Fenomena Desa yang Hilang di Malinau
A
A
A
MALINAU - Ada fenomena unik yang terjadi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara). Bukan fenomena alam, maupun keunikan dari kawasan perbatasan yang lazim diberitakan itu. Di kabupaten ini ada fenomena lain yakni fenomena desa yang hilang.
Di kabupaten yang saat ini dipimpin Bupati Yansen TP ini, fenomena desa yang hilang bukan kisah fiktif, namun memang sebuah realitas.
Desa-desa yang dulunya berdiri dilengkapi pemukiman penduduk, warga, dan sejumlah aktivitas desa, perlahan mulai terancam hilang.
Bahkan ada beberapa desa, dalam sejumlah catatan, benar-benar hilang, ditinggal penduduknya.
Namun itu dulu, saat dimana model kehidupan warga masih menggunakan ladang berpindah. Mereka akan selalu pindah, untuk membuka ladang baru.
Di era modern ini, ancaman desa yang hilang ternyata masih saja terjadi di Kabupaten Malinau.
Bukan karena kebiasaan berpindah ladang, namun lebih banyak karena pola kelahiran dan urbanisasi.
Dalam sebuah perbincangan dengan Sindonews.com Yansen TP menguraikan fenomena yang menjadi keluh kesahnya ini.
Wajar saja dia galau soal ini. Masalahnya, ini menyangkut warisan budaya yang harus dipertahankan sebagai khazanah budaya bangsa. Yansen suka menyebutnya dengan istilah lost generation.
“Ada kecenderungan warga di sejumlah desa, para ibu-ibunya tidak hamil lagi. Kami tidak tahu apakah karena obat atau karena apa, tapi mereka tidak bisa hamil lagi,” katanya.
Akibatnya, angka pertumbuhan penduduk di sejumlah desa di Malinau sangat rendah. Bahkan ada yang sampai angka nol persen.
Ditambah lagi, sejumlah warga desa mulai menua tanpa ada regenerasi. Fakta ini akan membuat desa-desa itu akan hilang, cepat atau lambat.
Ancaman paling nyata dari fenomena desa yang hilang ini tentu saja tak ada pewaris budaya, penerus leluhur.
“Kalau generasi penerus tidak ada, budaya akan hilang. Budaya itu kalau tidak punya anak, siapa yang akan meneruskan. Logika sederhana bahwa anak itu adalah generasi penerus masa depan bangsa. Kalau generasi hilang, siapa yang mewarisi?,” kata Yansen yang merupakan keturunan Suku Dayak Lundayeh.
Dia pun berkisah, dalam sejumlah kegiatan blusukannya ke desa-desa di pedalaman dan perbatasan, banyak dia jumpai desa-desa yang tak memiliki banyak anak.
Bahkan, sekolah dasar yang dibangun, hanya diisi beberapa orang siswa saja. Bahkan ada kelas yang siswanya tak ada.
Pola kelahiran yang minim bahkan nyaris nol ini tak hanya menjadi fenomena Malinau. Sejumlah desa yang masuk kawasan pedalaman dan perbatasan di Kaltara juga mengalami hal serupa.
Perlu kebijakan lain untuk mencegah hal ini. Yansen mengakui, pola pertumbuhan penduduk di Malinau ini karena pendatang, bukan kelahiran.
“Ada kecamatan di Malinau ini yang selama 20 tahun penduduknya bertambah. Sebelum jadi bupati, saya kan dulu jadi camat. Waktu itu penduduknya 1.700, sekarang tetap 1.700. Tak ada pertumbuhan sama sekali,” timpalnya.
Kecamatan yang dimaksud Yansen adalah Kecamatan Kayan Hilir. Fenomena ini mulai merambah ke kawasan yang lain. Baginya, ini adalah ancaman serius.
Memang benar, katanya, jika punya anak banyak bakal susah mengurusnya. Butuh biaya tinggi.
Belum lagi bagaimana menjaga kesehatan anak jika memiliki anak cukup banyak. Apalagi jika warga itu tergolong warga yang tak mampu.
“Memang benar mereka tak punya apa-apa. Jadi selalu terpikir, bagaimana kebutuhannya, bagaimana beli bajunya, kaya apa sekolahnya nanti. Jadi begitu pemikiran warga itu. jadi kecenderungannya tak mau punya anak,” ungkap Yansen.
Saat ini, karena penduduk minim, banyak desa yang benar-benar sudah hilang. Desa-desa tersebut kemudian digabung menjadi satu desa.
Bahkan saat ini ada satu desa di Malinau, namanya Desa Mentarang Baru, yang merupakan gabungan dari 13 desa.
“Ya memang tidak ada kelahiran lagi di desa itu waktu itu. Dulu desa-desa itu ramai. Sekarang kita jadikan satu,” katanya.
Cerita lainnya, Yansen menyebut ada desa yang memiliki warga dengan perawakan menarik, tampan dan cantik, berbadan besar, seperti keturunan Eropa. Kini desa dan warganya itu tidak ada. Mereka cenderung kawin dan tinggal di luar desa itu.
