Hadapi MEA, NISP Gembleng Mahasiswa
A
A
A
BANDUNG - Menghadapi berlakunya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Bank OCBC NISP menggembleng ratusan mahasiswa. Beragam pelatihan diberikan agar para mahasiswa ini menjadi sumber daya manusia (SDM) unggul di bidang perbankan.
Pelatihan-pelatihan tersebut dipusatkan di Bandung dan Jakarta. Pesertanya, para mahasiswa tingkat akhir yang sudah menjalin kerja sama dengan Bank OCBC NISP. Di Bandung, sekitar 120 mahasiswa masuk dalam program ini. Tidak menutup kemungkinan, langkah serupa diterapkan Bank OCBC NISP di kota-kota lain di Indonesia.
MEA sendiri akan berlaku akhir 2015. Khusus untuk dunia perbankan, penerapannya baru dilakukan pada 2020. Presiden Komisaris Bank OCBC NISP Pramukti Surjaudaja mengatakan, kualitas SDM menjadi salah satu fator utama ketahanan suatu bank saat MEA diberlakukan.
“Kami tumbuhkan keinginan, motivasi, dan profesionalisme mereka untuk bekerja di dunia perbankan. Itu agar mereka siap bersaing dengan para kompetitor. Ini sebagai persiapan jelang MEA yang akan masuk ke industri perbankan di 2020,” jelas Pramukti, kemarin.
Pria yang akrab disapa Pram ini melanjutkan, meski penerapan MEA di industri perbankan baru dilakukan pada 2020, namun praktiknya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Indikasinya, ungkap dia, sebanyak 99% saham suatu bank boleh di miliki pihak asing berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Namun Pram yakin, bank-bank di Indonesia khususnya OCBC NISP masih bisa bersaing. Hal itu karena pasar Tanah Air untuk industri perbankan masih sangat besar. “Ibarat makanan, kue nya masih banyak. Indonesia sedang dalam fase pertumbuhan. Sehingga walaupun persaingan sulit, tapi potensinya masih besar, kecuali kalau potensi tumbuhnya sudah habis, itu baru berat sekali,” ucap Pram.
Berbicara tentang pesaing paling berat, dia justru menyebut bank-bank domestik. Pram mencontohkan, yang tumbuh dan berhasil di Indonesia kebanyakan merupakan bank dari dalam negeri. Sangat jarang bank asing yang mampu mendominasi pasar Tanah Air.
“Bank dalam negeri tentu lebih mengenal pasar dan budaya di Indonesia sehingga lebih mudah masuk ke masyarakat ketimbang bank asing. Jadi kalau ditanya kompetitor dari negara mana yang paling berat, ya sesama bank dari Indonesia,” tuturnya.
Bank OCBC NISP sendiri merupakan perkembangan dari Bank NISP yang didirikan di Bandung pada 1941 silam. Selain lebih mengenal pasar, kata Pram, bank dari dalam negeri juga memiliki orientasi jangka panjang untuk industri perbankan Indonesia.
Berbeda dengan bank dari luar negeri yang saat tertimpa masalah bisa memindahkan objek penetrasi mereka ke negara lain. “Bank dalam negeri itu ya hidup-matinya di sini. Jadi persaingannyapun lebih berat. Waktu krisis dulu juga kan banyak bank asing yang tutup dan keluar dari Indonesia,” pungkasnya.
Gugum rachmat gumilar
Pelatihan-pelatihan tersebut dipusatkan di Bandung dan Jakarta. Pesertanya, para mahasiswa tingkat akhir yang sudah menjalin kerja sama dengan Bank OCBC NISP. Di Bandung, sekitar 120 mahasiswa masuk dalam program ini. Tidak menutup kemungkinan, langkah serupa diterapkan Bank OCBC NISP di kota-kota lain di Indonesia.
MEA sendiri akan berlaku akhir 2015. Khusus untuk dunia perbankan, penerapannya baru dilakukan pada 2020. Presiden Komisaris Bank OCBC NISP Pramukti Surjaudaja mengatakan, kualitas SDM menjadi salah satu fator utama ketahanan suatu bank saat MEA diberlakukan.
“Kami tumbuhkan keinginan, motivasi, dan profesionalisme mereka untuk bekerja di dunia perbankan. Itu agar mereka siap bersaing dengan para kompetitor. Ini sebagai persiapan jelang MEA yang akan masuk ke industri perbankan di 2020,” jelas Pramukti, kemarin.
Pria yang akrab disapa Pram ini melanjutkan, meski penerapan MEA di industri perbankan baru dilakukan pada 2020, namun praktiknya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Indikasinya, ungkap dia, sebanyak 99% saham suatu bank boleh di miliki pihak asing berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Namun Pram yakin, bank-bank di Indonesia khususnya OCBC NISP masih bisa bersaing. Hal itu karena pasar Tanah Air untuk industri perbankan masih sangat besar. “Ibarat makanan, kue nya masih banyak. Indonesia sedang dalam fase pertumbuhan. Sehingga walaupun persaingan sulit, tapi potensinya masih besar, kecuali kalau potensi tumbuhnya sudah habis, itu baru berat sekali,” ucap Pram.
Berbicara tentang pesaing paling berat, dia justru menyebut bank-bank domestik. Pram mencontohkan, yang tumbuh dan berhasil di Indonesia kebanyakan merupakan bank dari dalam negeri. Sangat jarang bank asing yang mampu mendominasi pasar Tanah Air.
“Bank dalam negeri tentu lebih mengenal pasar dan budaya di Indonesia sehingga lebih mudah masuk ke masyarakat ketimbang bank asing. Jadi kalau ditanya kompetitor dari negara mana yang paling berat, ya sesama bank dari Indonesia,” tuturnya.
Bank OCBC NISP sendiri merupakan perkembangan dari Bank NISP yang didirikan di Bandung pada 1941 silam. Selain lebih mengenal pasar, kata Pram, bank dari dalam negeri juga memiliki orientasi jangka panjang untuk industri perbankan Indonesia.
Berbeda dengan bank dari luar negeri yang saat tertimpa masalah bisa memindahkan objek penetrasi mereka ke negara lain. “Bank dalam negeri itu ya hidup-matinya di sini. Jadi persaingannyapun lebih berat. Waktu krisis dulu juga kan banyak bank asing yang tutup dan keluar dari Indonesia,” pungkasnya.
Gugum rachmat gumilar
(bhr)