Warga Desa Mardingding Ditelantarkan
A
A
A
KARO - Meski terus diterpa debu vulkanik hasil muntahan Gunung Sinabung, warga Desa Mardingding, Kecamatan Tiganderket, yang masih bertahan ternyata kini sudah terbiasa menghirup debu berbau belerang itu.
Kondisi desa yang terletak di kaki Gunung Sinabung (sekitar 2,4 km dari puncak kawah) ini terlihat mencekam. Tinggal sedikit warga yang masih bertahan mendiami desa. Awalnya desa ini didiami 893 jiwa atau 287 kepala keluarga. Warga yang masih bertahan mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo seolah menelantarkan mereka.
Hal ini dikatakan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Mardingding, Bismar Ginting, 43, dan Jefri Bangun, 36, ketika KORAN SINDO MEDAN menyambangi desa mereka, Minggu (8/3). “Bukan kami tidak mau bekerja dan hanya menuntut. Tetapi sudah tidak ada lagi kerjaan di sini.”
“Lahan pertanian yang biasa kami garap luluh lantah diterjang aliran lahar hujan (lahar dingin). Mau kerja serabutan (mocok -mocok) pun tidak ada lagi yang menampung. Untuk kebutuhan makan, sehari kami hanya makan pagi dan sore untuk berhemat,” ujar Bismar dengan nada lesu.
Jefri menambahkan, warga juga mengeluhkan sumber air bersih yang kini tercemar material lahar hujan, seperti bongkahan kayu, pasir, debu vulkanik, dan bebatuan. “Kalau sehabis mandi semua badan jadi gatal, itu maka masyarakat di sini jadi jarang mandi. Padahal ada sumber air yang masih bersih. Namun karena belum ada instalasi pipa jadi belum bisa dialirkan ke desa,” kata Jefri.
Kondisi mengenaskan seperti itu sudah dijalani masyarakat Desa Mardingding selama setahun lebih. Bahkan, sudah ada seorang warga yang meninggal dunia akibat stres karena tidak tahan menghadapi situasi itu. Fasilitas umum, seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), juga sudah tidak berfungsi.
Padahal, kata dia, Bupati Karo Terkelin Brahmana saat berkunjung ke Desa Mardingding beberapa waktu lalu pernah menjanjikan perbaikan puskesmas tersebut. Selain itu, dijanjikan perbaikan instalasi pipa air yang rusak dihantam lahar dingin, biaya transportasi anak sekolah, dan lainnya.
“Semua hanya janji manis saja. Bupati bilang disediakan transportasi untuk anak sekolah. Namun sampai sekarang tidak ada. Seng-seng rumah warga juga kondisinya sangat mengenaskan. Seakan pemerintah sudah tak open lagi dengan masyarakat Desa Mardingding. Jadup (jaminan hidup) kami tidak diberi. Padahal kami sangat membutuhkan, karena mayoritas penghasilan warga sudah tidak ada lagi,” katanya.
Sementara pengamatan KORAN SINDO MEDAN, puluhan hektare (ha) lahan pertanian warga yang ditanami tumbuhan kopi, kakao, padi, dan jagung, rusak setelah dihantam lahar dingin Gunung Sinabung. Lahan pertanian itu kini sudah ditimbun bertonton debu, bongkahan kayu, dan bebatuan besar.
Terdapat lima titik aliran lahar dingin di Desa Mardingding yang merusak lahan pertanian dan setiap saat mengancam warga. Apabila hujan turun deras, masyarakat semakin dilanda ketakutan akan hal-hal yang dapat mengancam keselamatan.
Selain itu, suara menyeramkan yang menurut warga seperti suara sebuah kereta api berasal dari puncak Sinabung juga semakin menambah ketakutan warga, terlebih pada saat malam. Tingkat kejahatan juga semakin meningkat akibat tidak ada sumber penghasilan masyarakat. “Kondisi ini sudah semakin menyiksa. Masyarakat juga sudah sepakat akan mempertanyakan nasib mereka dalam waktu dekat ini ke Kantor Bupati Karo,” kata Jefri.
Secara terpisah, pengamat kebencanaan dari Lentera Terang Bulan Karo, Sedarmin, menyesalkan minimnya perhatian Bupati Karo dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karo terhadap penanganan bencana di desa-desa kawasan lingkar Sinabung.
“Ada yang tidak tepat di sini. Pemerintah jangan hanya memperhatikan nasib dari korban erupsi Sinabung yang harus direlokasi. Banyak juga desadesa di sekeliling Sinabung yang terdampak parah dan butuh penanganan cepat dan mendesak,” katanya.
