Ironi Daerah Trofis

Minggu, 22 Maret 2015 - 09:35 WIB
Ironi Daerah Trofis
Ironi Daerah Trofis
A A A
Hari ini masyarakat memperingati Hari Air Sedunia ( World Water Day ). Peringatan ini dimaksudkan sebagai wahana untuk memperbaharui tekad menyelamatkan dan mengendalikan keseimbangan air, serta meningkatkan kualitas air itu sendiri.

Namun ironis, perbaikan kualitas maupun pasokan air bersih di Sumatera Utara (Sumut) sepertinya masih jauh panggang dari api. Air merupakan kebutuhan vital bagi manusia karena hampir semua kegiatan yang dilakukan memerlukan air. Mulai dari bangun tidur, beraktivitas, hingga kembali tidur, manusia tidak bisa lepas dari yang namanya air.

Namun, pesatnya perkembangan zaman dan peningkatan jumlah penduduk membuat sumber-sumber air semakin terjepit. Kondisi ini mengakibatkan ketersediaan air bersih semakin menipis. Kondisi ini diperburuk tindakan manusia yang seakan semena-mena melakukan pembangunan tanpa peduli lingkungan.

Kebiasaan pemborosan menggunakan air dan mengubah area tangkapan air menjadi bangunan menyebabkan pasokan air terus menurun. Oleh karena itu, sejak 1993 setiap negara anggota PBB menyepakati 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia ( World Water Day ) . Memasuki peringatan yang ke-33, tujuan dari Hari Air Sedunia tersebut sepertinya belum dirasakan masyarakat Sumut.

Kondisi air di Sumut, khususnya Kota Medan, bisa disebut sudah di ambang kritis. Masyarakat semakin sulit menikmati air bersih. Air yang mengalir melalui pipa PDAM Tirtanadi ke rumah- rumah warga sering kotor, bau, dan debitnya sangat kecil. “Kadang karena debit airnya yang kecil sekali mau mencuci pun susah. Air hidup jam 04.00 pagi nanti jam 07.00 WIB sudah mati.

Baru hidup lagi sore hari, makanya terpaksalah harus bangun dini hari menampung air. Lumayan kalau airnya bersih, ini terkadang airnya pun kotor,” keluh, Risma, ibu rumah tangga di kawasan Medan Sunggal. Kondisi ini tentu sangat kontras jika melihat letak Kota Medan. Medan merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran rendah dengan ketinggian 22,5 meter di bawah permukaan laut.

Ibu kota Provinsi Sumut ini dibelah dua sungai besar, yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka. Secara geografis, Medan terletak pada 3,30°-3,43°lintang utara dan 98,35°-98,44° bujur timur dengan topografi cenderung miring ke utara. Kota Medan beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Tak heran bila kota ini sering diguyur hujan dalam waktu yang terkadang relatif lama.

Walaupun sedang memasuki musim kemarau, hujan masih kerap turun pada malam hari. Regional Koordinator Lembaga Internasional Indonesia Urban, Water, Sanitation and Hygiene (Iuwash) Sumut Yayat Kurniawan menuturkan, berdasarkan observasi Iuwash di sembilan wilayah kerja mereka, kurang dari 50% masyarakat tidak mendapatkan pasokan air bersih dari Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM).

Dari daerah Langkat, Binjai, Medan, Tebingtinggi, Pematangsiantar, Asahan, Tanjungbalai, Labuhanbatu, dan Sibolga daerah paling minim pasokan air bersihnya adalah Langkat dan Labuhan Batu. Menurut Yayat, masalah tingkat pelayanan air kepada masyarakat di Sumut bervariasi. Seperti di Langkat dan Labuhanbatu, tingkat pelayanan masih rendah karena banyak daerah lural area atau pedesaan yang belum terjangkau layanan akibat minimnya infrastruktur.

Lalu untuk wilayah perkotaan seperti Medan, masalah yang timbul adalah kualitas tekanan air. Tekanan air di Kota Medan saat ini tidak merata di semua daerah. Ada daerah yang tekanan tinggi sehingga air mengalir lancar. Tapi banyak juga yang tekanan airnya rendah sehingga tidak kebagian air. Kondisi ini disebabkan struktur jaringan tidak bekerja optimal.

