Fitnah Terhadap Soekarno di Buku Cindy Adams
A
A
A
BUKU Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh The Bobbs-Merrill Company, Inc, New York, tahun 1965. Buku ini merupakan salah satu karya terbaik tentang Soekarno.
Dalam buku itu, termuat kehidupan pribadi Soekarno sebagai manusia, cita-cita politiknya, harapan-harapannya, serta latar belakang kebijakan politik yang diambil sebelum masa kejatuhannya.
Setahun kemudian, setelah terjadi Gerakan 30 September 1965, buku itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan pertama tahun 1966.
Berbeda dengan terbitan bahasa Inggris, buku dalam bahasa Indonesia itu mengalami berbagai keganjilan yang mengarah kepada fitnah terhadap Soekarno yang coba menghilangkan peran Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir dalam proklamasi.
Ironisnya, fitnah yang terkandung dalam buku terbitan bahasa Indonesia itu tidak pernah tertulis dalam naskah asli yang ditulis Cindy Adams dalam terbitan bahasa Inggris, di tahun 1965.
Akibat fitnah dalam buku itu, terjadi bias hubungan ketiga tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia itu dalam sejarah. Terlebih, banyak para sejarawan yang menulis tentang Soekarno banyak mengutip bagian dari buku itu.
Seketika, masyarakat Indonesia pun teringat dengan politik pecah belah yang digunakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan kaum nasionalis di Indonesia.
Berbagai pertanyaan pun timbul tentang siapa sosok orang (kelompok) yang meneruskan politik pecah belah itu? Dan apa kepentingannya? Apa mungkin ini hanya kesalahan penerjemahan?
Pada bahasan kali ini, Cerita Pagi tidak akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Fokus bahasan hanya soal bagai mana fitnah itu dilakukan secara keji untuk memecah belah para pendukung Soekarno-Hatta-Syahrir, sekaligus menghancurkan citranya.
Seperti sudah diketahui masyarakat umum, sejak terjadi Gerakan 30 September 1965, ajaran-ajaran Soekarno dikubur dalam-dalam, dan para pendukungnya dihancurkan.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, terungkapnya fitnah dalam buku Cindy Adam itu ketika dilangsungkannya diskusi oleh Yayasan Bung Karno, di Gedung Pola, tahun 2006.
Dalam diskusi itu, salah satu pembicara Syafii Maarif mengutip buku Cindy Adams terjemahan bahasa Indonesia. Dia mengatakan, Soekarno telah melecehkan Bung Hatta dalam buku itu.
Padahal, dalam terbitan bahasa Inggris, ungkapan yang melecehkan Bung Hatta sama sekali tidak ada. Hal ini lah yang membuat buku merah bergambar Soekarno sedang tersenyum itu ramai digunjingkan.
Sedikitnya ada dua kalimat dalam buku terbitan bahasa Indonesia yang memfitnah Soekarno tidak tertulis pada edisi bahasa Inggris. Kalimat itu ada dalam halaman 341. Dalam edisi Inggris tertulis sebagai berikut:
"..Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah proklamasi."
Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana di mana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berpikir tenang.
"Hatta tidak ada," kataku. "Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada."
Namun, dalam penerjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan atas persetujuan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto, dua kalimat itu disisipi dua alenia yang tidak ada dalam versi aslinya.
Tidak ada yang berteriak, "Kami menghendaki Bung Hatta." Aku tidak memerlukannya. Sama seperti Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi.
Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu, maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Peranannya (Hatta-dari redaksi) yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarno lah yang tetap mendorongnya (Hatta) ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan "pemimpin" ini karena satu pertimbangan.
Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia (Hatta) orang Sumatera, dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan, aku memerlukan seorang dari Sumatera.
Dia (Hatta) adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Demikian fitnah yang terkandung dalam buku terbitan bahasa Indonesia terjemahan Mayor Abdul Bar Salim. Sejak pertama diterbitkan tahun 1966, buku ini telah beberapa kali diterbitkan ulang.
Di antara buku Soekarno lainnya yang sulit ditemukan, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, pada era Orde Baru buku yang mengandung fitnah inilah yang paling mudah ditemui.
Tetapi, kekeliruan dalam buku itu kini sudah diperbaiki. Revisi buku itu berjudul sama dengan terbitan Indonesia sebelumnya, yakni Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Bung Karno bekerja sama dengan PT Media Pressindo.
