Sewindu Ki Hadi Sugito, Wayangan 3 Hari 3 Malam
A
A
A
KULON PROGO - SEWINDU sudah almarhum Ki Hadi Sugito dimakamkan di makam Gentan yang berada di komplek Masjid Tiban Al Muhajirin, di Pedukuhan Gentan, Tayuban Panjatan, Kulonprogo.
Beliau dulunya dikenal sebagai dalang kondang, yang konsisten menjaga pakem seni pakeliran. Sejumlah seniman Kulonprogo, secara khusus menggelar peringatan sewindu Ki Hadi Sugito.
Iring-iringan bregodo Jogoboyo dari Desa Tayuban membuka kirab peringatan sewindu meninggalnya Ki Hadi Sugito. Menempuh rute dari Sanggar Mardi Iromo, mereka mengelilingi kampung, tempat masa kecil Ki Hadi Sugito.
Di belakangnya, Bregodo dari Blubuk, Sendangsari, keluarga Ki Hadi Sugito dan juga Paksikaton ikut dalam kirab ini. Suara seruling dan gamelan pasukan menampah rancak kirab yang berakhir di komplek Masjid al Muhajirin.
Kirab ini hanyalah bagian dari peringatan Sewindu Meninggalnya Ki hadi Sugito. Usai kirab, rombongan dan keluarga melakukan ziarah, tabur bunga dan doa bersama di pusara tokoh seniman yang meninggal pada 9 Januari 2008 silam.
“Kirab ini hanya pembukaan, nanti akan nada pentas wayang kulit dan wayang orang untuk mengenang jasa beliau dalam mengembangkan dan menjaga seni pewayangan,” jelas Ketua Sewindu Bambang Sumbogo, yang menjadi ketua panitia.
Menurut Bambang, pada malam hari sebelum kirab juga dilakukan pengajian dan dzikir bersama. Sedangkan pada malam harinya ditampilkan pentas wayang kulit oleh Ki Dimas Sutono Hadi Sugito yang merupakan cucu dari Ki Hadi Sugito.
Pada Sabtu malam, juga digelar pentas wayang orang oleh paguyuban Panca Budaya. Dilanjutkan dengan pentas wayang Ki Agus Hadi Sugito dari Prambanan. Pada Minggu Siang juga ada pentas wayang kulit oleh Ki Rekso hadi Sugito.
Malam harinya, pentas dilakukan oleh Ki Joko Sumitro yang merupakan adik dari Ki Hadi Sugito. “Kita ingin mikul duwur mendhem jero (melestarikan budaya dan menjunjung tinggi ajaran) beliau,” kata mantan Ketua Dewan Kebudayaan Kulonprogo ini.
Ki Sumbodo yang merupakan putra kedua dari Ki Hadi Sugito mengaku terharu dengan digelarnya peringatan Sewindu Meninggalnya Ki Hadi Sugito. Keluarga tidak pernah meminta, tetapi justru masyarakat yang secara swadaya menggelar acara ini.
Keluarga berharap, peringatan ini bisa menjadi momentum bagi generasi muda untuk kembali mencintai wayang kulit. Di mana banyak pemuda yang tidak paham dunia pewayangan, karena semakin banyaknya budaya asing melalui film dan televisi.
“Bapak tidak pernah mengejar materi, apa yang dilakukan hanya untuk menjaga persaudaraan,” terangnya.
Sebagai anak tertua pasca kakaknya meninggal, Sumbodo mengaku memilki tanggungjawab untuk melestarikan dan menjaga pakem wayang kulit. Salah satunya dalam hal limbukan dan goro-goro, hanya bagian kecil dari penggalan cerita.
Sehingga, hal itu tidak bisa diperpanjang, karena akan merusak cerita. “Seluruh keturunan banyak yang menjadi dalang, semua sepakat menjaga pakem itu. Limbukan atau goro-goro tidak bisa lama,” tandasnya.
