Sampah Disulap Jadi Berharga
A
A
A
MENDENGAR kata sampah yang terlintas dalam benak kita adalah setumpuk limbah sisa produksi maupun barang-barang bekas tak bermanfaat yang akhirnya menimbulkan aroma busuk dan menyengat.
Tak hanya itu, sampah juga sering dianggap sebagai salah satu biang penyebab timbulnya dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sekitar seperti banjir. Di sisi lain timbulnya permasalahan sampah yang saat ini hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia, tak lepas dari perilaku negatif dan minimnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah.
Membuang sembarangan tanpa sadar, kini telah jadi salah satu potret kehidupan di masyarakat. Beranjak dari persoalan tersebut, Sonson Garsoni, 55, pria kelahiran Ciamis berusaha menyelesaikan persoalan sampah secara bertahap sekaligus mengubah mindset masyarakat agar ikut berperan meminimalisasinya dengan merancang sebuah alat pendaur ulang limbah sampah yang bisa membuat sampah menjadi barang berharga dan bernilai ekonomis karena hasil daur ulang sampah tersebut dapat dihasilkan sejumlah bahan dasar untuk pembuatan berbagai macak produk.
Tak hanya itu, dia pun mendirikan Posko Hijau yang khusus membidangi permasalahan lingkungan serta melengkapinya dengan program Bank Sampah. Cara inilah yang telah dilakukan oleh sosok yang akrab disapa Kang Sonson itu di Yayasan yang dibinanya. Siapa sangka dengan kesungguhan dan keyakinannya untuk menyelesaian persoalan sampah, Kang Sonson kini banyak mendapat kepercayaan dari sejumlah daerah yang memesan alat hasil rancangannya itu.
Ditemui dikediamannya Jalan Raya Banjaran nomor 390, Desa Langonsari, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Kang Sonson menceritakan awal mula dirinya terjun menuntaskan problematika sampah di masyarakat. Mulai dari niat, kendala hingga rencana ke depan. Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan Kang Sonson ;
Kapan tepatnya Anda mulai merancang alat daur ulang sampah?
Sekitar tahun 2004 lalu menjadi awal mula saya mencoba pengalaman pertama untuk merancang alat pendaur ulang sampah. Saat itu saya membuat sebuah alat yang berfungsi mengkonversi sampah organik menjadi kompos atau biasa dikenal dengan sebutan komposter. Berkat dukungan dari LIPI dan berbagai referensi yang saya didapatkan akhirnya alat tersebut pun dapat beroperasi meski memang masih berskala kecil.
Kenapa Anda tertarik mengembangkan alat tersebut?
Saya melihat persoalan sampah yang terjadi hampir di setiap daerah dan itu sangat memprihatinkan. Makanya, saya berpikir kenapa kita tidak melakukan langkah nyata agar masalah yang kompleks ini dapat diselesaikan sehingga tidak terus berkembang.
Longsor yang sempat terjadi di TPA Leuwigajah beberapa tahun silam merupakan salah satu bukti nyata bila sampah yang dibuang ke lokasi penampungan bukan solusi yang baik. Harusnya, kita dapat menyelesaikan persoalan sampah ini mulai dari sumber timbul sampah itu sendiri seperti di rumah tangga maupun di lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, saya pikir pemilahan sampah, dan adanya proses pengolahan sangatlah penting dilakukan guna meminimalisasi tumpukan sampah. Dengan adanya upaya pendaur ulangan membuat sampah yang awalnya tidak bernilai menjadi barang baru yang dapat dimanfaatkan.
Seperti apa proses daur ulang sampah oleh alat yang Anda ciptakan?
Untuk jenis sampah organik yang dapat diolah menjadi pupuk organik dan juga energi biogas melalui proses dekomposisi dengan alat komposter.
