Hallo Bandoeng dari Radio Malabar
A
A
A
“HALLO, Bandung,” ucap seorang wanita renta menghadap mikrofon, di satu sudut kantor telegraf di Belanda akhir dekade 1920-an. Dia berharap bisa berbicara dengan sang anak, meski harus menabung sekian lama untuk membayar biayanya.
“Ya Ibu, saya di sini,” jawaban yang dia nanti akhirnya muncul. Perbincangan bersejarah itu dimulai. Rasa rin du serta kasih sayang ibu dan anak tumpah dalam obrolan te le pon yang tak lebih dari hi tungan menit saja.
“Saya baru bisa pulang ke Belanda empat ta hun lagi, akan ku bawa serta anak ku yang masih kecil ini,” ucap sang anak disusul teriakan sa lam ‘tabe’dari seorang bocah. Perempuan tua semakin gemetar. Belum habis kekagumannya bisa mendengar sua ra sang anak secara langsung, kini telingannya pun mam pu menangkap teriakan cucu kecilnya yang bahkan belum pernah dia lihat. Di tengah kebahagiaannyaitu, wanita itu terkulai lemas, tak kuat lagi dengan penyakit yang di deri tanya.
Dia meninggal tanpa di ketahui lawan bicara. Padahal cucunya terus saja berteriak ‘tabe’, salam khas bagi orang-orang Bel anda. Mungkin di Bandung tabe sama dengan sampurasun. Itulah gambaran lirik ‘Hallo Bandoeng’ milik Willy Derby tahun 1929. Lagu yang ter inspirasi dari sambungan telepon antara Stasiun Radio Malabar di Gu nung Puntang, Bandung sebelah selatan, dengan Stasiun Ra dio Kootwijk di Belanda. Dua stasiun radio itu menjadi yang pertama meng hubung kan Be la nda dan Hindia Be la nda de ngan te lekomunikasi tanpa kabel.
Praktis, pada masanya Stasiun Radio Malabar menjadi primadona bagi orang Belanda di Ta nah Air yang ingin menjalin ko munikasi dengan ke luarganya. Sejak itu pula, ungkapan ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ yang merupakan tanda panggil (call sign) Radio Malabar, men - jadi populer. Selain lagu ‘Hallo Bandoeng’ ciptaan Willy Derby, ada pula buku berjudul ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ yang terbit pada 1928. Di sampul buku berbahasa Belanda itu tertulis ‘Kenangan Percakapan Telepon Radio Pertama Antara Belanda dan Hindia Belanda’.
Karya-karya tersebut membuat ungkapan ‘Hallo Bandoeng’ semakin membumi, baik di Bandung, Hindia Belanda (In donesia), juga jauh di Belanda sana. Bahkan pada tahun 1979, lagu ‘Hallo Bandoeng’mi - lik Willy Derby diaransemen ulang dan dinyanyikan kembali oleh Wieteke van Dort, artis terkenal Belanda yang lahir dan sem pat menghabiskan masa ke cilnya di Indonesia.
Popularitas tanda panggil ‘Hallo Bandoeng’ seakan menjadi bukti besarnya manfaat Stasiun Radio Malabar bagi kehidupan warga di dua negara, Indonesia dan Belanda. Stasiun Radio Malabar sendiri dibangun 1917 di bawah ken dali insinyur kelahiran Be - lan da Cornelius Johannes de Groot. Gunung Puntang dipilih se bagai lokasi karena bentuk lereng dan ketinggian yang ideal. selain itu, posisi lereng gunung juga menghadap langsung ke negeri Belanda.
Instalasi Stasiun Radio Malabar kemudian di res mikan Gubernur Jenderal Hin dia Belanda Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Peresmian ditandai dengan dikirimnya telegraf radio ke Negeri Kincir Angin. Stasiun Radio Malabar terus berkembang. Bermula dari telegraf radio, stasiun ini berhasil men jalin hubungan telepon radio pertama Hindia Belanda de ngan Belanda di tahun 1925.
