Penghapusan UN Disambut Gembira
A
A
A
BANDUNG - Keputusan pemerintah pusat yang menghapus ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan disambut gembira pelajar Kota Bandung.
Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menggelar sujud syukur di Taman Alun-Alun Bandung. Ak tivis Koalisi Pendidikan Kota Bandung sekaligus Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Jawa Barat Ahmad Taufan mengatakan, sejak 2006 pihaknya berjuang menuntut pemerintah pusat mencabut UN sebagai penentu kelulusan.
Bahkan, tuntutan tersebut tidak hanya dilakukan melalui advokasi, namun juga di tempuhnya melalui jalur hukum. “Baru oleh Mendikbudasmen Anies Baswedan, tuntutan ini dipenuhi,” ungkapnya di sela-sela acara sujud syukur di Taman Alun-Alun Bandung, Jalan Asia Afri ka, Kota Bandung, kemarin.
Menurutnya, dengan tidak di jadikannya UN sebagai penentu kelulusan, siswa diharapkan lebih tenang dan fokus dalam melaksanakan ujian. Selain itu, hal ini pun diharapkan tidak berpengaruh pada penilaian akreditasi sekolah dan penilaian kinerja kepala sekolah. Pasalnya, selama ini, nilai UN menjadi salah satu penentu akreditasi sekolah dan kinerja kepala sekolah.
Ahmad menyatakan, UN sepantasnya memang hanya dijadikan pemetaan kualitas pendidikan nasional, bukan penentu kelulusan. Meskipun begitu, dia tidak mempermasalahkan jika UN tetap menjadi penentu masuk perguruan tinggi. Siswa SMKN 2 Bandung Haidar Afif Nasrulloh menilai, UN sangat tidak relevan jika dijadikan penentu kelulusan siswa sekolah kejuruan. Bahkan, kata Haidar, hal itu cenderung merugikan siswa sekolah kejuruan.
Pasalnya, dalam UN hanya 3 mata pelajaran yang diujikan yakni bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. “Untuk siswa kejuruan, mata pelajaran itu hanya sebagai basic saja. Bagi kami, ujian kompetensi keahlian itu jauh lebih penting karena menyangkut keahlian kami di dunia kerja,” paparnya.
Dia pun tidak mempermasalahkan pelaksanaan UN, namun UN jangan dijadikan penentu kelulusan. Dia menilai tidak adil jika hasil belajar selama tiga tahun hanya ditentukan ujian mata pelajaran yang tidak didalami siswa sekolah kejuruan. “Karena kami orientasinya pada dunia kerja, maka keahlian yang diperdalam, bukan teori,” jelasnya.
Senada dengan Haidar, siswa SMAN 1 Bandung Kania Altiasari pun mengaku lega. Bah kan dia berharap UN dihapuskan. Menurutnya, UN sebagai penentu kelulusan membuat dia dan rekan-rekannya tertekan. “Dengan UN, siswa tidak dihargai upaya proses belajarnya. Hanya diukur dari nilai saja, sedangkan prosesnya sama sekali tidak diapresiasi,” tutur siswa kelas 11 ini.
Dia menilai, hasil ujian akhir sekolah (UAS) sebenarnya cukup memadai dijadikan standar penentu kelulusan. “Karena pihak sekolahlah yang paling tahu dan berhak menilai siswa mulai dari proses belajarnya, hingga akhirnya ujian,” tandasnya.
Anne Rufaidah
Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menggelar sujud syukur di Taman Alun-Alun Bandung. Ak tivis Koalisi Pendidikan Kota Bandung sekaligus Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Jawa Barat Ahmad Taufan mengatakan, sejak 2006 pihaknya berjuang menuntut pemerintah pusat mencabut UN sebagai penentu kelulusan.
Bahkan, tuntutan tersebut tidak hanya dilakukan melalui advokasi, namun juga di tempuhnya melalui jalur hukum. “Baru oleh Mendikbudasmen Anies Baswedan, tuntutan ini dipenuhi,” ungkapnya di sela-sela acara sujud syukur di Taman Alun-Alun Bandung, Jalan Asia Afri ka, Kota Bandung, kemarin.
Menurutnya, dengan tidak di jadikannya UN sebagai penentu kelulusan, siswa diharapkan lebih tenang dan fokus dalam melaksanakan ujian. Selain itu, hal ini pun diharapkan tidak berpengaruh pada penilaian akreditasi sekolah dan penilaian kinerja kepala sekolah. Pasalnya, selama ini, nilai UN menjadi salah satu penentu akreditasi sekolah dan kinerja kepala sekolah.
Ahmad menyatakan, UN sepantasnya memang hanya dijadikan pemetaan kualitas pendidikan nasional, bukan penentu kelulusan. Meskipun begitu, dia tidak mempermasalahkan jika UN tetap menjadi penentu masuk perguruan tinggi. Siswa SMKN 2 Bandung Haidar Afif Nasrulloh menilai, UN sangat tidak relevan jika dijadikan penentu kelulusan siswa sekolah kejuruan. Bahkan, kata Haidar, hal itu cenderung merugikan siswa sekolah kejuruan.
Pasalnya, dalam UN hanya 3 mata pelajaran yang diujikan yakni bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. “Untuk siswa kejuruan, mata pelajaran itu hanya sebagai basic saja. Bagi kami, ujian kompetensi keahlian itu jauh lebih penting karena menyangkut keahlian kami di dunia kerja,” paparnya.
Dia pun tidak mempermasalahkan pelaksanaan UN, namun UN jangan dijadikan penentu kelulusan. Dia menilai tidak adil jika hasil belajar selama tiga tahun hanya ditentukan ujian mata pelajaran yang tidak didalami siswa sekolah kejuruan. “Karena kami orientasinya pada dunia kerja, maka keahlian yang diperdalam, bukan teori,” jelasnya.
Senada dengan Haidar, siswa SMAN 1 Bandung Kania Altiasari pun mengaku lega. Bah kan dia berharap UN dihapuskan. Menurutnya, UN sebagai penentu kelulusan membuat dia dan rekan-rekannya tertekan. “Dengan UN, siswa tidak dihargai upaya proses belajarnya. Hanya diukur dari nilai saja, sedangkan prosesnya sama sekali tidak diapresiasi,” tutur siswa kelas 11 ini.
Dia menilai, hasil ujian akhir sekolah (UAS) sebenarnya cukup memadai dijadikan standar penentu kelulusan. “Karena pihak sekolahlah yang paling tahu dan berhak menilai siswa mulai dari proses belajarnya, hingga akhirnya ujian,” tandasnya.
Anne Rufaidah
(ftr)