Cinta dalam Sepotong Lunpia
A
A
A
Kuliner terbukti ampuh memikat para pelancong. Jika suguhan penganan sudah pas di lidah maka tinggal menunggu hati untuk jatuh cinta. Demikianlah, kuliner menjadi penanda kota. Membuatnya dikenal luas, dan mendulang rasa bangga warga.
Menyebut Kota Semarang sama dengan menyebut lunpia. Di Semarang, penganan ini berbalut tradisi bisa ditemui di berbagai sudut kota dengan cita rasanya masing-masing. Jajanan ini adalah produk akulturasi antara budaya Tionghoa dan Jawa.
Pada jaman dahulu, pendatang keturunan Tionghoa Tjoa Thay Joe masuk ke kota ini dengan membawa jajan bercita rasa dari daerahnya. Lunpia terdiri atas kata lun diartikan lunak dan pia berarti kue. Tjoa bertemu dengan penjual makanan lokal, Mbok Wasi, hingga akhirnya menikah dan menetap di sini.
Biduk rumah tangga meleburkan usaha mereka dengan modifikasi lumpia. Isian diganti dengan rebung (bambu muda), telur, daging dan udang. Inilah lumpia yang hingga kini masih dipertahankan dan dikenal dengan rasa orisinal. Penganan ini sudah ada sejak 1870 melintasi beberapa generasi dan menjadi lambang akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa hingga kini.
Lunpia enak dinikmati bersama bumbu manis dari tepung tapioka, acar maupun cabai rawit. Sayuran segar seperti selada dan daun bawang. Daun bawang berkhasiat menguatkan otot jantung, selada bertugas menjaga kulit tetap awet mudah dan acar mengurangi bau amis. Lunpia sudah diiris menjadi beberapa bagian lebih kecil sebelum disajikan ke tamu. Kulit lumpia terkenal gurih bercampur dengan rasa manis dari saus. Perpaduan rasa manis dan gurih menyatu dengan kesegaran sayuran.
Bunyi kres kres terdengar saat lunpia dan sayuran digigit bersamaan. Lunpia dikembangkan oleh dinasti keluarga Lunpia Semarang. Beberapa nama lunpia dengan embel- embel lokasi memiliki keturunan sama. Meski begitu, masih banyak penjual lunpia lain yang mengembangkan kuliner tersebut. Penganan berbalut tradisi ini semakin mendapat pengakuan di tataran nasional. Lunpia ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 17 Oktober 2014.
“Lunpia memperkaya identitas warisan budaya nasional,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prasetyo Aribowo. Lunpia melengkapi deretan warisan budaya skala nasional meliputi kertas daluang, gamelan Surakarta, Pakupon dan Sekaten. Sebagai catatan, Jateng juga kaya warisan budaya tak benda yang telah diakui internasional. Di antaranya Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran (1996), Wayang Kulit (2003), Keris (2006), Batik (2009).
Terkait upaya pelestarian lunpia, pemerintah setempat merangkul pengusaha lokal untuk mengemas lebih menarik. Prasetyo menyebutkan, Jateng akan dimasukkan dalam paket ‘Jalur Samudra Wisata Chengho’. Beberapa titik sejarah Chengho yaitu Semarang dan Lasem tercatat dalam jalur itu. Tempat tersebut akan dikembangkan menjadi wisata budaya.
“Tontonan menarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Semarang mengikuti wisata edukasi tentang lunpia mulai dari proses membuat hingga mencicipi kuliner ini,” katanya. Kabid Kesejahteraan dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah Djoko N Witjaksono menambahkan, lunpia merupakan satu- satunya kuliner yang sudah diakui di seluruh Indonesia. Potensi kuliner untuk diakui sebagai warisan budaya tak benda perlu dilindungi supaya tidak mengalami kepunahan. Jawa Tengah mengusulkan beberapa kuliner namun hanya lunpia yang lolos seleksi.
Selain lunpia, provinsi ini mengusulkan tahu pong sebagai warisan budaya tak benda. Usulan diajukan sejak tahun 2013 dan berhasil diakui pada tahun 2014. “Kriteria persyaratan meliputi mewakili kejeniusan manusia, pentingnya pertukaran nilai- nilai kemanusiaan dan keunikan luar biasa,” ujarnya. Beberapa penelitian yang dilakukan sivitas akademika turut memperkuat sisi sejarah lunpia.
Usai pengakuan ini, Disbudpar membantu menggencarkan promosi agar hotel/resto selalu menyelipkan lumpia sebagai daftar menu. “Ada wacana mewajibkan untuk menyajikan lunpia dalam jamuan makan,” kata Djoko.
