Tokoh Perintis Islam di Indonesia dan Pencetus Walisongo
A
A
A
SEMARANG - Tidak banyak orang yang mengenal sosok Syeh Maulana Jumadil Kubro yang makamnya berada di Jalan Yos Sudarso, Arteri Utara, Kaligawe, Kota Semarang.
Padahal, dia merupakan tokoh kunci masuk ajaran agama Islam di Indonesia. Dialah yang mencetuskan pembentukan Walisongo sebagai penyebar agama Islam. Dia pula yang mengajarkan ajaran agama Islam melalui ilmu hikmah, yakni tidak meninggalkan adat budaya Jawa dalam menegakkan syariat Islam.
Dari keturunannya lahir para ulama (aulia) dan tokohtokoh penting di berbagai daerah, termasuk di Jawa Tengah. Di antaranya para sunan yang selama ini dikenal Walisongo seperti Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Syeh Maulana Jumadil Kubro merupakan ulama dari Jeddah yang juga ahli militer dan berilmu tinggi.
Dia wafat pada 1465 M, tidak lama setelah mengunjungi anak cucunya keturunan dari Syeh Maulana Ishaq di daerah Semarang dan sekitarnya (Demak, Kalipucang Welahan Jepara). Setelah wafat, Syeh Maulana Jumadil Kubro dimakamkan di Semarang. Makam Syeh Maulana Jumadil Kubro berada di suatu kompleks kuburan yang sangat sederhana.
Menurut Ketua Pembina Yayasan Syeh Jumadil Kubro, Fajar Adi Purwoto, dalam sejarah perjuangannya, Syeh dikenal sebagai seorang wali. Dalam beberapa sumber sejarah, penyebaran agama Islam di Pulau Jawa pertama kali dilakukan Syeh pada akhir abad 14 (tahun 1399).
“Sasaran kegiatan dakwahnya yang pertama kali adalah di lingkungan Kerajaan Majapahit, yaitu daerah Trowulan, Mojokerto, yang saat itu masyarakatnya penganut kuat ajaran Hindu-Buddha,” katanya kemarin.
Kegiatan dakwah Islamiyyahnya mengalami berbagai kesulitan dan hambatan besar karena adanya kepercayaan animisme (pemujaan roh-roh nenek moyang) dan dinamisme (pemujaan benda-benda yang dianggap keramat). Kepercayaan ini sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu.
Maraknya pemujaan pada roh nenek moyang dan bendabenda keramat, hampir terjadi di kebanyakan daerah di Pulau Jawa. Karena itu, Syeh Maulana Jumadil Kubro pergi ke Kera jaan Ngerum (Turki) untuk meminta bantuan Sultan Mahmud I, menantunya sendiri.
Atas permintaan itu, Sultan Mahmud I mengundang beberapa tokoh ulama (aulia) dari wilayah Timur Tengah dan Afrika yang memiliki karomah tinggi guna membantu perjuangan Syeh Maulana Jumadil Kubro dalam menyiarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mereka terdiri atas sembilan orang ulama yang kemudian disebut Walisongo.
Syeh Maulana Jumadil Kubro merupakan pencetus gagasan pertama dibentuknya Walisongo. Kesembilan anggota Walisongo periode I ini adalah Syeh Jumadil Kubro, Syeh Maulana Ishaq, Syeh Maulana Malik Ibrahim, Syeh Maulana Maghrobiy (Sunan Geseng), Syeh Maulana Malik Isroil, Syeh Maulana Muhammad Ali Akbar, Syeh Maulana Hasanuddin, Syeh Maulana Alayuddin, dan Syeh Subakir.
“Syeh Subakir ulama dari Persia (Iran) karena keahliannya menjadi tulang punggung bagi Walisongo dalam membebaskan Tanah Jawa dari animisme dan dinamisme. Karena itu, Syeh Subakir di kalangan para hukama (ahli hikmah) di tanah Jawa dikenal dengan sebutan Pakune Tanah Jawa,” katanya.
Rombongan Walisongo periode I ini menunjuk Syeh Maulana Malik Ibrahim (putra Syeh Maulana Jumadil Kubro) sebagai mufti (pemimpin). Rombongan diberangkatkan dari Turki menuju Pulau Jawa oleh Sultan Mahmud I pada 1404 M menggunakan kapal dagang.