Kalau jenis sampah berbahan dasar botol kemasan air mineral dan sejenisnya menggunakan mesin pencacah plastik (engine berbahan bakar biogas) yang nantinya dapat dijadikan bahan baku bagi industri plastik. Selain itu, sampah jenis plastik seperti kemasan mi instan, kopi, kresek, dan sejenisnya dipanaskan antara 100-800 derajat celcius, dalam reaktor pirolisis (kedap udara) yang nantinya menjadi minyak bakar kualitas rendah (heavy oil).
Untuk jenis sampah kering seperti dedaunan, ranting pohon dan beberapa di antaranya diolah dalam gasifier guna menjadi energi kalor. Dan terakhir limbah sisa makanan hewani (tulang ayam, duri ikan dan daging) melalui proses digesterbiogas fungsinya dapat dijadikan tambahan pakan untuk budidaya lele.
Hingga kini, berapa daerah yang telah memesan alat daur ulang sampah itu. Berapa harga untuk setiap satu alat?
Hingga kini, beberapa daerah di Indonesia sudah banyak yang percaya terhadap rancangan alat ini. Mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jabar hingga Jayapura. Selain itu, sekitar 100 lokasi telah ikut mengaplikasikan alat tersebut seperti di TPS Lanud Halim Perdanakusuma, TPS Taman Ismail Marzuki (TIM), Perumahan Citra Raya Cikupa Tangerang, dan beberapa daerah lainnya hingga ke Malaysia.
Sementara untuk di Kabupaten Bandung sesuai dari data yang saya miliki sudah 10 kecamatan ikut memanfaatkan alat pendaur ulang sampah yang saya rancang di antaranya di Kecamatan Kertasari, Pameungpeuk, Cimaung, Majalaya, Cicalengka, dan beberapa titik lainnya tak terkecuali di wilayah Kota Bandung. Kalau untuk harga satu mesin daur ulang berkisar antara Rp200 juta hingga Rp300 juta.
Hambatan apa saja selama Anda melakukan proses perancangan alat tersebut?
Kalau untuk kendala, jelas semua ada dan saya pun mengalaminya. Akan tetapi sejauh ini persoalan itu tidak terlalu signifikan mempengaruhi usaha yang ingin saya wujudkan untuk membuat sebuah alat pencacah sampah yang kini sudah mulai mendapatkan respons cukup baik dari masyarakat dan pemerintah daerah. Awalnya saya sempat terganjal dengan perancangan alat karena mayoritas sulit didapatkan di dalam negeri, tapi sekarang zamannya teknologi sehingga banyak referensi yang akhirnya bisa membantu.
Terkait yayasan yang Anda bina sudah sejak kapan berdiri dan kegiatan apa saja yang dilaksanakan di sana?
Begitu saya terjun dan fokus mengelola sampah dengan merancang alat daur ulang, sebenarnya Yayasan Posko Hijau ini sudah berdiri. Namun memang saat itu belum sampai pada tahapan seperti sekarang yang ikut mensosialisasikan penanganan sampah seiring dengan dilengkapinya posko tersebut dengan program Bank Sampah. Tapi, untuk resminya sendiri posko mulai beroperasi awal 2014 lalu.
Di posko ini kami menerapkan sebuah starategi agar masyarakat dapat ikut berperan serta dalam menangani persoalan sampah yang dihasilkannya sendiri. Salah satunya yaitu masyarakat bisa mendapatkan berbagai macam produk seperti pupuk, pestisida, bibit tanaman hidroponik serta kebutuhan pertanian lainnya hanya dengan cara menukarkan dengan limbah sampah.
Tak hanya itu, posko yang kini dikenal dengan bengkel produksi organik dan menjadi objek wisata teknologi ini ikut menyajikan berbagai macam jenis olahan makanan yang dimasak dengan menggunakan energi biogas hasil dari proses alat daur ulang yang kami miliki.
Masyarakat dapat membelinya dengan membawa sampah sebagai transaksi pembeliannya. Hal tersebut sengaja kami lakukan untuk mengubah mindsetmasyarakat terkait pandangan mengenai sampah karena pada dasarnya sampah itu memiliki nilai ekonomis.
Apa penilaian Anda terhadap kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah?
