Sekeluarga Santap Nasi Aking

Kamis, 05 Maret 2015 - 11:16 WIB
Sekeluarga Santap Nasi Aking
Sekeluarga Santap Nasi Aking
A A A
KOTA CIREBON - Taskadi Eko Sunjaya, 52, belum lelap dari tidur siangnya. Keluar dari pembaringannya berupa kasur kapuk yang lepek, dia menuju keluar rumah untuk mengambil nampah berisi nasi kering atau nasi aking berwarna kekuningan yang tengah dijemur.

Memerlihatkannya ke arah KORAN SINDO, dia berujar, setidaknya sudah tiga bulan terakhir dia menyantap nasi aking bersama anggota keluarganya yang lain. Hal itu terpaksa dia lakukan akibat kemampuan ekonominya yang kurang mendukung untuk makan nasi seperti biasa. Warga RT 07/04 Kampung Melati, Kelurahan/Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, ini hanya seorang penarik becak tanpa standar penghasilan tetap.

Jika beruntung, dari 2-3 penumpang yang diangkutnya dalam sehari, dia hanya memeroleh sekitar Rp30.000. “Uang segitu mana cukup untuk beli kebutuhan sehari-hari,” kata dia, kemarin. Bersama enam anggota keluarga lainnya, yang terdiri dari seorang istri dan lima anak, Taskadi tinggal di sebuah rumah berukuran sekitar 4x6 meter yang dibagi dua ruang.

Masing-masing ruang dilengkapi kasur lepek dan sejumlah perabot rumah tangga lain seadanya. Tak ada ruang tamu, apalagi ruang keluarga. Setidaknya terdapat satu petak ruang lain berukuran sekitar 2x3 meter yang digunakan sebagai dapur. Ruangan ini, menurut Taskadi, berupa ruang ‘pinjaman’ dari kakak iparnya yang berada di luar kota.

“Ini sebenarnya rumah peninggalan mertua,” cetus mantan petugas keamanan di salah satu dealer mobil ini. Taskadi telah menjadi penarik becak sekitar empat tahun terakhir. Dari lima anaknya, hanya yang sulung yang telah bekerja sebagai sales obat. Sementara tiga anak lainnya bersekolah di jenjang yang berbeda, dan si bungsu yang berusia lima tahun belum bersekolah.

Praktis, Taskadi harus menghidupi mereka semua. Istrinya, Titi Sulastri, 43, hanya membantu ekonomi keluarga dengan cara membantu di rumah salah seorang teman. Secara keseluruhan, ekonomi keluarganya memang tak cukup memadai. Apalagi, saat ini harga beras mencekik. “Jangankan beli lauk, untuk beli beras saja hampir tidak ada. Lima kilogram raskin yang saya beli hanya cukup untuk tiga hari, untuk beli lagi susah. Terpaksa makan nasi aking,” ungkap dia.

Nasi aking yang dikonsumsi keluarganya terkadang berasal dari pemberian tetangga atau pun saudaranya. Terkadang pula hasil lebihan raskin. Sebelum disantap, nasi bekas dijemur selama 3-4 hari. Jika berawan dan hujan, proses penjemuran lebih lama. Setelah dijemur, mereka belum bisa langsung menyantapnya.

Menurut dia, nasi kering tersebut disangrai dengan dicampur garam, barulah dimakan. Selain disangrai, sebenarnya ada cara lain menyantap nasi kering, yakni menggorengnya dengan minyak. Tak jarang, Taskadi dan keluarga memeroleh nasi basi yang terpaksa disantap.

Namun sebelum itu, nasi basi dicuci dahulu untuk mengurangi baunya. Setelah bau agak hilang, nasi tersebut barulah ditanak kembali dan disantap bersama. Semua nasi bekas itu ditegaskan dia, hasil pemberian. “Saya tak pernah minta, mereka yang memberi mungkin karena tahu kondisi saya,” tutur dia.

Erika Lia
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3202 seconds (0.1#10.140)