Panas-Hujan, Berkursi Roda 10 Km ke Sekolah
A
A
A
BANTUL - Gigih dan berprestasi. Ini sosok Edi Priyanto, siswa SMP 2 Bantul yang menderita penyakit ostogenesis imverfekta . Suatu penyakit langka yang menyebabkan tulang rapuh sehingga mudah patah ketika terbentur.
Dibayang-bayangi ancaman tulang patah, semangat Edi bersekolah tak padam. Walaupun dia harus menaklukkan panas dan hujan dengan berkursi roda sepanjang 10 kilometer (km) dari rumahnya di Dusun Manggung, Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, menuju sekolahnya di Jalan Raya Bantul 2 /III. Sudah dua tahun, Edi Priyanto, siswa kelas VII, ini menyusuri Jalan Parangtritis sejauh 5 km menggunakan kursi roda.
Hujan ataupun panas tak menyurutkan semangatnya menyusuri Jalan Parangtritis serta jalan perkampungan menuju rumah maupun sekolah. Edi sejak usia 1,5 tahun divonis dokter menderita penyakit osteogenesis imverfekta . Akibat penyakit ini, dia terpaksa duduk di kursi roda untuk membantunya beraktivitas.
Awalnya, Edi bisa berjalan normal meskipun tertatih-tatih karena panjang kakinya tidak sama. Namun, sejak naik kelas III SD, penyakit ini memaksanya berhenti sekolah selama dua tahun. Kini tercatat ada empat tulang pada tubuhnya yang patah karena keroposnya. Dia pun sadar tidak ingin terlalu ngoyo beraktivitas karena takut tulang-tulangnya patah.
Kendati demikian, bocah kelahiran 30 Oktober 1997 ini tetap bersemangat menimba ilmu. Edi tidak ingin kekurangan fisik tubuhnya menghalangi usaha menuntut ilmu. “Saya ingin sekolah yang tinggi agar bisa membantu ibu,” tuturnya ketika ditemui di sekolahnya di Jalan Parangtritis Km 6, Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, kemarin.
Untuk pergi ke sekolah, dia sudah bangun sejak azan subuh. Edi berangkat dari rumahnya di Dusun Manggung sekitar pukul 05.00 WIB. Setiap hari dirinya menyusuri jalan dari kampung menuju Jalan Parangtritis untuk ke sekolah. Satu tanjakan dengan kemiringan 30 derajat di pintu masuk kampung harus dilalui sebelum sampai di Jalan Parangtritis.
Sekitar pukul 06.00 WIB, dia sudah sampai di sekolah mendahului petugas kebersihan sekolah tersebut. Ramainya Jalan Parangtritis yang merupakan jalan utama menuju Pantai Parangtritits tak menyurutkan semangat. Apalagi sampai membuatnya takut. Meskipun ketika menyeberang jalan, Edi harus menunggu hingga benar-benar sepi.
Terkadang sekitar 10 menit untuk sekadar menyeberang karena Jalan Parangtritis selalu dilewati bus-bus besar. Pandangan ratusan orang yang selalu dilewati di jalan tidak membuatnya malu. Karena bagi dia, sekolah itu penting untuk mencapai citacitanya menjadi seorang teknisi komputer andal.
Selain itu, menjadi anak yang dan bisa membantu ibu, Sumiyah, yang sehari-hari mengais rezeki dari membuat dinding (anyaman) bambu dan buruh cuci. “Saya yakin kalau kita ada kemauan pasti ada jalan,” ucapnya yakin. Gambaran bagaimana Edi ingin hidup mandiri tergambar dari apa yang tersimpan dalam kursi rodanya.
Di bawah jok kursi rodanya ada seperangkat kunci (peralatan bengkel) yang sewaktu-waktu digunakannya kalau alat transportasinya itu rusak di jalan. Selain seperangkat kunci, di bawah joknya juga ada mantrol (jas hujan) yang digunakan saat hujan turun. Sementara di belakang kursi rodanya ada botol seukuran 1 liter selalu diisi kopi.
Dia menegaskan tidak ada alasan membuatnya tidak berangkat ke sekolah. Bahkan saat kondisi badannya kurang mendukung, Edi bersikeras berangkat ke sekolah. Seorang guru di SMP 2 Sewon, Tatik Trihandayani, mengakui semangat Edi belajar memang luar biasa. Meski di sekolah ini ada sejumlah teman Edi yang juga mengalami kekurangan, siswanya ini tergolong anak mandiri dengan semangat belajar tinggi.
Dia menceritakan hampir setiap hari Edi selalu melewati depan rumahnya di Jalan Parangtritis Km 6,5, tepatnya depan Kampus ISI Yogyakarta. “Jam 6 (pagi) itu sudah lewat depan rumah saya. Saya baru selesai menyapu halaman, dia sudah lewat depan rumah,” ujarnya. Di sekolah, prestasinya di atas rata-rata dengan temantemannya. Semester terakhir kemarin, Edi berhasil menduduki rangking lima di kelasnya.