Saya pikir selama ini kesadaran masyarakat dalam mengelola dan mengolah sampahnya masih sangat minim sehingga butuh upaya penyadaran. Kehadiran masyarakat juga tidak bisa dipisahkan dengan persoalan sampah yang hampir terjadi di semua kota di Indonesia.
Seperti kita tahu, penduduk di Indonesia saat ini lebih dari 230 juta jiwa. Bisa dibayangkan bila sehari bisa menghasil satu ton sampah dikalikan dengan jumlah penduduk sangat besar potensi energi yang didapatkan jika sampah tersebut dikelola dengan baik. Untuk itu, perlu dilakukan sebuah upaya pendekatan kepada masyarakat sehingga bisa melakukan pemanfaatan sampah yang dihasilkannya sendiri.
Lazimnya orang membuang sampah ke TPA juga harus ikut dibenahi karena saya menilai pembuangan sampah kelokasi penampungan itu, tetap bukan solusi keculai menanganinya disumber timbulnya sampah baik itu dengan cara pemilahan, maupun proses pendaur ulangan.
Ke depan, adakah hal yang ingin Anda wujudkan setelah berhasil menjalankan usaha ini?
Untuk saat ini, saya pribadi masih ingin fokus menyelesaikan persoalan sampah dan terus melakukan pemasaran alat-alat daur ulang kepada daerah yang berniat menuntaskan permasalahan sampah.
Selain itu, dengan peran dari Yayasan Posko Hijau saya juga berharap dapat mengubah secara bertahap paradigma masyarakat bahwa sebetulnya sampah itu memiliki fungsi lain dan sangat bernilai ekonomis jika dikelola dengan baik. Permasalahan sampah ini juga membutuhkan penangan serius baik dari pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah begitupun dengan saya yang memang menjadi pekerjaan rumah bersama.
Selain itu, adanya posko hijau yang berjuang menyelesaikan permasalahan sampah juga diharap dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan nilai lebih dengan menukarkan sampah yang dihasilkannya sendiri dan menjadi nasabah di Bank Sampah yang ikut didirikan disini.
Dila nashear
Tak hanya itu, sampah juga sering dianggap sebagai salah satu biang penyebab timbulnya dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sekitar seperti banjir. Di sisi lain timbulnya permasalahan sampah yang saat ini hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia, tak lepas dari perilaku negatif dan minimnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah.
Membuang sembarangan tanpa sadar, kini telah jadi salah satu potret kehidupan di masyarakat. Beranjak dari persoalan tersebut, Sonson Garsoni, 55, pria kelahiran Ciamis berusaha menyelesaikan persoalan sampah secara bertahap sekaligus mengubah mindset masyarakat agar ikut berperan meminimalisasinya dengan merancang sebuah alat pendaur ulang limbah sampah yang bisa membuat sampah menjadi barang berharga dan bernilai ekonomis karena hasil daur ulang sampah tersebut dapat dihasilkan sejumlah bahan dasar untuk pembuatan berbagai macak produk.
Tak hanya itu, dia pun mendirikan Posko Hijau yang khusus membidangi permasalahan lingkungan serta melengkapinya dengan program Bank Sampah. Cara inilah yang telah dilakukan oleh sosok yang akrab disapa Kang Sonson itu di Yayasan yang dibinanya. Siapa sangka dengan kesungguhan dan keyakinannya untuk menyelesaian persoalan sampah, Kang Sonson kini banyak mendapat kepercayaan dari sejumlah daerah yang memesan alat hasil rancangannya itu.
Ditemui dikediamannya Jalan Raya Banjaran nomor 390, Desa Langonsari, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Kang Sonson menceritakan awal mula dirinya terjun menuntaskan problematika sampah di masyarakat. Mulai dari niat, kendala hingga rencana ke depan. Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan Kang Sonson ;
Kapan tepatnya Anda mulai merancang alat daur ulang sampah?