“Jadi, di Kota Medan sangat diperlukan pembenahan jaringan untuk pemerataan tekanan air ke masyarakat,” ujarnya. Tekanan air yang tidak optimal ini menyebabkan perubahan prilaku masyarakat. Saat ini banyak masyarakat yang menyedot air dengan menggunakan mesin pompa air karena tidak sabar melihat kecilnya suplai air.

Tingkah ini menyebabkan kondisi jaringan yang tidak optimal semakin parah. Lantaran kualitas air dari instalasi pengolahan air yang dimiliki PDAM sudah bagus. Namun dalam penyalurannya, sering terjadi kebocoran di pipa sambungan, sehingga tanah masuk keair yang didistribusikan ke masyarakat.

Pernah juga terjadi air menjadi kotor lantaran pipa jaringan air yang sudah lama tidak dicuci, sehingga “kerak air” keluar lewat keran. Terbatasnya pasokan air dari PDAM ini menyebabkan banyak masyarakat yang terpaksa menggunakan air dari sungai (air permukaan) juga air bawah tanah (ABT).

“Kalau di Medan masyarakat juga masih menggunakan air permukaan yakni air sungai untuk kebutuhan hidup juga air bawah tanah,” kata Kabag Sumber Daya Alam (SDA) Setdako Medan Soritua. Soritua menyebutkan, untuk kondisi air permukaan yakni sungai memang sangat dipengaruhi dari kondisi air mulai dari hulu ke hilir.

Kota Medan berada di tengah-tengah karena kualitas air sungai itu dipengaruhi kabupaten/kota lainnya yang dilalui dari hulu ke hilir, mulai dari Karo hingga Serdang bedagai dan Binjai. Karena itu, untuk perbaikan kualitas air sungai, Kota Medan sangat tergantung dengan daerah lain. “Makanya, kami sangat mengharapkan Badan Wilayah Sungai (BWS) dapat berperan untuk meningkatkan kualitas air sungai,” ucap Soritua.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut Risma Wati tidak menampik masih minimnya sumber air bersih yang bisa diakses masyarakat. Dari sumber-sumber air yang ada, hanya sumber air yang berasal dari daerah hulu yang kualitasnya masih baik dan layak digunakan sebagai air baku air minum. Sementara sumber air yang berasal dari tengah dan hilir, kualitas airnya semakin menurun.

Hal ini akibat kegiatan pemukiman, pertanian, dan peternakan berpusat di perkotaan. “Kalau daerah hulu pada umumnya berada di daerah Karo, Langkat, dan Deliserdang. Sementara daerah di bagian tengah dan hilir ya di perkotaan, seperti Medan, Serdangbedagai, dan Binjai. Semakin ke tengah dan ke hilir, kualitasnya semakin menurun,” kata Risma Wati kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini.

Menurut Risma, air yang dikonsumsi masyarakat perkotaan saat ini adalah bersumber dari hulu yang dikelola terlebih dahulu oleh PDAM. Umumnya masyarakat kota berlangganan PDAM, tapi masyarakat yang tinggal di pinggir sungai di daerah perkotaan pada umumnya banyak yang memanfaatkan air sungai secara langsung. Padahal itu sebenarnya tidak diperbolehkan karena tidak layak digunakan langsung.

Hal yang sama dikatakan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut Kusnadi. Dia menilai persoalan air bersih ini sebenarnya tak lepas dari ketidakseriusan pemerintah meningkatkan status kelayakan sumber air. “Belum ada langkah yang konkret yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan status kelayakan air di Sumut.

Yang terjadi saat ini, yang tidak tercemar malah menjadi tercemar dan yang tercemar semakin tercemar. Itu dapat dilihat dari Sungai Deli dan Danau Toba. Lihat saja kandungan Bo CoDnya meningkat. Artinya, kualitasnya semakin buruk,” ungkap Kusnadi. Tak hanya itu, dari segi regulasi yang ada pun, Kusnadi melihat belum dilaksanakan secara optimal.