Semangatnya yang tak pantang menyerah itu pula membuat bangga guru-guru di SMP 2 Bantul. “Edi tidak mau dikasihani dan tidak ingin dibedakan dengan siswa yang lain bisa menjadi teladan di kelasnya,” katanya.
Erfanto Linangkung
Dibayang-bayangi ancaman tulang patah, semangat Edi bersekolah tak padam. Walaupun dia harus menaklukkan panas dan hujan dengan berkursi roda sepanjang 10 kilometer (km) dari rumahnya di Dusun Manggung, Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, menuju sekolahnya di Jalan Raya Bantul 2 /III. Sudah dua tahun, Edi Priyanto, siswa kelas VII, ini menyusuri Jalan Parangtritis sejauh 5 km menggunakan kursi roda.
Hujan ataupun panas tak menyurutkan semangatnya menyusuri Jalan Parangtritis serta jalan perkampungan menuju rumah maupun sekolah. Edi sejak usia 1,5 tahun divonis dokter menderita penyakit osteogenesis imverfekta . Akibat penyakit ini, dia terpaksa duduk di kursi roda untuk membantunya beraktivitas.
Awalnya, Edi bisa berjalan normal meskipun tertatih-tatih karena panjang kakinya tidak sama. Namun, sejak naik kelas III SD, penyakit ini memaksanya berhenti sekolah selama dua tahun. Kini tercatat ada empat tulang pada tubuhnya yang patah karena keroposnya. Dia pun sadar tidak ingin terlalu ngoyo beraktivitas karena takut tulang-tulangnya patah.
Kendati demikian, bocah kelahiran 30 Oktober 1997 ini tetap bersemangat menimba ilmu. Edi tidak ingin kekurangan fisik tubuhnya menghalangi usaha menuntut ilmu. “Saya ingin sekolah yang tinggi agar bisa membantu ibu,” tuturnya ketika ditemui di sekolahnya di Jalan Parangtritis Km 6, Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, kemarin.
Untuk pergi ke sekolah, dia sudah bangun sejak azan subuh. Edi berangkat dari rumahnya di Dusun Manggung sekitar pukul 05.00 WIB. Setiap hari dirinya menyusuri jalan dari kampung menuju Jalan Parangtritis untuk ke sekolah. Satu tanjakan dengan kemiringan 30 derajat di pintu masuk kampung harus dilalui sebelum sampai di Jalan Parangtritis.
Sekitar pukul 06.00 WIB, dia sudah sampai di sekolah mendahului petugas kebersihan sekolah tersebut. Ramainya Jalan Parangtritis yang merupakan jalan utama menuju Pantai Parangtritits tak menyurutkan semangat. Apalagi sampai membuatnya takut. Meskipun ketika menyeberang jalan, Edi harus menunggu hingga benar-benar sepi.
Terkadang sekitar 10 menit untuk sekadar menyeberang karena Jalan Parangtritis selalu dilewati bus-bus besar. Pandangan ratusan orang yang selalu dilewati di jalan tidak membuatnya malu. Karena bagi dia, sekolah itu penting untuk mencapai citacitanya menjadi seorang teknisi komputer andal.
Selain itu, menjadi anak yang dan bisa membantu ibu, Sumiyah, yang sehari-hari mengais rezeki dari membuat dinding (anyaman) bambu dan buruh cuci. “Saya yakin kalau kita ada kemauan pasti ada jalan,” ucapnya yakin. Gambaran bagaimana Edi ingin hidup mandiri tergambar dari apa yang tersimpan dalam kursi rodanya.
Di bawah jok kursi rodanya ada seperangkat kunci (peralatan bengkel) yang sewaktu-waktu digunakannya kalau alat transportasinya itu rusak di jalan. Selain seperangkat kunci, di bawah joknya juga ada mantrol (jas hujan) yang digunakan saat hujan turun. Sementara di belakang kursi rodanya ada botol seukuran 1 liter selalu diisi kopi.
Dia menegaskan tidak ada alasan membuatnya tidak berangkat ke sekolah. Bahkan saat kondisi badannya kurang mendukung, Edi bersikeras berangkat ke sekolah. Seorang guru di SMP 2 Sewon, Tatik Trihandayani, mengakui semangat Edi belajar memang luar biasa. Meski di sekolah ini ada sejumlah teman Edi yang juga mengalami kekurangan, siswanya ini tergolong anak mandiri dengan semangat belajar tinggi.
Dia menceritakan hampir setiap hari Edi selalu melewati depan rumahnya di Jalan Parangtritis Km 6,5, tepatnya depan Kampus ISI Yogyakarta. “Jam 6 (pagi) itu sudah lewat depan rumah saya. Saya baru selesai menyapu halaman, dia sudah lewat depan rumah,” ujarnya. Di sekolah, prestasinya di atas rata-rata dengan temantemannya. Semester terakhir kemarin, Edi berhasil menduduki rangking lima di kelasnya.
Semangatnya yang tak pantang menyerah itu pula membuat bangga guru-guru di SMP 2 Bantul. “Edi tidak mau dikasihani dan tidak ingin dibedakan dengan siswa yang lain bisa menjadi teladan di kelasnya,” katanya.
Erfanto Linangkung
(ftr)