Setelah tiba di Jawa, mereka segera bertugas menyebarkan ajaran agama Islam menurut bidang keahlian ilmunya masingmasing. Namun, Syeh Maulana Jumadil Kubro dan para anggota Walisongo lainnya menggunakan ilmu hikmah Jawa dan ilmu hikmah Arab sebagai strateginya. “Yang kemudian strategi dakwah Islamiyah ini dikenal dengan istilah Nganggo Kelambi Loro . Artinya, adat Jawa dibawa-tidak ditinggalkan, dan syariat Islam dari Arab juga dikerjakan,” papar Fajar.
Strategi dakwah ini ternyata sangat ampuh. Dalam waktu yang relatif singkat misi penyebaran agama Islam kepada masyarakat dapat diterima dengan jalan damai, efektif, dan efisien. Sehingga akhirnya secara berlahan ajaran agama Islam bisa diterima dan menjadi keyakinan baru sebagian masyarakat Jawa.
Setelah itu, penyebaran agama Islam dilanjutkan para keturunan Syeh Maulana Jumadil Kubro. Dari bagan silsilah yang terpasang di dinding masjid kompleks makam, Syeh Maulana Jumadil Kubro ini adalah keturunan ke-17 dari Rasulullah Muhammad SAW dari pernikahan dengan Siti Chotijah.
Dari jalur putri Nabi Muhammad SAW, yakni Siti Fatimah dan suaminya, Ali Bin Abi Tholib. Syeh Maulana Jumadil Kubro dikaruniai anak berjumlah 21 orang dari pernikahan dengan Siti Fatimah Kamar Rukmi (keturunan Rasulullah SAW) dan Siti Fatimah Muchawi Binti Syeh Jafar Sodiq (Mekkah).
Dari pernikahan dengan Fatimah Kamar Rukmi melahirkan lima keturunan yang merupakan tokoh kunci penyebaran agama Islam di Indonesia. Mereka adalah Maulana Sultan Tajudinahmudil Kubro, Maulana Muhyidin Muhamadil Kubro, Siti Rakimah (Istri Sultan Mahmud I), Maulana Abu Ahmat Ishaq, dan Maulana Abu Ali Ibrahim.
M Abduh
Padahal, dia merupakan tokoh kunci masuk ajaran agama Islam di Indonesia. Dialah yang mencetuskan pembentukan Walisongo sebagai penyebar agama Islam. Dia pula yang mengajarkan ajaran agama Islam melalui ilmu hikmah, yakni tidak meninggalkan adat budaya Jawa dalam menegakkan syariat Islam.
Dari keturunannya lahir para ulama (aulia) dan tokohtokoh penting di berbagai daerah, termasuk di Jawa Tengah. Di antaranya para sunan yang selama ini dikenal Walisongo seperti Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Syeh Maulana Jumadil Kubro merupakan ulama dari Jeddah yang juga ahli militer dan berilmu tinggi.
Dia wafat pada 1465 M, tidak lama setelah mengunjungi anak cucunya keturunan dari Syeh Maulana Ishaq di daerah Semarang dan sekitarnya (Demak, Kalipucang Welahan Jepara). Setelah wafat, Syeh Maulana Jumadil Kubro dimakamkan di Semarang. Makam Syeh Maulana Jumadil Kubro berada di suatu kompleks kuburan yang sangat sederhana.
Menurut Ketua Pembina Yayasan Syeh Jumadil Kubro, Fajar Adi Purwoto, dalam sejarah perjuangannya, Syeh dikenal sebagai seorang wali. Dalam beberapa sumber sejarah, penyebaran agama Islam di Pulau Jawa pertama kali dilakukan Syeh pada akhir abad 14 (tahun 1399).
“Sasaran kegiatan dakwahnya yang pertama kali adalah di lingkungan Kerajaan Majapahit, yaitu daerah Trowulan, Mojokerto, yang saat itu masyarakatnya penganut kuat ajaran Hindu-Buddha,” katanya kemarin.
Kegiatan dakwah Islamiyyahnya mengalami berbagai kesulitan dan hambatan besar karena adanya kepercayaan animisme (pemujaan roh-roh nenek moyang) dan dinamisme (pemujaan benda-benda yang dianggap keramat). Kepercayaan ini sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu.
