Jembatan Cipasarangan Hilang
A
A
A
GARUT - Jembatan Cipasarangan di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, hilang. Jembatan yang biasa digunakan warga untuk menyebrangi sungai itu hanyut dibawa air bah awal pekan lalu.
Akibatnya, warga harus ekstra hati-hati saat melintasi Sungai Cipasarangan yang membelah Desa Linggamanik dan Desa Karangsari tersebut. Pasalnya mereka harus turun langsung ke dalam sungai saat menyeberang. “Aliran sungai cukup deras. Terlebih sungai berbatu licin, makanya harus hati-hati saat melintas,” tutur Uyud, 48, warga Kampung Samarang, Desa Ling gamanik, kemarin.
Uyud sendiri awalnya merasa heran saat mengetahui jembatan di lokasi tersebut hilang. Menurutnya, beberapa waktu lalu warga sempat memerbaiki jembatan dengan material bambu agar bisa dilalui dengan aman. “Ternyata jembatan yang di perbaiki warga itu tidak bertahan lama,” ujarnya. Jembatan ini sebenarnya merupakan akses warga Desa Linggamanik dan Karangsari untuk menyeberang sehari-hari.
Berbagai aktivitas warga di permudah dengan adanya jembatan Cipasarangan. Beberapa di antara aktivitas penting warga tidak lain adalah untuk mengangkut hasil bumi dan kebutuhan kegiatan usaha. “Sekarang warga agak kesulitan membawa hasil bumi. Sebab tidak adanya jembatan itu, membuat warga yang memiliki aktivitas rutin usaha harus mencari rute alternatif,” imbuhnya. Di tempat terpisah, keluhan mengenai ketiadaan jembatan penghubung juga dikeluhkan warga Kecamatan Pakenjeng.
Jembatan Bokor penghubung sejumlah kampung di dua desa Kecamatan Pakenjeng, hilang setelah diterjang arus banjir bandang pada April 2014 lalu. Awalnya, sarana penyeberangan di lokasi tersebut berupa jembatan gantung dengan tali baja yang membentang sejauh 80 meter. Derasnya air Sungai Cikandang melumat jembatan yang kini hanya tinggal menyisakan bentangan kawat baja tersebut.
Hampir setahun berlalu, hingga kini pemerintah belum mendirikan jembatan baru di kawasan itu. Jembatan Bokor sendiri terletak di Desa Tanjung mulya, Kecamatan Pakenjeng. Karena tidak ada sarana untuk menyeberang, warga menggunakan rakit yang dibuat seadanya. Tentu saja mereka dikenakan tarif tertentu bila menggunakan rakit ini. Besarannya bervariasi, yakni dimulai dari Rp1.000 hingga Rp10.000.
“Tarifnya tidak dipatok. Hanya seikhlasnya saja. Tujuannya untuk operasional warga yang mengoperasikan rakit dan biaya memerbaiki kerusakan,” tutur seorang warga Desa Tanjungmulya, Ihsan, 29. Warga yang biasa menggunakan rakit ini adalah para petani, pemilik ternak, pegawai perkebunan, dan anak sekolah. Para pengendara sepeda motor pun ikut menggunakan rakit ini agar tidak perlu memutar arah ke jalan yang lebih jauh.
Fani ferdiansyah
Akibatnya, warga harus ekstra hati-hati saat melintasi Sungai Cipasarangan yang membelah Desa Linggamanik dan Desa Karangsari tersebut. Pasalnya mereka harus turun langsung ke dalam sungai saat menyeberang. “Aliran sungai cukup deras. Terlebih sungai berbatu licin, makanya harus hati-hati saat melintas,” tutur Uyud, 48, warga Kampung Samarang, Desa Ling gamanik, kemarin.
Uyud sendiri awalnya merasa heran saat mengetahui jembatan di lokasi tersebut hilang. Menurutnya, beberapa waktu lalu warga sempat memerbaiki jembatan dengan material bambu agar bisa dilalui dengan aman. “Ternyata jembatan yang di perbaiki warga itu tidak bertahan lama,” ujarnya. Jembatan ini sebenarnya merupakan akses warga Desa Linggamanik dan Karangsari untuk menyeberang sehari-hari.
Berbagai aktivitas warga di permudah dengan adanya jembatan Cipasarangan. Beberapa di antara aktivitas penting warga tidak lain adalah untuk mengangkut hasil bumi dan kebutuhan kegiatan usaha. “Sekarang warga agak kesulitan membawa hasil bumi. Sebab tidak adanya jembatan itu, membuat warga yang memiliki aktivitas rutin usaha harus mencari rute alternatif,” imbuhnya. Di tempat terpisah, keluhan mengenai ketiadaan jembatan penghubung juga dikeluhkan warga Kecamatan Pakenjeng.
Jembatan Bokor penghubung sejumlah kampung di dua desa Kecamatan Pakenjeng, hilang setelah diterjang arus banjir bandang pada April 2014 lalu. Awalnya, sarana penyeberangan di lokasi tersebut berupa jembatan gantung dengan tali baja yang membentang sejauh 80 meter. Derasnya air Sungai Cikandang melumat jembatan yang kini hanya tinggal menyisakan bentangan kawat baja tersebut.
Hampir setahun berlalu, hingga kini pemerintah belum mendirikan jembatan baru di kawasan itu. Jembatan Bokor sendiri terletak di Desa Tanjung mulya, Kecamatan Pakenjeng. Karena tidak ada sarana untuk menyeberang, warga menggunakan rakit yang dibuat seadanya. Tentu saja mereka dikenakan tarif tertentu bila menggunakan rakit ini. Besarannya bervariasi, yakni dimulai dari Rp1.000 hingga Rp10.000.
“Tarifnya tidak dipatok. Hanya seikhlasnya saja. Tujuannya untuk operasional warga yang mengoperasikan rakit dan biaya memerbaiki kerusakan,” tutur seorang warga Desa Tanjungmulya, Ihsan, 29. Warga yang biasa menggunakan rakit ini adalah para petani, pemilik ternak, pegawai perkebunan, dan anak sekolah. Para pengendara sepeda motor pun ikut menggunakan rakit ini agar tidak perlu memutar arah ke jalan yang lebih jauh.
Fani ferdiansyah
(bhr)