Sedangkan pembukaan Stasiun Ra dio Malabar untuk hu bu ngan telepon bagi masyarakat umum baru dilakukan 1929. Ma cam wartel di masa sekarang. “Stasiun Radio Malabar merupakan stasiun pemancar yang paling besar di dunia saat itu, dan sering dikatakan sebagai World Most Powerful Arc Transmitter,” tulis Ummy Latifah dan Achmad Sugiarto di buku Hallo Bandoeng Hier Den Haag, versi e-book terbitan 2014.
Dalam buku yang mengupas kehebatan teknologi Stasiun Radio Malabar ini, Ummy dan Sugiarto juga merinci betapa besarnya fisik pemancar yang dibangun. Kawat antena Sta siun Radio Malabar terbentang se panjang empat kilometer, dengan tinggi 250-750 meter. Kawat-kawat antena itu terbentang dari lereng Gunung Puntang ke lereng Gunung Halimun, dan dari Gunung Haruman ke Gunung Malabar.
“Ini merupakan proyek besar bagi pemerintahan Hindia Belanda, se kaligus antena tertinggi di dunia saat itu,” tulis keduanya. Namun, perjalanan sejarah mem buat Stasiun Radio Ma - labar harus dihancurkan. Tepat saat peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946, komplek pemancar nirkabel itu diledakkan para pejuang.
Di benak para pejuang, hancur jauh lebih baik ketimbang instalasi penting ini digunakan untuk kepentingan musuh. Usai luluh-lantak, stasiun radio bersejarah itu terlupakan, bahkan hilang ditelan semak be lukar. Setelah sekian lama Sta siun Radio Malabar di temukan kembali di 1987. “Di tahun 1987 itu Perhutani dan masyarakat umum membuka dan membersihkan lahan untuk di ja di - kan bumi perkemahan. Saat itu - lah ditemukan puing bekas Stasiun Radio Malabar,” ucap Mulyadi, MandorWisata Per hu tani wi layah Gunung Puntang.
Meski tinggal puing, jejak bangunannya masih cukup lengkap.Mulai dari bangunan utama stasiun radio, kolam air, komplek rumah pegawai, hing - ga bekas lapangan tenis. Menurut Mulyadi, terdapat sekitar sepuluh puing rumah yang dulunya ditempati para insinyur asis ten de Groot.
“Jadi rumah-rumah itu untuk para insinyur yang membantu de Groot membangun sta siun radio ini. Kalau pekerja bia sa, tinggalnya di bedeng-bedeng kecil yang berjajar. Karena du lunya ini proyek besar, pe kerjanya mencapai tiga ratus orang. Ada bagian panjat-memanjat, tu kang listrik, tukang bengkel, tu kang tebang, macam-macam. Dan bukan hanya orang Bandung tapi berasal dari seluruh Indonesia,” kata Mulyadi.
Setelah dibuka sebagai komplek wisata dan bumi perkemahan, kawasan Gunung Pun tang memang ramai di da tangi pengunjung. Namun, ra ta-rata dari mereka hanya ber kemah. Jarang se kali yang me nyadari bahwa puing di sekitar ten da mereka ada - lah saksi sambungan telepon pertama Indonesia dan Belanda,tempat la hir nya ungkapan ‘Hallo Ban - doeng’. Bahkan ketimbang bangunan utama, masyarakat lebih akrab dengan kolam air di de pan puing Stasiun Radio Malabar.
Kolam itu terkenal dengan nama Kolam Cinta. “Hanya karena bentuk kolamnya mirip bentuk hati. Padahal itu bentuk daun talas. Dan ujung dari bentuk daun talasnya itu ada lah penunjuk yang tepat mengarah ke negeri Belanda,” terang Mulyadi. Nasib lebih beruntung dialami ‘pasangan’ dari Stasiun Ra dio Malabar, yaitu Stasiun Ra dio Kootwijk. Hingga kini bangunannya masih berdiri tegak di Belanda.
