Sarinah Referensi Anak Muda
A
A
A
YOGYAKARTA - Sekian lama menghilang, buku berjudul Sarinah, Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia karya Ir Soekarno kembali muncul.
Lewat sosoknya itu diharapkan bisa menjadi referensi bagi generasi muda. Terutama dalam menyikapi nasib dan kehidupan seorang perempuan yang kerap dianggap remeh dan banyak berdiam di rumah pada zaman itu.
“Ini menarik, sebenarnya buku ini sudah hilang dari peredaran. (Dengan kemunculannya kembali) biar menjadi referensi bagi anak-anak sekarang. Terutama terhadap bukubuku zaman perang dan lainnya,” ujar Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu kepada para peserta dalam sesi diskusi buku Sarinah di Publisher Outlet Planet Bookstore Sleman belum lama ini.
Menurutnya, ihwal buku ini di beri nama Sarinah karena dia merupakan sosok dekat dan kerap membantu maupun melaya ni Ir Soekarno, Presiden RI Pertama, ketika kecil. Lewat buku ini, Soekarno ingin menunjukkan keberadaan perempuan miskin yang mesti dibantu dan di dorong supaya berdaya.
“Sebenarnya cita-cita Bung Karno adalah masyarakat sosialis. Di mana tidak ada penindasan, perempuan tidak dibebani dengan pekerjaan domestik, dan dilayani oleh negara seperti makan. Bayangan Bung Karno, masyarakat sosialis menjadi tanggung jawab negara. Buku ini ditulis beliau tahun 1947, karena saat itu Indonesia baru merdeka,” katanya.
Buku ini juga mengajarkan tentang adanya kesetaraan kepada perempuan. Selain itu, supaya ada keseimbangan peran antara laki-laki maupun perempuan hingga kemudian bisa bekerja sama satu sama lain.
“Nama Sarinah dalam bayangan saya mencirikan buruh tani marhaen dan menunjukkan dukungan terhadap wong cilik. Adanya gerakan feminis di Eropa dan Amerika, kebanyakan yang membela perempuan kelas menengah, lalu perempuan buruh atau tani nggak bergerak kenapa, dari sini kemudian menyoroti hal itu,” kata dia.
Meski kehidupan perempuan di Amerika dan Eropa terlalu sekuler dan liberal, namun Soekarno tidak ingin menempatkan perempuan seperti burung dalam sangkar emas dan tidak mau perempuan itu bodoh. Seorang perempuan pun harus pandai, tapi juga tidak kebablasan.
Bung Karno ingin mewujudkan masyarakat sosialis, khususnya sosialis perempuan Indonesia. Dengan begitu, tidak ada penindasan dan perempuan tidak perlu melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci dan memasak. Negara bisa siapkan masakan untuk keluarga dan perempuan harus bebas keluar dari rumah.
Lain halnya dengan Mikael, siswa SMA Kolese De Britto, yang menilai berdiamnya perempuan di rumah tidak lepas dari wujud kasih sayang berlebihan dari seorang laki-laki. Dalam hal ini dia mengaku kagum dengan sosok Sarinah, yakni seorang pengasuh mampu menginspirasi Soekarno yang kharismatik.
“Saya cukup tertarik, sosok Soekarno yang tertarik dan perhatian wanita yang saat itu dianggap remeh. Saya melihat dari hatinya paling dalam memiliki semacam keprihatinan terhadap nasib wanita di Indonesia saat itu. Ketika beliau kunjungi rumah temannya, yang saat itu beliau lihat sosok istrinya ada di dalam, wanita itu bukan di kekang, tapi lebih kepada sosok laki-laki yang beri kasih sayang berlebih kepada sosok wanita dengan menjaga sebaik-baiknya.
Istilah sekarang mungkin posesif,” kaat Mikael. Hal itu, lanjut dia, disebutkan dalam buku bahwa wanita dianggap sebuah mutiara yang harus dilindungi, dan jangan sampai lecet sedikit pun. Menurutnya wajar bila laki-laki memiliki posisi lebih tinggi dari perempuan. Karena pada norma saat itu akan terkesan aneh apabila perempuan memimpin. Meski demikian, lewat buku ini dirinya bisa mengambil pelajaran bahwa siapa pun laki-laki dan perempuan itu memiliki kesempatan sama untuk hidup di dunia.
Penulis sekaligus Guru SMA Kolese De Britto, J Sumardianta menambahkan, penggunaan bahasa dalam buku ini sangatlah indah dan nyaris sudah tidak digunakan lagi pada saat ini, yang isinya lebih mengangkat akan sosok perempuan pengasuhnya.