Hal itu dapat dilihat dari ketidakpedulian perusahaan industri pada kelestarian lingkungan. Masyarakat sendiri juga masih kurang sadar akan lingkungannya. “Sementara itu, sumbersumber air yang bagus yang berada di Doulu, Karo yang dikelola PDAM belum menjadi pelayanan utama dalam pemenuhan kebutuhan air untuk masyarakat. Buktinya, masih banyak penduduk yang terairi.

Dan parahnya, air PDAM ternyata harus dimasak dulu untuk diminum. Harusnya kan kalau pengelolaannya bagus, tanpa dimasak juga bisa diminum,” ucapnya. Kepala Badan Pengelolaan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan Wiriya Alrahman mengatakan, hingga saat ini terdapat puluhan pengguna air bawah tanah di Kota Medan. Ratarata penggunanya dari industri dan hotel.

Namun, untuk kawasan industri di Kawasan Industri Medan (KIM) sudah dilarang untuk melakukan pengeboran sumur air bawah tanah. “Kalau izin baru untuk sumur air bawah tanah sepanjang 2015 ini memang belum ada, tapi hingga saat ini ada puluhan pengguna air bawah tanah di Medan,” ucapnya. Wiriya mengatakan, hingga saat ini Pemko Medan memang belum mengetahui apakah kondisi air bawah tanah di Medan masih banyak potensinya atau tidak.

Sebab, secara teknis yang mengetahui ceruk dari potensi air bawah tanah itu dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Sumut. “Makanya, setiap ada pengurusan izin baru untuk pengeboran sumur air bawah tanah harus mendapatkan rekomendasi dulu dari Distamben. Sebab, seperti di KIM untuk sekarang sudah dilarang tidak boleh lagi ada izin baru sumur air bawah tanah di sana,” paprnya.

Humas PDAM Tirtanadi Zaman Mendrofa menegaskan persoalan krisis air ini tidak semuanya menjadi tanggung jawab PDAM Tirtanadi. Sebab, krisis air di Sumut akibat keterbatasan dana pengelolaan operasional perusahaan dan meningkatnya sambungan pasang air baru dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi krisis air di Sumut, Pemerintah Provinsi Sumut pada 2012 lalu menyertakan modal Rp200 miliar, tapi jumlah tersebut belum mampu menanggulangi krisis air yang terjadi.

“Untuk mengatasi krisis air di Sumut saat ini dibutuhkan dana segar Rp1,2 triliun. Atau paling tidak setiap tahun Pemerintah Provinsi Sumut sebaiknya menyertakan modal Rp200 miliar untuk biaya operasional prasarana air bersih di tubuh PDAM Tirtanadi,” ucapnya. Rencana ini sudah diajukan melalui program Rencana Pembangunan Investasi Jangka Panjang dan Menegah (RPIJPM), tetapi sampai saat ini belum ada realisasinya.

Selain itu, saat ini PDAM Tirtanadi sangat dilematis karena di satu sisi PDAM terikat dengan Permendagri No 2/2007 tentang Perusahaan Daerah Air Minum telah membatasi dalam memperoleh keuntungan yaitu hanya sebesar 2%. Di sisi lain, PDAM bergerak di bidang sosial sehingga dengan pesatnya laju pertumbuhan satuan sambungan pemasangan air ikut menambah beban biaya operasional perusahaan yang akhirnya menyebabkan krisis air di tengah-tengah masyarakat.

Saat ini PDAM Tirtanadi telah mengupayakan penambahan debit air melalui 2 unit proyek yang terletak di daerah Sunggal Medan dan di Kecamatan Medan Hamparan Perak. Untuk itulah diharapkan keseriusan Pemerintah Provinsi Sumut dalam penyertaan dana Rp1,2 triliun sehingga krisis air bersih dapat segera diatasi.

Lia anggia nasution/siti amelia,/eko agustyo fb
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0521 seconds (0.1#10.140)