Bangunan Radio Koot wijk itu seakan menceritakan, bahwa pernah ada romantisme kerinduan antara Belanda dan Hindia Belanda.
Gugum rachmat gumilar
“Ya Ibu, saya di sini,” jawaban yang dia nanti akhirnya muncul. Perbincangan bersejarah itu dimulai. Rasa rin du serta kasih sayang ibu dan anak tumpah dalam obrolan te le pon yang tak lebih dari hi tungan menit saja.
“Saya baru bisa pulang ke Belanda empat ta hun lagi, akan ku bawa serta anak ku yang masih kecil ini,” ucap sang anak disusul teriakan sa lam ‘tabe’dari seorang bocah. Perempuan tua semakin gemetar. Belum habis kekagumannya bisa mendengar sua ra sang anak secara langsung, kini telingannya pun mam pu menangkap teriakan cucu kecilnya yang bahkan belum pernah dia lihat. Di tengah kebahagiaannyaitu, wanita itu terkulai lemas, tak kuat lagi dengan penyakit yang di deri tanya.
Dia meninggal tanpa di ketahui lawan bicara. Padahal cucunya terus saja berteriak ‘tabe’, salam khas bagi orang-orang Bel anda. Mungkin di Bandung tabe sama dengan sampurasun. Itulah gambaran lirik ‘Hallo Bandoeng’ milik Willy Derby tahun 1929. Lagu yang ter inspirasi dari sambungan telepon antara Stasiun Radio Malabar di Gu nung Puntang, Bandung sebelah selatan, dengan Stasiun Ra dio Kootwijk di Belanda. Dua stasiun radio itu menjadi yang pertama meng hubung kan Be la nda dan Hindia Be la nda de ngan te lekomunikasi tanpa kabel.
Praktis, pada masanya Stasiun Radio Malabar menjadi primadona bagi orang Belanda di Ta nah Air yang ingin menjalin ko munikasi dengan ke luarganya. Sejak itu pula, ungkapan ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ yang merupakan tanda panggil (call sign) Radio Malabar, men - jadi populer. Selain lagu ‘Hallo Bandoeng’ ciptaan Willy Derby, ada pula buku berjudul ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ yang terbit pada 1928. Di sampul buku berbahasa Belanda itu tertulis ‘Kenangan Percakapan Telepon Radio Pertama Antara Belanda dan Hindia Belanda’.
Karya-karya tersebut membuat ungkapan ‘Hallo Bandoeng’ semakin membumi, baik di Bandung, Hindia Belanda (In donesia), juga jauh di Belanda sana. Bahkan pada tahun 1979, lagu ‘Hallo Bandoeng’mi - lik Willy Derby diaransemen ulang dan dinyanyikan kembali oleh Wieteke van Dort, artis terkenal Belanda yang lahir dan sem pat menghabiskan masa ke cilnya di Indonesia.
Popularitas tanda panggil ‘Hallo Bandoeng’ seakan menjadi bukti besarnya manfaat Stasiun Radio Malabar bagi kehidupan warga di dua negara, Indonesia dan Belanda. Stasiun Radio Malabar sendiri dibangun 1917 di bawah ken dali insinyur kelahiran Be - lan da Cornelius Johannes de Groot. Gunung Puntang dipilih se bagai lokasi karena bentuk lereng dan ketinggian yang ideal. selain itu, posisi lereng gunung juga menghadap langsung ke negeri Belanda.
Instalasi Stasiun Radio Malabar kemudian di res mikan Gubernur Jenderal Hin dia Belanda Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Peresmian ditandai dengan dikirimnya telegraf radio ke Negeri Kincir Angin. Stasiun Radio Malabar terus berkembang. Bermula dari telegraf radio, stasiun ini berhasil men jalin hubungan telepon radio pertama Hindia Belanda de ngan Belanda di tahun 1925.