Buku edisi revisi ini diambil dari naskah asli Cindy Adams yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Pada halaman 267 edisi revisi, cetakan kedua, tahun 2011, sisipan kalimat yang kontroversial itu akhirnya dihapus. Kalimatnya menjadi demikian:
"Hatta belum datang," kataku. "Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta."
Pada moment yang kritis dalam sejarah ini, Soekarno dan Indonesia menunggu kedatangan Hatta.
Dia (Hatta) akhirnya muncul di kamar di mana aku masih terbaring sendirian, ditemani Fatmawati. Aku berganti pakaian. Serba putih. Tidak ada kata-kata berarti dari kami berdua yang dapat dicatat dalam sejarah.
Demikian kesalahan yang berlangsung selama hampir 32 tahun itu telah diperbaiki. Namun misteri siapa orang yang telah memasukkan dua kalimat kontroversial tersebut masih belum terungkap.
Sebelum ulasan singkat ini ditutup, ada baiknya melihat hubungan Soekarno dengan Hatta, seperti diungkap Dr Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Muhammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Seperti dikutip dalam halaman 92 sebagai berikut:
Hubungan Hatta dan Soekarno di masa Revolusi 1945-1946 sangat baik, bagai dwitunggal, dan tak terpisahkan. Kedua orang ini dapat bekerja sama dengan sangat baik, dan tidak pernah ada perselisihan.
Soekarno bisa menguasai massa rakyat, membangkitkan semangat mereka, seakan mengarahkan mereka ke mana saja. Sebaliknya, Hatta mempu menguasai diri dalam keadaan apapun.
Hatta katanya, banyak berpikir dengan tenang dan dalam, memperhatikan sesuatu kejadian atau perkembangan dengan cermat, dan jika sudah mengambil keputusan, keputusannya itu akan ia pertahankan.
Dengan mengetahui hubungan antara Soekarno dan Hatta yang begitu erat, sisipan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang terbit di masa Orde Baru menjadi patut dipertanyakan.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi tentang fitnah terhadap Soekarno dalam buku Cindy Adams ini diakhiri. Semoga berguna, dan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca budiman.
Daftar Pustaka:
Asvi Warman Adams: Kesaksian Bung Karno (diambil dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011).
Cindy Adams: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011.
Dr Deliar Noer: Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa, Penerbit Buku Kompas, cetakan pertama April 2011.
Dalam buku itu, termuat kehidupan pribadi Soekarno sebagai manusia, cita-cita politiknya, harapan-harapannya, serta latar belakang kebijakan politik yang diambil sebelum masa kejatuhannya.
Setahun kemudian, setelah terjadi Gerakan 30 September 1965, buku itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan pertama tahun 1966.
Berbeda dengan terbitan bahasa Inggris, buku dalam bahasa Indonesia itu mengalami berbagai keganjilan yang mengarah kepada fitnah terhadap Soekarno yang coba menghilangkan peran Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir dalam proklamasi.
Ironisnya, fitnah yang terkandung dalam buku terbitan bahasa Indonesia itu tidak pernah tertulis dalam naskah asli yang ditulis Cindy Adams dalam terbitan bahasa Inggris, di tahun 1965.
Akibat fitnah dalam buku itu, terjadi bias hubungan ketiga tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia itu dalam sejarah. Terlebih, banyak para sejarawan yang menulis tentang Soekarno banyak mengutip bagian dari buku itu.
Seketika, masyarakat Indonesia pun teringat dengan politik pecah belah yang digunakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan kaum nasionalis di Indonesia.
Berbagai pertanyaan pun timbul tentang siapa sosok orang (kelompok) yang meneruskan politik pecah belah itu? Dan apa kepentingannya? Apa mungkin ini hanya kesalahan penerjemahan?
Pada bahasan kali ini, Cerita Pagi tidak akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Fokus bahasan hanya soal bagai mana fitnah itu dilakukan secara keji untuk memecah belah para pendukung Soekarno-Hatta-Syahrir, sekaligus menghancurkan citranya.
Seperti sudah diketahui masyarakat umum, sejak terjadi Gerakan 30 September 1965, ajaran-ajaran Soekarno dikubur dalam-dalam, dan para pendukungnya dihancurkan.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, terungkapnya fitnah dalam buku Cindy Adam itu ketika dilangsungkannya diskusi oleh Yayasan Bung Karno, di Gedung Pola, tahun 2006.
