Lahan Sawah Susut Ribuan Hektare
A
A
A
YOGYAKARTA - Awal lembaran 2015 dibuka dengan meroketnya harga beras. Puncaknya terjadi pada pertengahan Februari lalu. Setelah ditelisik, masalah berkurangnya lahan sawah ribuan hektare menjadi penyebab utama.
Harga beras pada Februari lalu tembus Rp11.000 per kilogram (kg). Padahal kondisi normal harganya hanya Rp8.500 per kg. Kepala Bulog Divisi Regional (Divre) DIY Langgung Wisnu Adinugroho mengungkapkan, fenomena kenaikan harga beras di awal tahun adalah hal lumrah. Hanya untuk tahun ini kenaikannya di atas rata-rata.
“Kali ini kenaikannya di atas 30%,” katanya, kemarin. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulonprogo BambangTri Budi tidak menampik, salah satu permasalahan yang dihadapi dalam produksi beras adalah menyusutnya lahan pertanian sawah. Banyak program dari pemerintah menggunakan lahan yang selama ini menjadi andalan produksi padi.
Dia mencontohkan lahan yang dipakai untuk taman budaya maupun kantor penyuluh di Pengasih. Selain itu, banyak lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi permukiman atau kepentingan lain. Belum lagi rencana megaproyek pembangunan bandara. Dipastikan proyek ini akan diikuti dengan pembangunan fisik lainnya yang bakal menggusur lahan pertanian.
“Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) memang alih fungsi lahan ini cukup banyak,” katanya. Untuk menjaga swasembada beras, dinas juga terus berupaya cetak lahan sawah baru, mulai dari Kalibawang, Pengasih, Girimulyo, dan Nanggulan, Sentolo, di antaranya memanfaatkan lahan yang dulu berupa tegal diubah menjadi petak sawah.
Menurut dia, produksi padi di Kulonprogo jauh di atas kebutuhan konsumsi beras masyarakat. Setiap tahun rata-rata konsumsi beras masyarakat hanya 40.000 ton. Dengan asumsi 1 kg padi akan menjadi 0,6 kg beras, maka setiap tahun akan mampu menghasilkan produksi beras hingga 40.000 ton. Jadi, kata dia, setiap tahun Kulonprogo memiliki surplus beras sekitar 40.000 ton.
Mengenai kenaikan harga beras, Bambang meyakini, itu karena mekanisme pasar. Sebab produktivitas padi juga cukup stabil dan tidak banyak terserang hama penyakit. “Idealnya dengan kondisi yang sama, harga tidak berpengaruh,” katanya. Sementara hasil produksi beras di Gunungkidul sering kali mengalami fluktuasi. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Gunungkidul Azman Latief menjelaskan, produksi padi memang terus mengalami fluktuasi.
Kendati demikian, selisih panen tidak jauh berbeda dalam kurun waktu 2012-2015. “Lahan kami masih lumayan karena ditopang lahan persawahan dan juga lahan tegal atau kering,” katanya kepada KORAN SINDO YOGYA , kemarin. Namun, masalah lahan masih menjadi kendala. Pada 2013, luas lahan sawah mencapai 58.924 ha dengan produksi 289.520 ton gabah kering.
Satu tahun kemudian menyusut menjadi 57.2011 ha dengan hasil 289.787 ton gabah kering. Padahal jika luas lahan tetap atau bahkan bertambah, bukan tidak mustahil jumlah panen makin meningkat. Untuk Kabupaten Sleman, pemkab setempat mengklaim tingginya harga beras yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena berkurangnya stok beras di pasaran. Sebab produksi beras masih lebih banyak dibandingkan kebutuhan alias surplus.
“Surplus rata-rata di atas 100.000 ton per tahun. Jadi dengan jumlah tersebut tentu untuk kebutuhan beras di Sleman tidak akan kekurangan,” kata Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (DP2K) Sleman Widi Sutikno, kemarin. Dia menilai tingginya harga beras akibat ada masalah pada distribusi dan manajemen perdagangan di pasaran. Termasuk untuk raskin yang juga belum terdistribusi.
