Genjot Produksi, Perlakukan Kentang pada Suhu Tertentu
A
A
A
BANDUNG - Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kentang biasanya hanya dijadikan penganan seperti keripik, perkedel, campuran sup, dan lainnya.
Padahal di negara asalnya Amerika Selatan, kentang banyak dijadikan makanan utama seperti halnya nasi bagi kebanyakan warga Indonesia. Sosio kultural yang berbeda antara Indonesia dengan Amerika Selatan menjadi faktor penting kenapa kentang tidak jadi makanan utama. Selain itu, mahalnya harga kentang menjadi memicu rendahnya konsumsi kentang di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tingkat produksi yang masih rendah pula.
Hal itu juga yang melatarbelakangi PT East West Seed Indonesia (Ewindo) mengembangkan produksi kentang dengan sistem aeroponik. Menurut Program Director Syngenta Foundation Teddy H Tambu, teknologi aeroponik sudah banyak dikembangkan di Korea Selatan. Peralatan yang dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi aeroponik ini tak terlalu sulit di antaranya dibutuhkan lokasi dengan ketinggian dan suhu udara yang sesuai dengan karakter sayuran kentang.
Kemudian dibuat submodel yang bentuknya memanjang dan sesuai dengan keinginan atau luas lahan. Di Desa Tugu Mukti, submodel dibuat memanjang dengan ukuran sekitar 1,5 x 18 meter dari besi atau penyangga yang kuat. Untuk media tanamannya, dipilih styrofoam yang dilubangi dengan diameter 1-2 sentimeter yang kemudian dimasukkan paralon dengan panjang 5 cm.
Dalam paralon inilah bibit kentang dimasukkan. Sebelum bibit dimasukkan ke dalam paralon, untuk penyangga, dibelitkan busa berukuran sekitar 2,5 cm. Setelah dimasukkan, akan terlihat dari bawah styrofoam akar benih menjuntai ke bawah. “Suhu di dalam area ini harus diukur setiap hari dan setiap empat jam sekali. Dan dipastikan harus stabil tidak boleh kurang dari 15 derajat dan tidak lebih dari 30 derajat celcius,” kata Teddy.
Tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam lokasi area budidaya benih ini. Ada dua pintu khusus yang harus dilewati dan terdapat tempat khusus meletakkan alas kaki yang sudah diberi cairan khusus. Setelah itu, cuci tangan dengan sabun dan disemprotkan alkohol lalu mengenakan sarung tangan sekali pakai dan masker bagi perokok.
Sebelum masuk, harus mengenakan pakaian dan sandal khusus, setelah itu baru masuk melalui pintu lain yang juga bagian bawahnya terdapat cairan khusus yang harus diinjak sebelum masuk ke area benih. “Prosedur seperti ini harus dilakukan agar hasil benih sesuai harapan yakni berkualitas dan bebas hama serta penyakit,” kata Teddy.
Managing Director PT East West Seed Indonesia (Ewindo) Glenn Pardede, persoalan utama petani kentang Indonesia saat ini adalah ketersediaan benih kentang berkualitas. Dari total kebutuhan benih kentang nasional sebesar kurang lebih 130.000 ton/tahun, ketersediaan benih berkualitas dan bersertifikat diperkirakan kurang dari 15%.
“Hal ini menjadi salah satu pemicu rendahnya produktivitas kentang nasional dengan ratarata panen 15 ton/hektare,” kata dia di area produksi aeroponik benih kentang G-0 di Desa Tugu Mukti, Cisarua, Bandung Barat, beberapa waktu lalu.
Sesuai dengan penamaannya yakni aeroponik yang berasal dari kata aero, artinya udara dan ponus artinya daya. Cara ini juga bisa dikatakan memberdayakan udara. Melalui teknologi ini kentang G-0 yang dihasilkan pada tahap awal sekitar 214.000 umbi mini (minituber) per tahun.
“Kami harap dengan teknologi yang kami kembangkan ini bisa meningkatkan budidaya kentang. Dengan begitu, bisa menjadi salah satu sumber ketahanan pangan nasional mengingat kentang adalah sumber pangan yang bergizi,” tuturnya.