Siti Estuningsih
Lewat sosoknya itu diharapkan bisa menjadi referensi bagi generasi muda. Terutama dalam menyikapi nasib dan kehidupan seorang perempuan yang kerap dianggap remeh dan banyak berdiam di rumah pada zaman itu.
“Ini menarik, sebenarnya buku ini sudah hilang dari peredaran. (Dengan kemunculannya kembali) biar menjadi referensi bagi anak-anak sekarang. Terutama terhadap bukubuku zaman perang dan lainnya,” ujar Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu kepada para peserta dalam sesi diskusi buku Sarinah di Publisher Outlet Planet Bookstore Sleman belum lama ini.
Menurutnya, ihwal buku ini di beri nama Sarinah karena dia merupakan sosok dekat dan kerap membantu maupun melaya ni Ir Soekarno, Presiden RI Pertama, ketika kecil. Lewat buku ini, Soekarno ingin menunjukkan keberadaan perempuan miskin yang mesti dibantu dan di dorong supaya berdaya.
“Sebenarnya cita-cita Bung Karno adalah masyarakat sosialis. Di mana tidak ada penindasan, perempuan tidak dibebani dengan pekerjaan domestik, dan dilayani oleh negara seperti makan. Bayangan Bung Karno, masyarakat sosialis menjadi tanggung jawab negara. Buku ini ditulis beliau tahun 1947, karena saat itu Indonesia baru merdeka,” katanya.
Buku ini juga mengajarkan tentang adanya kesetaraan kepada perempuan. Selain itu, supaya ada keseimbangan peran antara laki-laki maupun perempuan hingga kemudian bisa bekerja sama satu sama lain.
“Nama Sarinah dalam bayangan saya mencirikan buruh tani marhaen dan menunjukkan dukungan terhadap wong cilik. Adanya gerakan feminis di Eropa dan Amerika, kebanyakan yang membela perempuan kelas menengah, lalu perempuan buruh atau tani nggak bergerak kenapa, dari sini kemudian menyoroti hal itu,” kata dia.
Meski kehidupan perempuan di Amerika dan Eropa terlalu sekuler dan liberal, namun Soekarno tidak ingin menempatkan perempuan seperti burung dalam sangkar emas dan tidak mau perempuan itu bodoh. Seorang perempuan pun harus pandai, tapi juga tidak kebablasan.
Bung Karno ingin mewujudkan masyarakat sosialis, khususnya sosialis perempuan Indonesia. Dengan begitu, tidak ada penindasan dan perempuan tidak perlu melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci dan memasak. Negara bisa siapkan masakan untuk keluarga dan perempuan harus bebas keluar dari rumah.
Lain halnya dengan Mikael, siswa SMA Kolese De Britto, yang menilai berdiamnya perempuan di rumah tidak lepas dari wujud kasih sayang berlebihan dari seorang laki-laki. Dalam hal ini dia mengaku kagum dengan sosok Sarinah, yakni seorang pengasuh mampu menginspirasi Soekarno yang kharismatik.
“Saya cukup tertarik, sosok Soekarno yang tertarik dan perhatian wanita yang saat itu dianggap remeh. Saya melihat dari hatinya paling dalam memiliki semacam keprihatinan terhadap nasib wanita di Indonesia saat itu. Ketika beliau kunjungi rumah temannya, yang saat itu beliau lihat sosok istrinya ada di dalam, wanita itu bukan di kekang, tapi lebih kepada sosok laki-laki yang beri kasih sayang berlebih kepada sosok wanita dengan menjaga sebaik-baiknya.
Istilah sekarang mungkin posesif,” kaat Mikael. Hal itu, lanjut dia, disebutkan dalam buku bahwa wanita dianggap sebuah mutiara yang harus dilindungi, dan jangan sampai lecet sedikit pun. Menurutnya wajar bila laki-laki memiliki posisi lebih tinggi dari perempuan. Karena pada norma saat itu akan terkesan aneh apabila perempuan memimpin. Meski demikian, lewat buku ini dirinya bisa mengambil pelajaran bahwa siapa pun laki-laki dan perempuan itu memiliki kesempatan sama untuk hidup di dunia.
Penulis sekaligus Guru SMA Kolese De Britto, J Sumardianta menambahkan, penggunaan bahasa dalam buku ini sangatlah indah dan nyaris sudah tidak digunakan lagi pada saat ini, yang isinya lebih mengangkat akan sosok perempuan pengasuhnya.
Siti Estuningsih
(ftr)