Ditanya produksi beras dari lahan persawahan Sleman, dia mengakui, dalam waktu tiga tahun terakhir terjadi penurunan volume. Widi mengungkapkan, masalah yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan surplus beras ini salah satunya adalah alih fungsi lahan. Tahun lalu, luas lahan produktif yang terpangkas mencapai 4.000 ha.
Beras Mahal di Lumbung Padi
Harga beras di Kabupaten Bantul juga mengalami kenaikan, bahkan cukup tajam. Harga itu bertahan pada harga tinggi hingga dua pekan lebih. Beras IR 1 mencapai Rp11.500, IR 2 Rp10.000, dan beras Delanggu Rp10.500 per kg.
Padahal harga normalnya di kisaran Rp9.000. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kabupaten Bantul Partogi Dame Pakpahan merasa heran dengan kenaikan harga beras tersebut. Karena secara logika, tidak mungkin harga beras naik di tengah kondisi stok beras di tangan petani masih mencukupi.
Dia lebih menduga ada oknum yang bermain dalam sistem distribusi beras di Indonesia. Sebab awal tahun di beberapa negara seperti Vietnam meminta agar pemerintah mengimpor beras mereka. Partogi menegaskan, stok beras di Bantul jauh dari mencukupi karena hasil panen mencapai 180.000 ton setahun. Sementara konsumsi warganya hanya 100.000 ton atau surplus 80.000 ton.
Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian Aziz Hidayat memuji Pemkab Bantul yang melampaui target panen nasional. Secara umum DIY merupakan salah satu wilayah yang menghasilkan panen jauh di atas rata-rata nasional. “Di DIY yang terjelek saja panenannya masih 7,5 ton per hektare,” ujarnya saat melakukan panen raya di Bulak Kalipakel, Desa Donotirto, Kecamatan Kretek.
Terkait dengan melambungnya harga beras, Kepala Bulog Divre DIY Langgung Wisnu Adinugroho menginformasikan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan harga beras di pasaran melambung, antara lain raskin tidak disalurkan dalam tiga bulan terakhir (November 2014-Januari 2015). “Per bulan biasanya kami salurkan 4.325 ton per di DIY. Tiga bulan terakhir tidak disalurkan,” katanya.
Penyebab lainnya adalah masa paceklik. Pada 2014 terjadi kemarau panjang di mana hujan mulai terjadi pada awal Desember sehingga masa tanam padi mundur. “Untuk panen harus menunggu 120 hari, jadi sekitar (pertengahan) Maret (baru panen),” ujarnya. Dampak kenaikan BBM juga menjadi penyebab kenaikan harga beras.
“Penggilangan padi tergantung pada solar. Meski BBM turun, tidak serta pedagang turun (menurunkan harga beras),” ungkapnya. Penyebab yang tidak kalah pentingnya adalah terjadi banjir di sentra-sentra padi. “Banjir tidak hanya merusak padi, tapi juga mengganggu distribusi ke pasar,” ungkapnya.
Langgeng menambahkan, empat penyebab tersebut terakumulasi pada awal tahun ini. “Itulah alasan awal tahun ini kenaikannya lebih tinggi dibanding awal-awal tahun sebelumnya,” katanya. Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM (Disperindagkop-UKM) DIY Riyadi Ida Bagus Subali menambahkan, melonjaknya harga beras salah satu sebab stok di pasaran menipis. DI DIY stok beras di pasaran berkurang sekitar 10% dibanding kondisi normal.
“Saat ini pasokan beras ke pasar memang berkurang antara 5-10% dibandingkan masa-masa normal,” katanya. Meski stok beras di pasaran menipis, Riyadi menjamin stok beras di DIY masih cukup. Stok beras di gudang Bulog DIY saat ini masih 12.500 ton. Asumsinya stok tersebut masih mencukupi sampai tiga bulan ke depan atau sampai panen raya.
Dinas Pertanian DIY memperkirakan panen raya tahun ini jumlahnya seperti tahun sebelumnya. Selama 2014, total produksi padi sawah dan ladang di DIY mencapai 880.711 ton gabah kering giling (GKG). Secara kuantitatif mengalami penyusutan dibanding 2013 yang mencapai 921.824 ton GKG.
