gaul, atau reportke televisi yang berbeda pula tekhniknya. “Mau tidak mau, reporter harus bisa karena tuntutan zaman sudah seperti itu,” ujar dia. Menurut dia, keunggulan lain media cetak adalah, bisa menguasai ruang dan waktu. Fisiknya selalu ada. Karena itu, praktisi (wartawan dan redaktur koran) harus memper hatikan akurasi saat proses editing untuk publikasi dan laporan yang mendalam.

“Kami melakukan perubahan konsep dengan mengusung view paper, menonjolkan grafis maupun gambar. Ini bagian inovasi kami dalam menghadapi ge rusan digital. Kami juga menye barkan virus membaca dan gemar menulis di kalangan anak muda,” tutur Hanna. Dalam kesempatan sama, Re daktur KORAN SINDO Army dian Kurniawan mengemu kakan, di era digital seperti saat ini, terjadi pergeseran pola pikir di masyarakat. Masyarakat yang awalnya merupakan konsumen pasif informasi, kini menjadi produsen aktif dengan satu gadget.

“Untuk menyokongnya, bisa dengan literasi media yakni menggali daya kritis masyarakat. Informasi yang disebarkan masyarakat umum melalui media sosial atau sebagainya bisa di gunakan media mainstream melalui proses verifikasi dari second source,” kata Army.

Sementara itu, Wakil Pemimin Redaksi Sindo TV Latief Si regar menceritakan soal urgensi televisi berjaringan dengan hadirnya undang-undang (UU) yang mewajibkan televisi menayangkan tayangan lokal dan diberhentikannya izin pem buatan TV nasional.

“Penerapan UU tersebut ingin mengubah kebiasaan menonton TV nasional dan meninggalkan siaran lokal. Selama ini ada bias Jakarta. Seolah informasi yang disantap setiap hari diatur orang Jakarta, karena banyak pemangku kepenting an/tokoh politik yang tinggal di Jakarta,” kata Latief. Karena itu, ungkap dia, ada regulasi yang mengatur TV lokal dengan mewajibkan minimal dua jam sehari menyiarkan konten lokal.

Dengan TV lokal, masyarakat bisa menyaksikan apa yang terjadi di sekitarnya. Bagi orang yang punya uang, menjadi kesempatan ikut di dunia TV. Selain itu, kesempatan juga bagi anak muda masuk media. “Kontennya bisa menyang kut masyarakat sekitar. Mengangkat kearifan lokal. Banyak juga menampilkan tokoh lokal yang lebih dikenal masyarakat sekitar,” ungkap dia.

Namun, tutur Latief, hal ini tak lepas dari kendala, di antaranya orang tidak suka TV lokal. M-ungkin karena siaran belum tepat sasaran. “Selain itu, sejak UU penyiaran 2002 ditetapkan dan sempat direvisi tahun 2008, penerapannya belum terwujud. Ini jadi kendala tersendiri,” tutur Latief. Dari sisi akademisi, pakar jurnalistik Unisba, Alex Sobur mengemukakan, kenyataan bah wa terjadi penurunan budaya baca di kalangan anak muda cukup memprihatinkan.

Jangankan untuk membaca buku, membaca koran pun patut disansikan. “Saya pribadi belum punya data pasti berapa banyak anak muda yang masih membaca koran. Kalaupun dalam bentuk lain, e-newspaper, masih diragukan. Saya kesulitan mem peroleh data, karena yang dibuka anak muda kebanyakan adalah media sosial,” kata Alex. Jika ditarik secara makro, ujar dia, Indonesia punya sekitar 60 juta blog, 150 juta web, dan 80 juta pengguna internet pada 2008. Sekarang dipastikan lebih banyak lagi.

“Sebagai peng ajar, terasa sekali ketika saya meminta mahasiswa menggali isu aktual, mereka kurang memahami. Seringkali mereka tidak bisa membedakan antara tips, gosip, rumor, dan berita. Seolah yang mereka baca di media sosial dimaknai berita,” ujar dia. Alex masih percaya bahwa laporan yang tergesa-gesa masih belum berkorelasi dengan keakuratan. Media cetak punya po tensi dengan adanya indepth report, jurnalisme narasi, dan investigative report. Karena di sana ada kedalaman, keakuratan, konteks dimana peristiwa itu terjadi.

“Bill Kovach dan Tom Resenstiel dengan sembilan elemen jurnalismenya meng ingatkan, kewajiban pertama jurnalis me adalah pada kebenaran, lo yalitas jurnalisme adalah ke - pada publik, dan kewajiban jurnalisme adalah keakuratan,” tutur Alex. Di era yang semakin kom petitif, kata dia, media cetak harus melakukan inovasi dari sisi perwajahan, peningkatan SDM, dan secara konten menyajikan misalnya ekspedisi ke daerah pedalaman dan disajikan dalam ben tuk feature. Kalau tidak begitu, media cetak akan tergilas oleh kompetitor.

“Wartawan tidak hanya tahu satu media, tapi multitaskingdengan tidak hanya bisa mem berikan laporan ke koran, tapi juga ke online, radio, dan TV. Kemampuan berbahasa juga, se makin banyak semakin bagus. Karena pembaca semakin cerdas. Selain itu juga harus well inform (terbuka untuk segala informasi),” ungkap dia.

Fauzan
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1259 seconds (0.1#10.140)