Usulan menjadi warisan budaya tak benda berskala internasional sedang dipertimbangkan. Namun begitu, proses yang dilalui lebih panjang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Hendrati hapsari
Menyebut Kota Semarang sama dengan menyebut lunpia. Di Semarang, penganan ini berbalut tradisi bisa ditemui di berbagai sudut kota dengan cita rasanya masing-masing. Jajanan ini adalah produk akulturasi antara budaya Tionghoa dan Jawa.
Pada jaman dahulu, pendatang keturunan Tionghoa Tjoa Thay Joe masuk ke kota ini dengan membawa jajan bercita rasa dari daerahnya. Lunpia terdiri atas kata lun diartikan lunak dan pia berarti kue. Tjoa bertemu dengan penjual makanan lokal, Mbok Wasi, hingga akhirnya menikah dan menetap di sini.
Biduk rumah tangga meleburkan usaha mereka dengan modifikasi lumpia. Isian diganti dengan rebung (bambu muda), telur, daging dan udang. Inilah lumpia yang hingga kini masih dipertahankan dan dikenal dengan rasa orisinal. Penganan ini sudah ada sejak 1870 melintasi beberapa generasi dan menjadi lambang akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa hingga kini.
Lunpia enak dinikmati bersama bumbu manis dari tepung tapioka, acar maupun cabai rawit. Sayuran segar seperti selada dan daun bawang. Daun bawang berkhasiat menguatkan otot jantung, selada bertugas menjaga kulit tetap awet mudah dan acar mengurangi bau amis. Lunpia sudah diiris menjadi beberapa bagian lebih kecil sebelum disajikan ke tamu. Kulit lumpia terkenal gurih bercampur dengan rasa manis dari saus. Perpaduan rasa manis dan gurih menyatu dengan kesegaran sayuran.
Bunyi kres kres terdengar saat lunpia dan sayuran digigit bersamaan. Lunpia dikembangkan oleh dinasti keluarga Lunpia Semarang. Beberapa nama lunpia dengan embel- embel lokasi memiliki keturunan sama. Meski begitu, masih banyak penjual lunpia lain yang mengembangkan kuliner tersebut. Penganan berbalut tradisi ini semakin mendapat pengakuan di tataran nasional. Lunpia ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 17 Oktober 2014.
“Lunpia memperkaya identitas warisan budaya nasional,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prasetyo Aribowo. Lunpia melengkapi deretan warisan budaya skala nasional meliputi kertas daluang, gamelan Surakarta, Pakupon dan Sekaten. Sebagai catatan, Jateng juga kaya warisan budaya tak benda yang telah diakui internasional. Di antaranya Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran (1996), Wayang Kulit (2003), Keris (2006), Batik (2009).
Terkait upaya pelestarian lunpia, pemerintah setempat merangkul pengusaha lokal untuk mengemas lebih menarik. Prasetyo menyebutkan, Jateng akan dimasukkan dalam paket ‘Jalur Samudra Wisata Chengho’. Beberapa titik sejarah Chengho yaitu Semarang dan Lasem tercatat dalam jalur itu. Tempat tersebut akan dikembangkan menjadi wisata budaya.
“Tontonan menarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Semarang mengikuti wisata edukasi tentang lunpia mulai dari proses membuat hingga mencicipi kuliner ini,” katanya. Kabid Kesejahteraan dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah Djoko N Witjaksono menambahkan, lunpia merupakan satu- satunya kuliner yang sudah diakui di seluruh Indonesia. Potensi kuliner untuk diakui sebagai warisan budaya tak benda perlu dilindungi supaya tidak mengalami kepunahan. Jawa Tengah mengusulkan beberapa kuliner namun hanya lunpia yang lolos seleksi.
Selain lunpia, provinsi ini mengusulkan tahu pong sebagai warisan budaya tak benda. Usulan diajukan sejak tahun 2013 dan berhasil diakui pada tahun 2014. “Kriteria persyaratan meliputi mewakili kejeniusan manusia, pentingnya pertukaran nilai- nilai kemanusiaan dan keunikan luar biasa,” ujarnya. Beberapa penelitian yang dilakukan sivitas akademika turut memperkuat sisi sejarah lunpia.
Usai pengakuan ini, Disbudpar membantu menggencarkan promosi agar hotel/resto selalu menyelipkan lumpia sebagai daftar menu. “Ada wacana mewajibkan untuk menyajikan lunpia dalam jamuan makan,” kata Djoko.
Usulan menjadi warisan budaya tak benda berskala internasional sedang dipertimbangkan. Namun begitu, proses yang dilalui lebih panjang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Hendrati hapsari
(ars)