Desak Hotel Selektif Terima Tamu ABG

Sabtu, 07 Maret 2015 - 10:55 WIB
Desak Hotel Selektif...
Desak Hotel Selektif Terima Tamu ABG
A A A
PALEMBANG - Menekan kasus kekerasan seksual pada anak-anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) meminta pengelola hotel lebih ketat menolak tamu ABG yang dibawa oleh om-om.

Dikatakan Ketua KPAID) Kota Palembang, Adi Sangadi sepanjang Januari-Februari 2015 ini saja sebanyak 60 anak terdata mengalami kasus kekerasan. Selain kasus kekerasan seksual, kasus Anak Pelaku Melawan Hukum (APMH) juga masih mendominasi dan mengalami peningkatan.

“Pada Januari 2015 masing-masing tercatat sebanyak enam pengaduan atau sekitar 19% dari 32 kasus. Sementara pada Februari 2015 meningkat menjadi tujuh pengaduan atau naik 25%,” jelas Ketua KPAID Palembang Adi Sangadi, kemarin. Menurutnya, tidak sedikit kasus kekerasan seksual anak ini merupakan korban pergaulan.

Terutama bulan Februari lalu dianggap sebagai bulan kasih sayang di kalangan remaja. Namun ada juga kekerasan seksual dari pelaku dewasa seperti kasus remaja usia 14 tahun dari Kabupaten Ogan Ilir yang digilir para pemuda akhir Februari lalu.

“Untuk menekan jumlah kasus ini, KPAID bersama Polresta sudah menyerukan penginapan dan tempat hiburan untuk menyaring tamu yang datang. Pelaku usaha ini kami minta untuk bisa bekerja sama dalam mengawasi siapa yang dibawa oleh tamu, bisa saja ada om-om membawa masuk anak di bawah umur. Mereka bisa kena sanksi kalau membiarkan,” tegas Adi. Begitu juga untuk pelaku usa ha warung internet, pihaknya berharap tidak menerima konsumen anak pada malam hari.

Dia berharap, tingkat kesadaran masyarakat pelaku usaha bisa bertumbuh untuk preventif ke depannya. “Kami butuh peran serta masyarakat, jangan hanya mencari bisnis saja tapi tidak melindungi anak-anak,” imbuhnya. Sementara untuk APMH, sebagian merupakan kasus perampokan dengan kekerasan (begal) motor. Dia menuding, tingginya pengaduan disebabkan pendekatan sosial yang dilakukan pemerintah belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Pemberian pemahaman seharusnya difokuskan pada anak dari keluarga prasejahtera, karena merekalah yang lebih dekat dengan kejahatan, termasuk perilaku begal. Dia juga menilai, vonis hukuman untuk anak harus diatur kembali dalam peraturan daerah sebagai perpanjangan UU. Sebab, ukuran kejahatan dalam setiap daerah tidak sama.

Selama ini, putusan vonis dari pengadilan hanya merujuk UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Sementara, kasus yang dilakukan pelaku di bawah umur tidak sebanding dengan jatuhan hukuman dalam UUPA. “Belum ada perda perlindungan anak, jatuhan hukuman menggunakan UUPA atau Perda 44/2002 (ketenteraman dan ketertiban), tidak nyambung,” terang dia.

Salah satu warga Kebun Bunga, Kecamatan Sukarami, Dwiputri menuturkan, dia dan keluarga dicemaskan dengan tindak kriminal yang kerap terjadi, baik pelaku ataupun korban anak-anak. Karena itu, dia berharap pemerintah dan pihak terkait dapat meningkatkan keamanan bagi anak-anak. “Semakin banyak berita kekerasan anak, rasa aman jadi berkurang untuk membiarkan anak pergi sendiri,”ucap karyawan swasta ini.

Yulia savitri
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0521 seconds (0.1#10.140)