Ridwan anshori/kuntadi/ priyo setyawan/suharjono/ erfanto linangkung
Harga beras pada Februari lalu tembus Rp11.000 per kilogram (kg). Padahal kondisi normal harganya hanya Rp8.500 per kg. Kepala Bulog Divisi Regional (Divre) DIY Langgung Wisnu Adinugroho mengungkapkan, fenomena kenaikan harga beras di awal tahun adalah hal lumrah. Hanya untuk tahun ini kenaikannya di atas rata-rata.
“Kali ini kenaikannya di atas 30%,” katanya, kemarin. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulonprogo BambangTri Budi tidak menampik, salah satu permasalahan yang dihadapi dalam produksi beras adalah menyusutnya lahan pertanian sawah. Banyak program dari pemerintah menggunakan lahan yang selama ini menjadi andalan produksi padi.
Dia mencontohkan lahan yang dipakai untuk taman budaya maupun kantor penyuluh di Pengasih. Selain itu, banyak lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi permukiman atau kepentingan lain. Belum lagi rencana megaproyek pembangunan bandara. Dipastikan proyek ini akan diikuti dengan pembangunan fisik lainnya yang bakal menggusur lahan pertanian.
“Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) memang alih fungsi lahan ini cukup banyak,” katanya. Untuk menjaga swasembada beras, dinas juga terus berupaya cetak lahan sawah baru, mulai dari Kalibawang, Pengasih, Girimulyo, dan Nanggulan, Sentolo, di antaranya memanfaatkan lahan yang dulu berupa tegal diubah menjadi petak sawah.
Menurut dia, produksi padi di Kulonprogo jauh di atas kebutuhan konsumsi beras masyarakat. Setiap tahun rata-rata konsumsi beras masyarakat hanya 40.000 ton. Dengan asumsi 1 kg padi akan menjadi 0,6 kg beras, maka setiap tahun akan mampu menghasilkan produksi beras hingga 40.000 ton. Jadi, kata dia, setiap tahun Kulonprogo memiliki surplus beras sekitar 40.000 ton.
Mengenai kenaikan harga beras, Bambang meyakini, itu karena mekanisme pasar. Sebab produktivitas padi juga cukup stabil dan tidak banyak terserang hama penyakit. “Idealnya dengan kondisi yang sama, harga tidak berpengaruh,” katanya. Sementara hasil produksi beras di Gunungkidul sering kali mengalami fluktuasi. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Gunungkidul Azman Latief menjelaskan, produksi padi memang terus mengalami fluktuasi.
Kendati demikian, selisih panen tidak jauh berbeda dalam kurun waktu 2012-2015. “Lahan kami masih lumayan karena ditopang lahan persawahan dan juga lahan tegal atau kering,” katanya kepada KORAN SINDO YOGYA , kemarin. Namun, masalah lahan masih menjadi kendala. Pada 2013, luas lahan sawah mencapai 58.924 ha dengan produksi 289.520 ton gabah kering.
Satu tahun kemudian menyusut menjadi 57.2011 ha dengan hasil 289.787 ton gabah kering. Padahal jika luas lahan tetap atau bahkan bertambah, bukan tidak mustahil jumlah panen makin meningkat. Untuk Kabupaten Sleman, pemkab setempat mengklaim tingginya harga beras yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena berkurangnya stok beras di pasaran. Sebab produksi beras masih lebih banyak dibandingkan kebutuhan alias surplus.
“Surplus rata-rata di atas 100.000 ton per tahun. Jadi dengan jumlah tersebut tentu untuk kebutuhan beras di Sleman tidak akan kekurangan,” kata Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (DP2K) Sleman Widi Sutikno, kemarin. Dia menilai tingginya harga beras akibat ada masalah pada distribusi dan manajemen perdagangan di pasaran. Termasuk untuk raskin yang juga belum terdistribusi.
Ditanya produksi beras dari lahan persawahan Sleman, dia mengakui, dalam waktu tiga tahun terakhir terjadi penurunan volume. Widi mengungkapkan, masalah yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan surplus beras ini salah satunya adalah alih fungsi lahan. Tahun lalu, luas lahan produktif yang terpangkas mencapai 4.000 ha.
