Regu Tembak Brimob Siap Jalankan Eksekusi
A
A
A
SEMARANG - Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah siap mengeksekusi mati terhadap 10 terpidana mati. Lokasi eksekusi rencananya akan dilakukan di Pulau Nusakambangan, Cilacap. “Polda Jawa Tengah siap dalam melaksanakan tugas negara.
Persiapan sudah dilakukan, pada prinsipnya siap. Ini soal kedaulatan negara,” ungkap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Kombes Pol A Liliek Darmanto di Mapolda Jawa Tengah, kemarin. Kesiapan itu di antaranya seputar pengamanan hingga pelaksanaan eksekusi nanti. Sesuai aturan, eksekutor berasal dari regu tembak Brigade Mobil (Brimob). Untuk hal ini, Liliek mengatakan, koordinasi dengan pihak terkait, termasuk Kejaksaan, sudah dilakukan.
“Sudah melaksanakan koordinasi, baik tahap 1, tahap 2, dan lainnya. Tentu (dilakukan) sesuai ketentuan dan petunjuknya, kita ikuti yang ada,” katanya. Menurut informasi, regu tembak yang menjadi eksekutor seorang terpidana mati berjumlah 14 personel. Sehingga jika 10 terpidana mati, Brimob bakal mengerahkan 140 personel untuk menjalankan eksekusi. Tiap regu tembak dipimpin seorang perwira. Jaksa Agung HM Prasetyo menyebut persiapan sudah 90%.
Dari 10 terpidana mati yang akan dieksekusi nanti, ada enam di antaranya berada di Nusakambangan. Sementara empat lainnya dalam proses pemindahan. Di antara empat terpidana mati yang belum dipindahkan ke Nusakambangan adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Kedua warga negara asing (WNA) asal Australia ini merupakan pimpinan kelompok penyelundup 8,3 kg heroin dari Bali ke Australia.
Sindikatnya dikenal bernama Bali Nine. Mereka ditangkap pada 17 April 2005. Sementara pemerintah didesak segera mengeksekusi Rodrigo Gularte, terpidana mati kasus narkoba asal Brasil yang mengalami sakit jiwa menjelang eksekusi mati. Psikolog Forensik Universitas Gadjah Mada (UGM) Reza Indragiri Amriel menilai, death row phenomenon atau kegilaan sebelum eksekusi atau adalah lazim.
Biasanya, keadaan ini dijadikan dalih untuk memojokkan pemerintah yang menunda-nunda eksekusi sehingga membuat terpidana kian menderita. “Jadi, untuk menghindari polemik susulan, abaikan lalu segerakan eksekusi,” ujarnya, kemarin. “Death row phenomenon , hemat saya tak usah dilayani.
Jadikan sebagai pelajaran bagi pemerintah bahwa tekanan untuk meniadakan hukuman mati selalu ada, sehingga pemerintah perlu selekasnya mengeksekusi terpidana mati setelah ada putusan hakim,” katanya. Seperti diketahui, Rodrigo ditangkap dengan pria Brasil lainnya lantaran membawa 6 kg kokain ke Indonesia pada 2004. Dia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
Pendapat berbeda disampaikan praktisi hukum Theodorus Yosep Parera. Dia mengatakan, sebaiknya eksekusi atas Rodrigo tidak dilakukan. “Sejak usia 16 tahun dia sudah mengalami gangguan kejiwaan. Sudah ada tiga psikiater yang menyatakan hal ini,” katanya di Mapolda Jateng, kemarin. Yosep memprediksi jika Rodrigo dieksekusi, bisa berbuntut panjang. “Brasil bisa menuntut Jaksa Agung dengan pidana pembunuhan. Kalau polisinya (penembak mati) tidak bisa dipidana,” katanya.
Eka setiawan/Sucipto
Persiapan sudah dilakukan, pada prinsipnya siap. Ini soal kedaulatan negara,” ungkap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Kombes Pol A Liliek Darmanto di Mapolda Jawa Tengah, kemarin. Kesiapan itu di antaranya seputar pengamanan hingga pelaksanaan eksekusi nanti. Sesuai aturan, eksekutor berasal dari regu tembak Brigade Mobil (Brimob). Untuk hal ini, Liliek mengatakan, koordinasi dengan pihak terkait, termasuk Kejaksaan, sudah dilakukan.
“Sudah melaksanakan koordinasi, baik tahap 1, tahap 2, dan lainnya. Tentu (dilakukan) sesuai ketentuan dan petunjuknya, kita ikuti yang ada,” katanya. Menurut informasi, regu tembak yang menjadi eksekutor seorang terpidana mati berjumlah 14 personel. Sehingga jika 10 terpidana mati, Brimob bakal mengerahkan 140 personel untuk menjalankan eksekusi. Tiap regu tembak dipimpin seorang perwira. Jaksa Agung HM Prasetyo menyebut persiapan sudah 90%.
Dari 10 terpidana mati yang akan dieksekusi nanti, ada enam di antaranya berada di Nusakambangan. Sementara empat lainnya dalam proses pemindahan. Di antara empat terpidana mati yang belum dipindahkan ke Nusakambangan adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Kedua warga negara asing (WNA) asal Australia ini merupakan pimpinan kelompok penyelundup 8,3 kg heroin dari Bali ke Australia.
Sindikatnya dikenal bernama Bali Nine. Mereka ditangkap pada 17 April 2005. Sementara pemerintah didesak segera mengeksekusi Rodrigo Gularte, terpidana mati kasus narkoba asal Brasil yang mengalami sakit jiwa menjelang eksekusi mati. Psikolog Forensik Universitas Gadjah Mada (UGM) Reza Indragiri Amriel menilai, death row phenomenon atau kegilaan sebelum eksekusi atau adalah lazim.
Biasanya, keadaan ini dijadikan dalih untuk memojokkan pemerintah yang menunda-nunda eksekusi sehingga membuat terpidana kian menderita. “Jadi, untuk menghindari polemik susulan, abaikan lalu segerakan eksekusi,” ujarnya, kemarin. “Death row phenomenon , hemat saya tak usah dilayani.
Jadikan sebagai pelajaran bagi pemerintah bahwa tekanan untuk meniadakan hukuman mati selalu ada, sehingga pemerintah perlu selekasnya mengeksekusi terpidana mati setelah ada putusan hakim,” katanya. Seperti diketahui, Rodrigo ditangkap dengan pria Brasil lainnya lantaran membawa 6 kg kokain ke Indonesia pada 2004. Dia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
Pendapat berbeda disampaikan praktisi hukum Theodorus Yosep Parera. Dia mengatakan, sebaiknya eksekusi atas Rodrigo tidak dilakukan. “Sejak usia 16 tahun dia sudah mengalami gangguan kejiwaan. Sudah ada tiga psikiater yang menyatakan hal ini,” katanya di Mapolda Jateng, kemarin. Yosep memprediksi jika Rodrigo dieksekusi, bisa berbuntut panjang. “Brasil bisa menuntut Jaksa Agung dengan pidana pembunuhan. Kalau polisinya (penembak mati) tidak bisa dipidana,” katanya.
Eka setiawan/Sucipto
(bbg)