Sumbodo sendiri melihat ayahnya merupakan sosok pahlawan budaya, yang telah banyak mengajarkan budaya pewayangan. Tidak hanya anak, tetapi seni pewayangan juga turun kepada cucu-cucunya.
Beliau dulunya dikenal sebagai dalang kondang, yang konsisten menjaga pakem seni pakeliran. Sejumlah seniman Kulonprogo, secara khusus menggelar peringatan sewindu Ki Hadi Sugito.
Iring-iringan bregodo Jogoboyo dari Desa Tayuban membuka kirab peringatan sewindu meninggalnya Ki Hadi Sugito. Menempuh rute dari Sanggar Mardi Iromo, mereka mengelilingi kampung, tempat masa kecil Ki Hadi Sugito.
Di belakangnya, Bregodo dari Blubuk, Sendangsari, keluarga Ki Hadi Sugito dan juga Paksikaton ikut dalam kirab ini. Suara seruling dan gamelan pasukan menampah rancak kirab yang berakhir di komplek Masjid al Muhajirin.
Kirab ini hanyalah bagian dari peringatan Sewindu Meninggalnya Ki hadi Sugito. Usai kirab, rombongan dan keluarga melakukan ziarah, tabur bunga dan doa bersama di pusara tokoh seniman yang meninggal pada 9 Januari 2008 silam.
“Kirab ini hanya pembukaan, nanti akan nada pentas wayang kulit dan wayang orang untuk mengenang jasa beliau dalam mengembangkan dan menjaga seni pewayangan,” jelas Ketua Sewindu Bambang Sumbogo, yang menjadi ketua panitia.
Menurut Bambang, pada malam hari sebelum kirab juga dilakukan pengajian dan dzikir bersama. Sedangkan pada malam harinya ditampilkan pentas wayang kulit oleh Ki Dimas Sutono Hadi Sugito yang merupakan cucu dari Ki Hadi Sugito.
Pada Sabtu malam, juga digelar pentas wayang orang oleh paguyuban Panca Budaya. Dilanjutkan dengan pentas wayang Ki Agus Hadi Sugito dari Prambanan. Pada Minggu Siang juga ada pentas wayang kulit oleh Ki Rekso hadi Sugito.
Malam harinya, pentas dilakukan oleh Ki Joko Sumitro yang merupakan adik dari Ki Hadi Sugito. “Kita ingin mikul duwur mendhem jero (melestarikan budaya dan menjunjung tinggi ajaran) beliau,” kata mantan Ketua Dewan Kebudayaan Kulonprogo ini.
Ki Sumbodo yang merupakan putra kedua dari Ki Hadi Sugito mengaku terharu dengan digelarnya peringatan Sewindu Meninggalnya Ki Hadi Sugito. Keluarga tidak pernah meminta, tetapi justru masyarakat yang secara swadaya menggelar acara ini.
Keluarga berharap, peringatan ini bisa menjadi momentum bagi generasi muda untuk kembali mencintai wayang kulit. Di mana banyak pemuda yang tidak paham dunia pewayangan, karena semakin banyaknya budaya asing melalui film dan televisi.
“Bapak tidak pernah mengejar materi, apa yang dilakukan hanya untuk menjaga persaudaraan,” terangnya.
Sebagai anak tertua pasca kakaknya meninggal, Sumbodo mengaku memilki tanggungjawab untuk melestarikan dan menjaga pakem wayang kulit. Salah satunya dalam hal limbukan dan goro-goro, hanya bagian kecil dari penggalan cerita.
Sehingga, hal itu tidak bisa diperpanjang, karena akan merusak cerita. “Seluruh keturunan banyak yang menjadi dalang, semua sepakat menjaga pakem itu. Limbukan atau goro-goro tidak bisa lama,” tandasnya.
Sumbodo sendiri melihat ayahnya merupakan sosok pahlawan budaya, yang telah banyak mengajarkan budaya pewayangan. Tidak hanya anak, tetapi seni pewayangan juga turun kepada cucu-cucunya.
(san)