Fauzan
Padahal di negara asalnya Amerika Selatan, kentang banyak dijadikan makanan utama seperti halnya nasi bagi kebanyakan warga Indonesia. Sosio kultural yang berbeda antara Indonesia dengan Amerika Selatan menjadi faktor penting kenapa kentang tidak jadi makanan utama. Selain itu, mahalnya harga kentang menjadi memicu rendahnya konsumsi kentang di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tingkat produksi yang masih rendah pula.
Hal itu juga yang melatarbelakangi PT East West Seed Indonesia (Ewindo) mengembangkan produksi kentang dengan sistem aeroponik. Menurut Program Director Syngenta Foundation Teddy H Tambu, teknologi aeroponik sudah banyak dikembangkan di Korea Selatan. Peralatan yang dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi aeroponik ini tak terlalu sulit di antaranya dibutuhkan lokasi dengan ketinggian dan suhu udara yang sesuai dengan karakter sayuran kentang.
Kemudian dibuat submodel yang bentuknya memanjang dan sesuai dengan keinginan atau luas lahan. Di Desa Tugu Mukti, submodel dibuat memanjang dengan ukuran sekitar 1,5 x 18 meter dari besi atau penyangga yang kuat. Untuk media tanamannya, dipilih styrofoam yang dilubangi dengan diameter 1-2 sentimeter yang kemudian dimasukkan paralon dengan panjang 5 cm.
Dalam paralon inilah bibit kentang dimasukkan. Sebelum bibit dimasukkan ke dalam paralon, untuk penyangga, dibelitkan busa berukuran sekitar 2,5 cm. Setelah dimasukkan, akan terlihat dari bawah styrofoam akar benih menjuntai ke bawah. “Suhu di dalam area ini harus diukur setiap hari dan setiap empat jam sekali. Dan dipastikan harus stabil tidak boleh kurang dari 15 derajat dan tidak lebih dari 30 derajat celcius,” kata Teddy.
Tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam lokasi area budidaya benih ini. Ada dua pintu khusus yang harus dilewati dan terdapat tempat khusus meletakkan alas kaki yang sudah diberi cairan khusus. Setelah itu, cuci tangan dengan sabun dan disemprotkan alkohol lalu mengenakan sarung tangan sekali pakai dan masker bagi perokok.
Sebelum masuk, harus mengenakan pakaian dan sandal khusus, setelah itu baru masuk melalui pintu lain yang juga bagian bawahnya terdapat cairan khusus yang harus diinjak sebelum masuk ke area benih. “Prosedur seperti ini harus dilakukan agar hasil benih sesuai harapan yakni berkualitas dan bebas hama serta penyakit,” kata Teddy.
Managing Director PT East West Seed Indonesia (Ewindo) Glenn Pardede, persoalan utama petani kentang Indonesia saat ini adalah ketersediaan benih kentang berkualitas. Dari total kebutuhan benih kentang nasional sebesar kurang lebih 130.000 ton/tahun, ketersediaan benih berkualitas dan bersertifikat diperkirakan kurang dari 15%.
“Hal ini menjadi salah satu pemicu rendahnya produktivitas kentang nasional dengan ratarata panen 15 ton/hektare,” kata dia di area produksi aeroponik benih kentang G-0 di Desa Tugu Mukti, Cisarua, Bandung Barat, beberapa waktu lalu.
Sesuai dengan penamaannya yakni aeroponik yang berasal dari kata aero, artinya udara dan ponus artinya daya. Cara ini juga bisa dikatakan memberdayakan udara. Melalui teknologi ini kentang G-0 yang dihasilkan pada tahap awal sekitar 214.000 umbi mini (minituber) per tahun.
“Kami harap dengan teknologi yang kami kembangkan ini bisa meningkatkan budidaya kentang. Dengan begitu, bisa menjadi salah satu sumber ketahanan pangan nasional mengingat kentang adalah sumber pangan yang bergizi,” tuturnya.
Fauzan
(ftr)