Banyak Mahasiswa Datang untuk Meneliti
A
A
A
Sekilas mi ayam ini sedikit aneh. Berwarna hijau layaknya cendol yang dijual di jalanan saat panas menyengat. Namun jangan salah, begitu mencicipi mi hijau ini, lidah terasa dimanjakan dengan serat sayuran.
Jika Anda termasuk orang yang tidak suka makan sayur secara langsung, mi buatan Sundar, 34, yang dijual di warung tenda di tepi Jalan Argolobang Yogyakarta, tepatnya sebelah barat POM bensin Lempuyangan, ini bisa jadi alternatif konsumsi sayur-mayur.
Seperti dengan warnanya, mi buatannya ini dinamakan mi ayam hijau. Berdiri sejak 2010 silam, berawal ketika Sundar mencoba berinovasi berjualan mi ayam yang berbeda dari yang lainnya. “Sejak 1996 lalu sudah membantu saudara berjualan mi ayam. Tapi masih keliling dan mi biasa,” kata Sundar.
Karena ingin mencoba mendirikan usaha sendiri, maka dirinya langsung berinovasi membuat mi berbahan dasar serat sayuran. Awalnya, ia membuat mi berwarna hijau dan oranye. Untuk mi hijau, bahan dasarnya dari serat sayur sawi. Sawi sebanyak 2,5 kilogram, yang sudah dibersihkan kemudian diblender. Sampai keluar serat airnya lalu dicampurkan dengan adonan dari telur, garam, dan tepung terigu.
“Pembuatan mi ini awalnya coba-coba, hanya belajar sendiri saja,” katanya. Sementara untuk mi berwarna oranye, cara pembuatannya tak terlalu banyak berbeda. Hanya di bahan dasarnya, yaitu menggunakan wortel. Namun, karena terlalu repot, mi oranye ini dijual hanya bertahan beberapa bulan. Ia memilih menyajikan mi dengan satu menu.
“Tidak ada yang membantu. Istri sibuk di rumah mengurusi anak yang masih kecil,” kata bapak lima anak ini. Dengan memiliki konsumen yang mayoritas pelanggan tetap, mi ayam hijau buatannya pun bertahan hingga kini. Setiap hari, warung yang dibukanya mulai pukul 10.00 hingga 17.00 WIB, ini mampu menghabiskan sekitar 60 mangkuk dengan harga Rp7.000 per porsi. “Banyak pembeli sudah langganan, baik yang memang tak suka makan sayur ataupun yang suka,” katanya.
Karena uniknya, tak hanya didatangi mereka yang ingin mencicipi mi. Namun, mahasiswa yang sedang mencari bahan penelitian atau pedagang mi, juga pernah datang hanya sekadar mengetahui resep-resepnya.
“Yang datang ke rumah untuk melihat proses pembuatannya juga ada,” kata pria asli Purowodadi yang tinggal di Pengok, Gondokusuman, Yogyakarta ini. Salah satu pengunjungnya, Hapsari, 30, warga Kalasan, Sleman, mengatakan, cukup nikmat meskipun baru sekali memakan mi ayam hijau ini. “Serat sayurnya cukup terasa. Agak sedikit tawar,” katanya.
Ridho hidayat
Jika Anda termasuk orang yang tidak suka makan sayur secara langsung, mi buatan Sundar, 34, yang dijual di warung tenda di tepi Jalan Argolobang Yogyakarta, tepatnya sebelah barat POM bensin Lempuyangan, ini bisa jadi alternatif konsumsi sayur-mayur.
Seperti dengan warnanya, mi buatannya ini dinamakan mi ayam hijau. Berdiri sejak 2010 silam, berawal ketika Sundar mencoba berinovasi berjualan mi ayam yang berbeda dari yang lainnya. “Sejak 1996 lalu sudah membantu saudara berjualan mi ayam. Tapi masih keliling dan mi biasa,” kata Sundar.
Karena ingin mencoba mendirikan usaha sendiri, maka dirinya langsung berinovasi membuat mi berbahan dasar serat sayuran. Awalnya, ia membuat mi berwarna hijau dan oranye. Untuk mi hijau, bahan dasarnya dari serat sayur sawi. Sawi sebanyak 2,5 kilogram, yang sudah dibersihkan kemudian diblender. Sampai keluar serat airnya lalu dicampurkan dengan adonan dari telur, garam, dan tepung terigu.
“Pembuatan mi ini awalnya coba-coba, hanya belajar sendiri saja,” katanya. Sementara untuk mi berwarna oranye, cara pembuatannya tak terlalu banyak berbeda. Hanya di bahan dasarnya, yaitu menggunakan wortel. Namun, karena terlalu repot, mi oranye ini dijual hanya bertahan beberapa bulan. Ia memilih menyajikan mi dengan satu menu.
“Tidak ada yang membantu. Istri sibuk di rumah mengurusi anak yang masih kecil,” kata bapak lima anak ini. Dengan memiliki konsumen yang mayoritas pelanggan tetap, mi ayam hijau buatannya pun bertahan hingga kini. Setiap hari, warung yang dibukanya mulai pukul 10.00 hingga 17.00 WIB, ini mampu menghabiskan sekitar 60 mangkuk dengan harga Rp7.000 per porsi. “Banyak pembeli sudah langganan, baik yang memang tak suka makan sayur ataupun yang suka,” katanya.
Karena uniknya, tak hanya didatangi mereka yang ingin mencicipi mi. Namun, mahasiswa yang sedang mencari bahan penelitian atau pedagang mi, juga pernah datang hanya sekadar mengetahui resep-resepnya.
“Yang datang ke rumah untuk melihat proses pembuatannya juga ada,” kata pria asli Purowodadi yang tinggal di Pengok, Gondokusuman, Yogyakarta ini. Salah satu pengunjungnya, Hapsari, 30, warga Kalasan, Sleman, mengatakan, cukup nikmat meskipun baru sekali memakan mi ayam hijau ini. “Serat sayurnya cukup terasa. Agak sedikit tawar,” katanya.
Ridho hidayat
(ars)