Dalam diskusi itu, salah satu pembicara Syafii Maarif mengutip buku Cindy Adams terjemahan bahasa Indonesia. Dia mengatakan, Soekarno telah melecehkan Bung Hatta dalam buku itu.
Padahal, dalam terbitan bahasa Inggris, ungkapan yang melecehkan Bung Hatta sama sekali tidak ada. Hal ini lah yang membuat buku merah bergambar Soekarno sedang tersenyum itu ramai digunjingkan.
Sedikitnya ada dua kalimat dalam buku terbitan bahasa Indonesia yang memfitnah Soekarno tidak tertulis pada edisi bahasa Inggris. Kalimat itu ada dalam halaman 341. Dalam edisi Inggris tertulis sebagai berikut:
"..Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah proklamasi."
Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana di mana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berpikir tenang.
"Hatta tidak ada," kataku. "Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada."
Namun, dalam penerjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan atas persetujuan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto, dua kalimat itu disisipi dua alenia yang tidak ada dalam versi aslinya.
Tidak ada yang berteriak, "Kami menghendaki Bung Hatta." Aku tidak memerlukannya. Sama seperti Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi.
Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu, maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Peranannya (Hatta-dari redaksi) yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarno lah yang tetap mendorongnya (Hatta) ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan "pemimpin" ini karena satu pertimbangan.
Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia (Hatta) orang Sumatera, dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan, aku memerlukan seorang dari Sumatera.
Dia (Hatta) adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Demikian fitnah yang terkandung dalam buku terbitan bahasa Indonesia terjemahan Mayor Abdul Bar Salim. Sejak pertama diterbitkan tahun 1966, buku ini telah beberapa kali diterbitkan ulang.
Di antara buku Soekarno lainnya yang sulit ditemukan, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, pada era Orde Baru buku yang mengandung fitnah inilah yang paling mudah ditemui.
Tetapi, kekeliruan dalam buku itu kini sudah diperbaiki. Revisi buku itu berjudul sama dengan terbitan Indonesia sebelumnya, yakni Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Bung Karno bekerja sama dengan PT Media Pressindo.
Buku edisi revisi ini diambil dari naskah asli Cindy Adams yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Pada halaman 267 edisi revisi, cetakan kedua, tahun 2011, sisipan kalimat yang kontroversial itu akhirnya dihapus. Kalimatnya menjadi demikian:
"Hatta belum datang," kataku. "Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta."
Pada moment yang kritis dalam sejarah ini, Soekarno dan Indonesia menunggu kedatangan Hatta.
Dia (Hatta) akhirnya muncul di kamar di mana aku masih terbaring sendirian, ditemani Fatmawati. Aku berganti pakaian. Serba putih. Tidak ada kata-kata berarti dari kami berdua yang dapat dicatat dalam sejarah.
Demikian kesalahan yang berlangsung selama hampir 32 tahun itu telah diperbaiki. Namun misteri siapa orang yang telah memasukkan dua kalimat kontroversial tersebut masih belum terungkap.
Sebelum ulasan singkat ini ditutup, ada baiknya melihat hubungan Soekarno dengan Hatta, seperti diungkap Dr Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Muhammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Seperti dikutip dalam halaman 92 sebagai berikut:
Hubungan Hatta dan Soekarno di masa Revolusi 1945-1946 sangat baik, bagai dwitunggal, dan tak terpisahkan. Kedua orang ini dapat bekerja sama dengan sangat baik, dan tidak pernah ada perselisihan.
Soekarno bisa menguasai massa rakyat, membangkitkan semangat mereka, seakan mengarahkan mereka ke mana saja. Sebaliknya, Hatta mempu menguasai diri dalam keadaan apapun.
Hatta katanya, banyak berpikir dengan tenang dan dalam, memperhatikan sesuatu kejadian atau perkembangan dengan cermat, dan jika sudah mengambil keputusan, keputusannya itu akan ia pertahankan.
Dengan mengetahui hubungan antara Soekarno dan Hatta yang begitu erat, sisipan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang terbit di masa Orde Baru menjadi patut dipertanyakan.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi tentang fitnah terhadap Soekarno dalam buku Cindy Adams ini diakhiri. Semoga berguna, dan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca budiman.
Daftar Pustaka:
Asvi Warman Adams: Kesaksian Bung Karno (diambil dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011).
Cindy Adams: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011.
Dr Deliar Noer: Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa, Penerbit Buku Kompas, cetakan pertama April 2011.
(san)