Sekitar tahun 2004 lalu menjadi awal mula saya mencoba pengalaman pertama untuk merancang alat pendaur ulang sampah. Saat itu saya membuat sebuah alat yang berfungsi mengkonversi sampah organik menjadi kompos atau biasa dikenal dengan sebutan komposter. Berkat dukungan dari LIPI dan berbagai referensi yang saya didapatkan akhirnya alat tersebut pun dapat beroperasi meski memang masih berskala kecil.
Kenapa Anda tertarik mengembangkan alat tersebut?
Saya melihat persoalan sampah yang terjadi hampir di setiap daerah dan itu sangat memprihatinkan. Makanya, saya berpikir kenapa kita tidak melakukan langkah nyata agar masalah yang kompleks ini dapat diselesaikan sehingga tidak terus berkembang.
Longsor yang sempat terjadi di TPA Leuwigajah beberapa tahun silam merupakan salah satu bukti nyata bila sampah yang dibuang ke lokasi penampungan bukan solusi yang baik. Harusnya, kita dapat menyelesaikan persoalan sampah ini mulai dari sumber timbul sampah itu sendiri seperti di rumah tangga maupun di lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, saya pikir pemilahan sampah, dan adanya proses pengolahan sangatlah penting dilakukan guna meminimalisasi tumpukan sampah. Dengan adanya upaya pendaur ulangan membuat sampah yang awalnya tidak bernilai menjadi barang baru yang dapat dimanfaatkan.
Seperti apa proses daur ulang sampah oleh alat yang Anda ciptakan?
Untuk jenis sampah organik yang dapat diolah menjadi pupuk organik dan juga energi biogas melalui proses dekomposisi dengan alat komposter.
Kalau jenis sampah berbahan dasar botol kemasan air mineral dan sejenisnya menggunakan mesin pencacah plastik (engine berbahan bakar biogas) yang nantinya dapat dijadikan bahan baku bagi industri plastik. Selain itu, sampah jenis plastik seperti kemasan mi instan, kopi, kresek, dan sejenisnya dipanaskan antara 100-800 derajat celcius, dalam reaktor pirolisis (kedap udara) yang nantinya menjadi minyak bakar kualitas rendah (heavy oil).
Untuk jenis sampah kering seperti dedaunan, ranting pohon dan beberapa di antaranya diolah dalam gasifier guna menjadi energi kalor. Dan terakhir limbah sisa makanan hewani (tulang ayam, duri ikan dan daging) melalui proses digesterbiogas fungsinya dapat dijadikan tambahan pakan untuk budidaya lele.
Hingga kini, berapa daerah yang telah memesan alat daur ulang sampah itu. Berapa harga untuk setiap satu alat?
Hingga kini, beberapa daerah di Indonesia sudah banyak yang percaya terhadap rancangan alat ini. Mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jabar hingga Jayapura. Selain itu, sekitar 100 lokasi telah ikut mengaplikasikan alat tersebut seperti di TPS Lanud Halim Perdanakusuma, TPS Taman Ismail Marzuki (TIM), Perumahan Citra Raya Cikupa Tangerang, dan beberapa daerah lainnya hingga ke Malaysia.
Sementara untuk di Kabupaten Bandung sesuai dari data yang saya miliki sudah 10 kecamatan ikut memanfaatkan alat pendaur ulang sampah yang saya rancang di antaranya di Kecamatan Kertasari, Pameungpeuk, Cimaung, Majalaya, Cicalengka, dan beberapa titik lainnya tak terkecuali di wilayah Kota Bandung. Kalau untuk harga satu mesin daur ulang berkisar antara Rp200 juta hingga Rp300 juta.
Hambatan apa saja selama Anda melakukan proses perancangan alat tersebut?
Kalau untuk kendala, jelas semua ada dan saya pun mengalaminya. Akan tetapi sejauh ini persoalan itu tidak terlalu signifikan mempengaruhi usaha yang ingin saya wujudkan untuk membuat sebuah alat pencacah sampah yang kini sudah mulai mendapatkan respons cukup baik dari masyarakat dan pemerintah daerah. Awalnya saya sempat terganjal dengan perancangan alat karena mayoritas sulit didapatkan di dalam negeri, tapi sekarang zamannya teknologi sehingga banyak referensi yang akhirnya bisa membantu.
