Pembayun Kirim Sinyal Ingin Jadi Gubernur
A
A
A
YOGYAKARTA - Putri pertama Sri Sultan HB X, yakni Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, secara tegas meminta persyaratan menjadi gubernur untuk pencantuman “nama istri” dihilangkan.
Persyaratan tersebut terletak di Pasal3 ayat 1 huruf M dalam Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub. Pernyataan GKR Pembayun ini seolah ingin membuka peluang jabatan Gubernur DIY sekaligus tahta Keraton Yogyakarta bisa dipegang oleh perempuan.
“Calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup. Cukup!” kata Pembayun seusai menghadiri rapat Pansus Raperdais Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub di DPRD DIY, kemarin. Pembahasan di pansus juga masih alot untuk Pasal 3 ayat 1 huruf M tersebut. Ada dua opsi di dalamnya.
Opsi pertama , yakni menulis lengkap seperti yang tercantum dalam UU Keistimewaan Pasal 18, “Calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain pekerjaan, pendidikan, saudara kandung, istri, dan anak”. Pada Pasal 18 UU Keistimewaan tersebut sudah menyiratkan bahwa Sultan yang bertahta sekaligus Gubernur DIY harus laki-laki. Mencantumkan nama istri sebagai persyaratan gubernur berarti secara eksplisit Gubernur DIY tidak bisa dipimpin oleh perempuan.
Sementara opsi kedua, seperti yang diinginkan GKR Pembayun, “Calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup.” Dengan kata lain, memangkas kata pekerjaan, pendidikan, saudara kandung, istri, dan anak. Pilihan GKR Pembayun ini membawa konsekuensi, yakni nomenklatur dalam raperdais akan sedikit berbeda dari UU Keistimewaan. “Buat saya, yang penting (bunyi pasal raperdais) simpel dan bisa dimengerti oleh seterusnya,” kata Pembayun.
Bila Pasal 3 ayat 1 huruf M sebagian kalimat dipangkas, praktis ketentuan tersirat Sultan sekaligus gubernur harus laki-laki juga ikut terpangkas. Dengan kata lain, pasal tersebut membuka peluang bagi perempuan, khususnya putri-putri Sultan HB X bisa menjabat sebagai Gubernur DIY. “Aku ngikut saja,” ucap Pembayun.
Keinginan GKR Pembayun ini senada dengan sang ayah, Sultan HB X yang merupakan Gubernur DIY. Saat Pansus DPRD DIY berdialog dengan Sultan di Keraton pada Jumat malam (23/1) lalu, Sultan mengusulkan agar persyaratan gubernur tidak perlu mencantumkan nama istri.
Pansus DPRD DIY pun meneruskan berkonsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Kedua kementerian itu tidak mempersoalkan usulan dari Sultan HB X. Dengan kata lain, pencantuman nama istri tidak perlu dimasukkan dalam persyaratan menjadi Gubernur DIY.
Di Pansus DPRD DIY, pembahasan Pasal 3 ayat 1 huruf M masih terbelah menjadi dua kubu. “Pansus tidak bisa menyatukan atau menyepakati dari dua opsi pada pasal 3 tersebut. Pansus membawa dua opsi tersebut kepada pimpinan dewan dan pimpinan fraksi,” kata Ketua Pansus Slamet.
Politikus Partai Golkar ini mengingatkan raperdais urusan suksesi ini tidak membicarakan suksesi di Keraton Yogyakarta, melainkan suksesi gubernur. “Suksesi di keraton ini menjadi kewenangan internal keraton sebagai lembaga adat,” katanya.
Sementara jalannya pembahasan pansus berlangsung alot. Pansus sengaja menghadirkan Keraton Yogyakarta, Kadipaten Puro Pakualaman, dan Pemda DIY, selaku inisiator draf raperdais urusan suksesi. Wakil Ketua III DPRD DIY Dharma Setyawan sempat mengusulkan kepada forum agar pasal persyaratan pencantuman nama istri dihilangkan.
Tindakan ini langsung diinterupsi oleh tiga anggota pansus dari fraksi berbeda. Mereka lebih sepakat kedua opsi itu diselesaikan di tingkat pimpinan dewan dan pimpinan fraksi. Anggota Pansus Nur Sasmito mengakui dari 36 Pasal hanya Pasal 3 ayat 1 huruf M yang belum ada titik temu. “Kalau sikap kami (Fraksi PKS), sesuai dengan UU Keistimewaan karena UU Keistimewaan sudah mempertimbangkan dari sejumlah pakar,” katanya.
Sikap Fraksi PKS ini tentu berseberangan dengan keinginan Sultan HB X serta GKR Pembayun. Sikap Pemda DIY yang menjadi pembuat draf raperdais memilih menyerahkan kepada pansus soal Pasal 3 ayat 1 huruf M.
Isi draf dalam pasal yang dibuat Pemda DIY tersebut lengkap sesuai Pasal 18 UU Keistimewaan, yakni syarat Gubernur DIY menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. “Kami menyerahkan dua opsi itu kepada pansus,” kata Sekretaris Daerah DIY Ichsanuri.
