Daluang, Kertas Tradisional Asli Indonesia
A
A
A
KOTA BANDUNG - Seorang ahli filologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tedi Permadi melakukan penelitian panjang terhadap kertas daluang. Kertas daluang yang dulu hampir punah itu kini pembuatannya kembali dikembangkan.
Tedi yang juga Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia UPI itu menjelaskan, daluang adalah lembaran tipis yang terbuat dari kulit kayu pohon deluang. Pohon deluang sendiri memiliki nama latin Broussonetia papyrifera. Daluang biasa digunakan untuk menuliskan sesuatu. Pada era 1960-an, kertas tradisional khas Indonesia ini dinyatakan punah. Sebab, budidaya pohon deluang terhenti dan tidak ada regenerasi pembuat daluang.
Namun, setelah melakukan penelitian panjang sejak 1997 silam, Tedi pun kembali mengembangkan pembuatan daluang. Bahkan, pada Oktober 2014 lalu, daluang telah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut dia, daluang bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan disebut-sebut sebagai half perkamen karena saking kuatnya, mendekati kekuatan kertas dari serat kulit binatang.
“Secara penampakan memang mirip dengan perkamen bagi orang awam. Akan tetapi jika dilihat dan diteliti lebih dalam, maka terlihat jelas perbedaannya,” ungkap Tedi kepada KORAN SINDO, belum lama ini. Meski pohon deluang termasuk langka, namun menurutnya, pengembangbiakan pohon ini sebenarnya mudah. Pohon deluang dikembangkan lebih mudah dengan stek akar. Pohon ini pada usia 1,5 tahun pun sudah bisa diproduksi menjadi kertas.
“Karena akarnya geragih maka akarnya akan menjalar ke bawah permukaan tanah hingga kedalaman 30 cm. Oleh karena itu, pohon deluang harus ditanam pada media tanah yang gembur dan kandungan airnya tinggi. Karena jika tanahnya kering maka akarnya akan mati dan mati pulalah pohonnya,” jelas Tedi. Kini, Tedi tengah membudidayakan 3000 bibit pohon deluang di Bandung, Pacitan, Salatiga, Yogyakarta, Denpasar, dan Mataram.
Dia juga kini tengah melatih masyarakat untuk produksi daluang karena daluang menurutnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi. “Dari dua batang pohon bisa meng ha sil kan sekitar empat gulung da luang yang ukurannya lebih dari dua meter. Dan satu gu lungnya saya jual Rp500.000. Daluang tidak hanya bisa dijadikan media tulis menulis saja, tetapi juga media lukis atau rupa, maupun dijadikan cinderamata,” tandasnya.
Anne Rufaidah
Tedi yang juga Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia UPI itu menjelaskan, daluang adalah lembaran tipis yang terbuat dari kulit kayu pohon deluang. Pohon deluang sendiri memiliki nama latin Broussonetia papyrifera. Daluang biasa digunakan untuk menuliskan sesuatu. Pada era 1960-an, kertas tradisional khas Indonesia ini dinyatakan punah. Sebab, budidaya pohon deluang terhenti dan tidak ada regenerasi pembuat daluang.
Namun, setelah melakukan penelitian panjang sejak 1997 silam, Tedi pun kembali mengembangkan pembuatan daluang. Bahkan, pada Oktober 2014 lalu, daluang telah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut dia, daluang bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan disebut-sebut sebagai half perkamen karena saking kuatnya, mendekati kekuatan kertas dari serat kulit binatang.
“Secara penampakan memang mirip dengan perkamen bagi orang awam. Akan tetapi jika dilihat dan diteliti lebih dalam, maka terlihat jelas perbedaannya,” ungkap Tedi kepada KORAN SINDO, belum lama ini. Meski pohon deluang termasuk langka, namun menurutnya, pengembangbiakan pohon ini sebenarnya mudah. Pohon deluang dikembangkan lebih mudah dengan stek akar. Pohon ini pada usia 1,5 tahun pun sudah bisa diproduksi menjadi kertas.
“Karena akarnya geragih maka akarnya akan menjalar ke bawah permukaan tanah hingga kedalaman 30 cm. Oleh karena itu, pohon deluang harus ditanam pada media tanah yang gembur dan kandungan airnya tinggi. Karena jika tanahnya kering maka akarnya akan mati dan mati pulalah pohonnya,” jelas Tedi. Kini, Tedi tengah membudidayakan 3000 bibit pohon deluang di Bandung, Pacitan, Salatiga, Yogyakarta, Denpasar, dan Mataram.
Dia juga kini tengah melatih masyarakat untuk produksi daluang karena daluang menurutnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi. “Dari dua batang pohon bisa meng ha sil kan sekitar empat gulung da luang yang ukurannya lebih dari dua meter. Dan satu gu lungnya saya jual Rp500.000. Daluang tidak hanya bisa dijadikan media tulis menulis saja, tetapi juga media lukis atau rupa, maupun dijadikan cinderamata,” tandasnya.
Anne Rufaidah
(bhr)