Terkait yayasan yang Anda bina sudah sejak kapan berdiri dan kegiatan apa saja yang dilaksanakan di sana?
Begitu saya terjun dan fokus mengelola sampah dengan merancang alat daur ulang, sebenarnya Yayasan Posko Hijau ini sudah berdiri. Namun memang saat itu belum sampai pada tahapan seperti sekarang yang ikut mensosialisasikan penanganan sampah seiring dengan dilengkapinya posko tersebut dengan program Bank Sampah. Tapi, untuk resminya sendiri posko mulai beroperasi awal 2014 lalu.
Di posko ini kami menerapkan sebuah starategi agar masyarakat dapat ikut berperan serta dalam menangani persoalan sampah yang dihasilkannya sendiri. Salah satunya yaitu masyarakat bisa mendapatkan berbagai macam produk seperti pupuk, pestisida, bibit tanaman hidroponik serta kebutuhan pertanian lainnya hanya dengan cara menukarkan dengan limbah sampah.
Tak hanya itu, posko yang kini dikenal dengan bengkel produksi organik dan menjadi objek wisata teknologi ini ikut menyajikan berbagai macam jenis olahan makanan yang dimasak dengan menggunakan energi biogas hasil dari proses alat daur ulang yang kami miliki.
Masyarakat dapat membelinya dengan membawa sampah sebagai transaksi pembeliannya. Hal tersebut sengaja kami lakukan untuk mengubah mindsetmasyarakat terkait pandangan mengenai sampah karena pada dasarnya sampah itu memiliki nilai ekonomis.
Apa penilaian Anda terhadap kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah?
Saya pikir selama ini kesadaran masyarakat dalam mengelola dan mengolah sampahnya masih sangat minim sehingga butuh upaya penyadaran. Kehadiran masyarakat juga tidak bisa dipisahkan dengan persoalan sampah yang hampir terjadi di semua kota di Indonesia.
Seperti kita tahu, penduduk di Indonesia saat ini lebih dari 230 juta jiwa. Bisa dibayangkan bila sehari bisa menghasil satu ton sampah dikalikan dengan jumlah penduduk sangat besar potensi energi yang didapatkan jika sampah tersebut dikelola dengan baik. Untuk itu, perlu dilakukan sebuah upaya pendekatan kepada masyarakat sehingga bisa melakukan pemanfaatan sampah yang dihasilkannya sendiri.
Lazimnya orang membuang sampah ke TPA juga harus ikut dibenahi karena saya menilai pembuangan sampah kelokasi penampungan itu, tetap bukan solusi keculai menanganinya disumber timbulnya sampah baik itu dengan cara pemilahan, maupun proses pendaur ulangan.
Ke depan, adakah hal yang ingin Anda wujudkan setelah berhasil menjalankan usaha ini?
Untuk saat ini, saya pribadi masih ingin fokus menyelesaikan persoalan sampah dan terus melakukan pemasaran alat-alat daur ulang kepada daerah yang berniat menuntaskan permasalahan sampah.
Selain itu, dengan peran dari Yayasan Posko Hijau saya juga berharap dapat mengubah secara bertahap paradigma masyarakat bahwa sebetulnya sampah itu memiliki fungsi lain dan sangat bernilai ekonomis jika dikelola dengan baik. Permasalahan sampah ini juga membutuhkan penangan serius baik dari pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah begitupun dengan saya yang memang menjadi pekerjaan rumah bersama.
Selain itu, adanya posko hijau yang berjuang menyelesaikan permasalahan sampah juga diharap dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan nilai lebih dengan menukarkan sampah yang dihasilkannya sendiri dan menjadi nasabah di Bank Sampah yang ikut didirikan disini.
Dila nashear
(ars)