Ridwan Anshori
Persyaratan tersebut terletak di Pasal3 ayat 1 huruf M dalam Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub. Pernyataan GKR Pembayun ini seolah ingin membuka peluang jabatan Gubernur DIY sekaligus tahta Keraton Yogyakarta bisa dipegang oleh perempuan.
“Calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup. Cukup!” kata Pembayun seusai menghadiri rapat Pansus Raperdais Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub di DPRD DIY, kemarin. Pembahasan di pansus juga masih alot untuk Pasal 3 ayat 1 huruf M tersebut. Ada dua opsi di dalamnya.
Opsi pertama , yakni menulis lengkap seperti yang tercantum dalam UU Keistimewaan Pasal 18, “Calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain pekerjaan, pendidikan, saudara kandung, istri, dan anak”. Pada Pasal 18 UU Keistimewaan tersebut sudah menyiratkan bahwa Sultan yang bertahta sekaligus Gubernur DIY harus laki-laki. Mencantumkan nama istri sebagai persyaratan gubernur berarti secara eksplisit Gubernur DIY tidak bisa dipimpin oleh perempuan.
Sementara opsi kedua, seperti yang diinginkan GKR Pembayun, “Calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup.” Dengan kata lain, memangkas kata pekerjaan, pendidikan, saudara kandung, istri, dan anak. Pilihan GKR Pembayun ini membawa konsekuensi, yakni nomenklatur dalam raperdais akan sedikit berbeda dari UU Keistimewaan. “Buat saya, yang penting (bunyi pasal raperdais) simpel dan bisa dimengerti oleh seterusnya,” kata Pembayun.
Bila Pasal 3 ayat 1 huruf M sebagian kalimat dipangkas, praktis ketentuan tersirat Sultan sekaligus gubernur harus laki-laki juga ikut terpangkas. Dengan kata lain, pasal tersebut membuka peluang bagi perempuan, khususnya putri-putri Sultan HB X bisa menjabat sebagai Gubernur DIY. “Aku ngikut saja,” ucap Pembayun.
Keinginan GKR Pembayun ini senada dengan sang ayah, Sultan HB X yang merupakan Gubernur DIY. Saat Pansus DPRD DIY berdialog dengan Sultan di Keraton pada Jumat malam (23/1) lalu, Sultan mengusulkan agar persyaratan gubernur tidak perlu mencantumkan nama istri.
Pansus DPRD DIY pun meneruskan berkonsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Kedua kementerian itu tidak mempersoalkan usulan dari Sultan HB X. Dengan kata lain, pencantuman nama istri tidak perlu dimasukkan dalam persyaratan menjadi Gubernur DIY.
Di Pansus DPRD DIY, pembahasan Pasal 3 ayat 1 huruf M masih terbelah menjadi dua kubu. “Pansus tidak bisa menyatukan atau menyepakati dari dua opsi pada pasal 3 tersebut. Pansus membawa dua opsi tersebut kepada pimpinan dewan dan pimpinan fraksi,” kata Ketua Pansus Slamet.
Politikus Partai Golkar ini mengingatkan raperdais urusan suksesi ini tidak membicarakan suksesi di Keraton Yogyakarta, melainkan suksesi gubernur. “Suksesi di keraton ini menjadi kewenangan internal keraton sebagai lembaga adat,” katanya.
Sementara jalannya pembahasan pansus berlangsung alot. Pansus sengaja menghadirkan Keraton Yogyakarta, Kadipaten Puro Pakualaman, dan Pemda DIY, selaku inisiator draf raperdais urusan suksesi. Wakil Ketua III DPRD DIY Dharma Setyawan sempat mengusulkan kepada forum agar pasal persyaratan pencantuman nama istri dihilangkan.
Tindakan ini langsung diinterupsi oleh tiga anggota pansus dari fraksi berbeda. Mereka lebih sepakat kedua opsi itu diselesaikan di tingkat pimpinan dewan dan pimpinan fraksi. Anggota Pansus Nur Sasmito mengakui dari 36 Pasal hanya Pasal 3 ayat 1 huruf M yang belum ada titik temu. “Kalau sikap kami (Fraksi PKS), sesuai dengan UU Keistimewaan karena UU Keistimewaan sudah mempertimbangkan dari sejumlah pakar,” katanya.
Sikap Fraksi PKS ini tentu berseberangan dengan keinginan Sultan HB X serta GKR Pembayun. Sikap Pemda DIY yang menjadi pembuat draf raperdais memilih menyerahkan kepada pansus soal Pasal 3 ayat 1 huruf M.
Isi draf dalam pasal yang dibuat Pemda DIY tersebut lengkap sesuai Pasal 18 UU Keistimewaan, yakni syarat Gubernur DIY menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. “Kami menyerahkan dua opsi itu kepada pansus,” kata Sekretaris Daerah DIY Ichsanuri.
Ridwan Anshori
(ftr)