Dahulu, sekolah di desa itu penuh. Sekarang sekolahnya malah dijadikan sarang burung walet.
“Saya tanya kepala desanya dan dijawab dengan malu-malu. Baru ketahuan setelah saya kunjungan ke sana. Saya tanya, siswanya mana. Dia jawab, muridnya hanya lima. Kelas yang lain kosong. Tahun ini (tahun ajaran 2014/2015) siswanya ada tiga, yang pasti baru dua. Saya akhirnya tahu, siswa ketiga itu mereka paksa untuk sekolah,” cerita Yansen.
Di Desa Long Paliran, Kecamatan Pujungan, ada sekolah yang muridnya hanya satu orang. Saat ditemui Yansen, anak itu bercerita sedang menunggu gurunya. Murid satu-satunya ini menunggu gurunya yang mengajar di dulu di sekolah lain.
Untuk mengantisipasi fenomena itu, Yansen kemudian meminta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk melihat sudut pandang berbeda dari fenomena di Malinau. Keluarga sejahtera dengan dua anak bukanlah jawaban atas fenomena ini.
“Nah oleh sebab itu, kami minta pemahaman bahwa di daerah kami itu perlu yang namanya optimalisasi kelahiran. Jika ada pasangan menikah, ya melahirkanlah dulu, mumpung masih sehat,” ungkap Yansen.
Jika di daerah lain di Indonesia konsep keluarga bahagia itu berisi dua anak, di Malinau optimalisasi kelahiran bahkan dianjurkan punya lima anak. Kabupaten Malinau sendiri punya subsidi untuk setiap kelahiran anak yang lebih dari dua ini.
“Tetap kita pertimbangkan kesehatan ibunya, meski ada optimalisasi kelahiran,” tambahnya.
Pemkab Malinau sudah menekankan pada BKKBN agar sosialisasi keluarga sejahtera tidak lagi dua anak saja. Khusus Malinau, harus lebih. Karena nantinya, dikhawatirkan akan mematikan pertumbuhan Malinau ini ke depan.
Yansen juga tak terlalu banyak berharap dari program transmigrasi. Pasalnya, sebagian besar kawasan Malinau adalah kawasan Hutan Lindung Kayan Mentarang. Sebuah kawasan konservasi yang tak boleh ada kegiatan non kehutanan.
“Tapi kami welcome, silahkan datang kalau ada yang mau transmigrasi. Kami siapkan lahannya. Transmigrasi ini kan kebijakan nasional. Tapi yang lebih penting tentu saja meningkatkan pertumbuhan penduduk Malinau sendiri,” ujarnya.
Dia pun berharap, agar fenomena desa yang hilang ini bisa segera teratasi. Pembangunan infrastruktur terus dikebut agar warga desa tak lagi tergiur pindah ke daerah lainnya yang dianggap lebih maju.
Banyak program pemerintah yang ditawarkan untuk terus mempertahankan kearifan lokal di desa-desa yang ada di perbatasan Kalimantan.
Di kabupaten yang saat ini dipimpin Bupati Yansen TP ini, fenomena desa yang hilang bukan kisah fiktif, namun memang sebuah realitas.
Desa-desa yang dulunya berdiri dilengkapi pemukiman penduduk, warga, dan sejumlah aktivitas desa, perlahan mulai terancam hilang.
Bahkan ada beberapa desa, dalam sejumlah catatan, benar-benar hilang, ditinggal penduduknya.
Namun itu dulu, saat dimana model kehidupan warga masih menggunakan ladang berpindah. Mereka akan selalu pindah, untuk membuka ladang baru.
Di era modern ini, ancaman desa yang hilang ternyata masih saja terjadi di Kabupaten Malinau.
Bukan karena kebiasaan berpindah ladang, namun lebih banyak karena pola kelahiran dan urbanisasi.
Dalam sebuah perbincangan dengan Sindonews.com Yansen TP menguraikan fenomena yang menjadi keluh kesahnya ini.
Wajar saja dia galau soal ini. Masalahnya, ini menyangkut warisan budaya yang harus dipertahankan sebagai khazanah budaya bangsa. Yansen suka menyebutnya dengan istilah lost generation.
“Ada kecenderungan warga di sejumlah desa, para ibu-ibunya tidak hamil lagi. Kami tidak tahu apakah karena obat atau karena apa, tapi mereka tidak bisa hamil lagi,” katanya.
Akibatnya, angka pertumbuhan penduduk di sejumlah desa di Malinau sangat rendah. Bahkan ada yang sampai angka nol persen.
Ditambah lagi, sejumlah warga desa mulai menua tanpa ada regenerasi. Fakta ini akan membuat desa-desa itu akan hilang, cepat atau lambat.
Ancaman paling nyata dari fenomena desa yang hilang ini tentu saja tak ada pewaris budaya, penerus leluhur.
“Kalau generasi penerus tidak ada, budaya akan hilang. Budaya itu kalau tidak punya anak, siapa yang akan meneruskan. Logika sederhana bahwa anak itu adalah generasi penerus masa depan bangsa. Kalau generasi hilang, siapa yang mewarisi?,” kata Yansen yang merupakan keturunan Suku Dayak Lundayeh.