Sedangkan pembukaan Stasiun Ra dio Malabar untuk hu bu ngan telepon bagi masyarakat umum baru dilakukan 1929. Ma cam wartel di masa sekarang. “Stasiun Radio Malabar merupakan stasiun pemancar yang paling besar di dunia saat itu, dan sering dikatakan sebagai World Most Powerful Arc Transmitter,” tulis Ummy Latifah dan Achmad Sugiarto di buku Hallo Bandoeng Hier Den Haag, versi e-book terbitan 2014.
Dalam buku yang mengupas kehebatan teknologi Stasiun Radio Malabar ini, Ummy dan Sugiarto juga merinci betapa besarnya fisik pemancar yang dibangun. Kawat antena Sta siun Radio Malabar terbentang se panjang empat kilometer, dengan tinggi 250-750 meter. Kawat-kawat antena itu terbentang dari lereng Gunung Puntang ke lereng Gunung Halimun, dan dari Gunung Haruman ke Gunung Malabar.
“Ini merupakan proyek besar bagi pemerintahan Hindia Belanda, se kaligus antena tertinggi di dunia saat itu,” tulis keduanya. Namun, perjalanan sejarah mem buat Stasiun Radio Ma - labar harus dihancurkan. Tepat saat peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946, komplek pemancar nirkabel itu diledakkan para pejuang.
Di benak para pejuang, hancur jauh lebih baik ketimbang instalasi penting ini digunakan untuk kepentingan musuh. Usai luluh-lantak, stasiun radio bersejarah itu terlupakan, bahkan hilang ditelan semak be lukar. Setelah sekian lama Sta siun Radio Malabar di temukan kembali di 1987. “Di tahun 1987 itu Perhutani dan masyarakat umum membuka dan membersihkan lahan untuk di ja di - kan bumi perkemahan. Saat itu - lah ditemukan puing bekas Stasiun Radio Malabar,” ucap Mulyadi, MandorWisata Per hu tani wi layah Gunung Puntang.
Meski tinggal puing, jejak bangunannya masih cukup lengkap.Mulai dari bangunan utama stasiun radio, kolam air, komplek rumah pegawai, hing - ga bekas lapangan tenis. Menurut Mulyadi, terdapat sekitar sepuluh puing rumah yang dulunya ditempati para insinyur asis ten de Groot.
“Jadi rumah-rumah itu untuk para insinyur yang membantu de Groot membangun sta siun radio ini. Kalau pekerja bia sa, tinggalnya di bedeng-bedeng kecil yang berjajar. Karena du lunya ini proyek besar, pe kerjanya mencapai tiga ratus orang. Ada bagian panjat-memanjat, tu kang listrik, tukang bengkel, tu kang tebang, macam-macam. Dan bukan hanya orang Bandung tapi berasal dari seluruh Indonesia,” kata Mulyadi.
Setelah dibuka sebagai komplek wisata dan bumi perkemahan, kawasan Gunung Pun tang memang ramai di da tangi pengunjung. Namun, ra ta-rata dari mereka hanya ber kemah. Jarang se kali yang me nyadari bahwa puing di sekitar ten da mereka ada - lah saksi sambungan telepon pertama Indonesia dan Belanda,tempat la hir nya ungkapan ‘Hallo Ban - doeng’. Bahkan ketimbang bangunan utama, masyarakat lebih akrab dengan kolam air di de pan puing Stasiun Radio Malabar.
Kolam itu terkenal dengan nama Kolam Cinta. “Hanya karena bentuk kolamnya mirip bentuk hati. Padahal itu bentuk daun talas. Dan ujung dari bentuk daun talasnya itu ada lah penunjuk yang tepat mengarah ke negeri Belanda,” terang Mulyadi. Nasib lebih beruntung dialami ‘pasangan’ dari Stasiun Ra dio Malabar, yaitu Stasiun Ra dio Kootwijk. Hingga kini bangunannya masih berdiri tegak di Belanda.
Bangunan Radio Koot wijk itu seakan menceritakan, bahwa pernah ada romantisme kerinduan antara Belanda dan Hindia Belanda.
Gugum rachmat gumilar
(ars)