Beras Mahal di Lumbung Padi
Harga beras di Kabupaten Bantul juga mengalami kenaikan, bahkan cukup tajam. Harga itu bertahan pada harga tinggi hingga dua pekan lebih. Beras IR 1 mencapai Rp11.500, IR 2 Rp10.000, dan beras Delanggu Rp10.500 per kg.
Padahal harga normalnya di kisaran Rp9.000. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kabupaten Bantul Partogi Dame Pakpahan merasa heran dengan kenaikan harga beras tersebut. Karena secara logika, tidak mungkin harga beras naik di tengah kondisi stok beras di tangan petani masih mencukupi.
Dia lebih menduga ada oknum yang bermain dalam sistem distribusi beras di Indonesia. Sebab awal tahun di beberapa negara seperti Vietnam meminta agar pemerintah mengimpor beras mereka. Partogi menegaskan, stok beras di Bantul jauh dari mencukupi karena hasil panen mencapai 180.000 ton setahun. Sementara konsumsi warganya hanya 100.000 ton atau surplus 80.000 ton.
Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian Aziz Hidayat memuji Pemkab Bantul yang melampaui target panen nasional. Secara umum DIY merupakan salah satu wilayah yang menghasilkan panen jauh di atas rata-rata nasional. “Di DIY yang terjelek saja panenannya masih 7,5 ton per hektare,” ujarnya saat melakukan panen raya di Bulak Kalipakel, Desa Donotirto, Kecamatan Kretek.
Terkait dengan melambungnya harga beras, Kepala Bulog Divre DIY Langgung Wisnu Adinugroho menginformasikan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan harga beras di pasaran melambung, antara lain raskin tidak disalurkan dalam tiga bulan terakhir (November 2014-Januari 2015). “Per bulan biasanya kami salurkan 4.325 ton per di DIY. Tiga bulan terakhir tidak disalurkan,” katanya.
Penyebab lainnya adalah masa paceklik. Pada 2014 terjadi kemarau panjang di mana hujan mulai terjadi pada awal Desember sehingga masa tanam padi mundur. “Untuk panen harus menunggu 120 hari, jadi sekitar (pertengahan) Maret (baru panen),” ujarnya. Dampak kenaikan BBM juga menjadi penyebab kenaikan harga beras.
“Penggilangan padi tergantung pada solar. Meski BBM turun, tidak serta pedagang turun (menurunkan harga beras),” ungkapnya. Penyebab yang tidak kalah pentingnya adalah terjadi banjir di sentra-sentra padi. “Banjir tidak hanya merusak padi, tapi juga mengganggu distribusi ke pasar,” ungkapnya.
Langgeng menambahkan, empat penyebab tersebut terakumulasi pada awal tahun ini. “Itulah alasan awal tahun ini kenaikannya lebih tinggi dibanding awal-awal tahun sebelumnya,” katanya. Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM (Disperindagkop-UKM) DIY Riyadi Ida Bagus Subali menambahkan, melonjaknya harga beras salah satu sebab stok di pasaran menipis. DI DIY stok beras di pasaran berkurang sekitar 10% dibanding kondisi normal.
“Saat ini pasokan beras ke pasar memang berkurang antara 5-10% dibandingkan masa-masa normal,” katanya. Meski stok beras di pasaran menipis, Riyadi menjamin stok beras di DIY masih cukup. Stok beras di gudang Bulog DIY saat ini masih 12.500 ton. Asumsinya stok tersebut masih mencukupi sampai tiga bulan ke depan atau sampai panen raya.
Dinas Pertanian DIY memperkirakan panen raya tahun ini jumlahnya seperti tahun sebelumnya. Selama 2014, total produksi padi sawah dan ladang di DIY mencapai 880.711 ton gabah kering giling (GKG). Secara kuantitatif mengalami penyusutan dibanding 2013 yang mencapai 921.824 ton GKG.
Ridwan anshori/kuntadi/ priyo setyawan/suharjono/ erfanto linangkung
(bhr)