Maraknya pemujaan pada roh nenek moyang dan bendabenda keramat, hampir terjadi di kebanyakan daerah di Pulau Jawa. Karena itu, Syeh Maulana Jumadil Kubro pergi ke Kera jaan Ngerum (Turki) untuk meminta bantuan Sultan Mahmud I, menantunya sendiri.
Atas permintaan itu, Sultan Mahmud I mengundang beberapa tokoh ulama (aulia) dari wilayah Timur Tengah dan Afrika yang memiliki karomah tinggi guna membantu perjuangan Syeh Maulana Jumadil Kubro dalam menyiarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mereka terdiri atas sembilan orang ulama yang kemudian disebut Walisongo.
Syeh Maulana Jumadil Kubro merupakan pencetus gagasan pertama dibentuknya Walisongo. Kesembilan anggota Walisongo periode I ini adalah Syeh Jumadil Kubro, Syeh Maulana Ishaq, Syeh Maulana Malik Ibrahim, Syeh Maulana Maghrobiy (Sunan Geseng), Syeh Maulana Malik Isroil, Syeh Maulana Muhammad Ali Akbar, Syeh Maulana Hasanuddin, Syeh Maulana Alayuddin, dan Syeh Subakir.
“Syeh Subakir ulama dari Persia (Iran) karena keahliannya menjadi tulang punggung bagi Walisongo dalam membebaskan Tanah Jawa dari animisme dan dinamisme. Karena itu, Syeh Subakir di kalangan para hukama (ahli hikmah) di tanah Jawa dikenal dengan sebutan Pakune Tanah Jawa,” katanya.
Rombongan Walisongo periode I ini menunjuk Syeh Maulana Malik Ibrahim (putra Syeh Maulana Jumadil Kubro) sebagai mufti (pemimpin). Rombongan diberangkatkan dari Turki menuju Pulau Jawa oleh Sultan Mahmud I pada 1404 M menggunakan kapal dagang.
Setelah tiba di Jawa, mereka segera bertugas menyebarkan ajaran agama Islam menurut bidang keahlian ilmunya masingmasing. Namun, Syeh Maulana Jumadil Kubro dan para anggota Walisongo lainnya menggunakan ilmu hikmah Jawa dan ilmu hikmah Arab sebagai strateginya. “Yang kemudian strategi dakwah Islamiyah ini dikenal dengan istilah Nganggo Kelambi Loro . Artinya, adat Jawa dibawa-tidak ditinggalkan, dan syariat Islam dari Arab juga dikerjakan,” papar Fajar.
Strategi dakwah ini ternyata sangat ampuh. Dalam waktu yang relatif singkat misi penyebaran agama Islam kepada masyarakat dapat diterima dengan jalan damai, efektif, dan efisien. Sehingga akhirnya secara berlahan ajaran agama Islam bisa diterima dan menjadi keyakinan baru sebagian masyarakat Jawa.
Setelah itu, penyebaran agama Islam dilanjutkan para keturunan Syeh Maulana Jumadil Kubro. Dari bagan silsilah yang terpasang di dinding masjid kompleks makam, Syeh Maulana Jumadil Kubro ini adalah keturunan ke-17 dari Rasulullah Muhammad SAW dari pernikahan dengan Siti Chotijah.
Dari jalur putri Nabi Muhammad SAW, yakni Siti Fatimah dan suaminya, Ali Bin Abi Tholib. Syeh Maulana Jumadil Kubro dikaruniai anak berjumlah 21 orang dari pernikahan dengan Siti Fatimah Kamar Rukmi (keturunan Rasulullah SAW) dan Siti Fatimah Muchawi Binti Syeh Jafar Sodiq (Mekkah).
Dari pernikahan dengan Fatimah Kamar Rukmi melahirkan lima keturunan yang merupakan tokoh kunci penyebaran agama Islam di Indonesia. Mereka adalah Maulana Sultan Tajudinahmudil Kubro, Maulana Muhyidin Muhamadil Kubro, Siti Rakimah (Istri Sultan Mahmud I), Maulana Abu Ahmat Ishaq, dan Maulana Abu Ali Ibrahim.
M Abduh
(ftr)