BPBD seharusnya memantau dan menyerap informasi di desa-desa sekeliling Sinabung yang terdampak bencana. “Kasihan mereka, hanya karena berada jauh dari pusat pemerintahan nasib mereka seolah diabaikan,” katanya.
Riza pinem
Kondisi desa yang terletak di kaki Gunung Sinabung (sekitar 2,4 km dari puncak kawah) ini terlihat mencekam. Tinggal sedikit warga yang masih bertahan mendiami desa. Awalnya desa ini didiami 893 jiwa atau 287 kepala keluarga. Warga yang masih bertahan mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo seolah menelantarkan mereka.
Hal ini dikatakan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Mardingding, Bismar Ginting, 43, dan Jefri Bangun, 36, ketika KORAN SINDO MEDAN menyambangi desa mereka, Minggu (8/3). “Bukan kami tidak mau bekerja dan hanya menuntut. Tetapi sudah tidak ada lagi kerjaan di sini.”
“Lahan pertanian yang biasa kami garap luluh lantah diterjang aliran lahar hujan (lahar dingin). Mau kerja serabutan (mocok -mocok) pun tidak ada lagi yang menampung. Untuk kebutuhan makan, sehari kami hanya makan pagi dan sore untuk berhemat,” ujar Bismar dengan nada lesu.
Jefri menambahkan, warga juga mengeluhkan sumber air bersih yang kini tercemar material lahar hujan, seperti bongkahan kayu, pasir, debu vulkanik, dan bebatuan. “Kalau sehabis mandi semua badan jadi gatal, itu maka masyarakat di sini jadi jarang mandi. Padahal ada sumber air yang masih bersih. Namun karena belum ada instalasi pipa jadi belum bisa dialirkan ke desa,” kata Jefri.
Kondisi mengenaskan seperti itu sudah dijalani masyarakat Desa Mardingding selama setahun lebih. Bahkan, sudah ada seorang warga yang meninggal dunia akibat stres karena tidak tahan menghadapi situasi itu. Fasilitas umum, seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), juga sudah tidak berfungsi.
Padahal, kata dia, Bupati Karo Terkelin Brahmana saat berkunjung ke Desa Mardingding beberapa waktu lalu pernah menjanjikan perbaikan puskesmas tersebut. Selain itu, dijanjikan perbaikan instalasi pipa air yang rusak dihantam lahar dingin, biaya transportasi anak sekolah, dan lainnya.
“Semua hanya janji manis saja. Bupati bilang disediakan transportasi untuk anak sekolah. Namun sampai sekarang tidak ada. Seng-seng rumah warga juga kondisinya sangat mengenaskan. Seakan pemerintah sudah tak open lagi dengan masyarakat Desa Mardingding. Jadup (jaminan hidup) kami tidak diberi. Padahal kami sangat membutuhkan, karena mayoritas penghasilan warga sudah tidak ada lagi,” katanya.
Sementara pengamatan KORAN SINDO MEDAN, puluhan hektare (ha) lahan pertanian warga yang ditanami tumbuhan kopi, kakao, padi, dan jagung, rusak setelah dihantam lahar dingin Gunung Sinabung. Lahan pertanian itu kini sudah ditimbun bertonton debu, bongkahan kayu, dan bebatuan besar.
Terdapat lima titik aliran lahar dingin di Desa Mardingding yang merusak lahan pertanian dan setiap saat mengancam warga. Apabila hujan turun deras, masyarakat semakin dilanda ketakutan akan hal-hal yang dapat mengancam keselamatan.
Selain itu, suara menyeramkan yang menurut warga seperti suara sebuah kereta api berasal dari puncak Sinabung juga semakin menambah ketakutan warga, terlebih pada saat malam. Tingkat kejahatan juga semakin meningkat akibat tidak ada sumber penghasilan masyarakat. “Kondisi ini sudah semakin menyiksa. Masyarakat juga sudah sepakat akan mempertanyakan nasib mereka dalam waktu dekat ini ke Kantor Bupati Karo,” kata Jefri.
Secara terpisah, pengamat kebencanaan dari Lentera Terang Bulan Karo, Sedarmin, menyesalkan minimnya perhatian Bupati Karo dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karo terhadap penanganan bencana di desa-desa kawasan lingkar Sinabung.
“Ada yang tidak tepat di sini. Pemerintah jangan hanya memperhatikan nasib dari korban erupsi Sinabung yang harus direlokasi. Banyak juga desadesa di sekeliling Sinabung yang terdampak parah dan butuh penanganan cepat dan mendesak,” katanya.
BPBD seharusnya memantau dan menyerap informasi di desa-desa sekeliling Sinabung yang terdampak bencana. “Kasihan mereka, hanya karena berada jauh dari pusat pemerintahan nasib mereka seolah diabaikan,” katanya.
Riza pinem
(ftr)