Dia pun berkisah, dalam sejumlah kegiatan blusukannya ke desa-desa di pedalaman dan perbatasan, banyak dia jumpai desa-desa yang tak memiliki banyak anak.
Bahkan, sekolah dasar yang dibangun, hanya diisi beberapa orang siswa saja. Bahkan ada kelas yang siswanya tak ada.
Pola kelahiran yang minim bahkan nyaris nol ini tak hanya menjadi fenomena Malinau. Sejumlah desa yang masuk kawasan pedalaman dan perbatasan di Kaltara juga mengalami hal serupa.
Perlu kebijakan lain untuk mencegah hal ini. Yansen mengakui, pola pertumbuhan penduduk di Malinau ini karena pendatang, bukan kelahiran.
“Ada kecamatan di Malinau ini yang selama 20 tahun penduduknya bertambah. Sebelum jadi bupati, saya kan dulu jadi camat. Waktu itu penduduknya 1.700, sekarang tetap 1.700. Tak ada pertumbuhan sama sekali,” timpalnya.
Kecamatan yang dimaksud Yansen adalah Kecamatan Kayan Hilir. Fenomena ini mulai merambah ke kawasan yang lain. Baginya, ini adalah ancaman serius.
Memang benar, katanya, jika punya anak banyak bakal susah mengurusnya. Butuh biaya tinggi.
Belum lagi bagaimana menjaga kesehatan anak jika memiliki anak cukup banyak. Apalagi jika warga itu tergolong warga yang tak mampu.
“Memang benar mereka tak punya apa-apa. Jadi selalu terpikir, bagaimana kebutuhannya, bagaimana beli bajunya, kaya apa sekolahnya nanti. Jadi begitu pemikiran warga itu. jadi kecenderungannya tak mau punya anak,” ungkap Yansen.
Saat ini, karena penduduk minim, banyak desa yang benar-benar sudah hilang. Desa-desa tersebut kemudian digabung menjadi satu desa.
Bahkan saat ini ada satu desa di Malinau, namanya Desa Mentarang Baru, yang merupakan gabungan dari 13 desa.
“Ya memang tidak ada kelahiran lagi di desa itu waktu itu. Dulu desa-desa itu ramai. Sekarang kita jadikan satu,” katanya.
Cerita lainnya, Yansen menyebut ada desa yang memiliki warga dengan perawakan menarik, tampan dan cantik, berbadan besar, seperti keturunan Eropa. Kini desa dan warganya itu tidak ada. Mereka cenderung kawin dan tinggal di luar desa itu.
Dahulu, sekolah di desa itu penuh. Sekarang sekolahnya malah dijadikan sarang burung walet.
“Saya tanya kepala desanya dan dijawab dengan malu-malu. Baru ketahuan setelah saya kunjungan ke sana. Saya tanya, siswanya mana. Dia jawab, muridnya hanya lima. Kelas yang lain kosong. Tahun ini (tahun ajaran 2014/2015) siswanya ada tiga, yang pasti baru dua. Saya akhirnya tahu, siswa ketiga itu mereka paksa untuk sekolah,” cerita Yansen.
Di Desa Long Paliran, Kecamatan Pujungan, ada sekolah yang muridnya hanya satu orang. Saat ditemui Yansen, anak itu bercerita sedang menunggu gurunya. Murid satu-satunya ini menunggu gurunya yang mengajar di dulu di sekolah lain.
Untuk mengantisipasi fenomena itu, Yansen kemudian meminta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk melihat sudut pandang berbeda dari fenomena di Malinau. Keluarga sejahtera dengan dua anak bukanlah jawaban atas fenomena ini.
“Nah oleh sebab itu, kami minta pemahaman bahwa di daerah kami itu perlu yang namanya optimalisasi kelahiran. Jika ada pasangan menikah, ya melahirkanlah dulu, mumpung masih sehat,” ungkap Yansen.
Jika di daerah lain di Indonesia konsep keluarga bahagia itu berisi dua anak, di Malinau optimalisasi kelahiran bahkan dianjurkan punya lima anak. Kabupaten Malinau sendiri punya subsidi untuk setiap kelahiran anak yang lebih dari dua ini.
“Tetap kita pertimbangkan kesehatan ibunya, meski ada optimalisasi kelahiran,” tambahnya.
Pemkab Malinau sudah menekankan pada BKKBN agar sosialisasi keluarga sejahtera tidak lagi dua anak saja. Khusus Malinau, harus lebih. Karena nantinya, dikhawatirkan akan mematikan pertumbuhan Malinau ini ke depan.
Yansen juga tak terlalu banyak berharap dari program transmigrasi. Pasalnya, sebagian besar kawasan Malinau adalah kawasan Hutan Lindung Kayan Mentarang. Sebuah kawasan konservasi yang tak boleh ada kegiatan non kehutanan.
“Tapi kami welcome, silahkan datang kalau ada yang mau transmigrasi. Kami siapkan lahannya. Transmigrasi ini kan kebijakan nasional. Tapi yang lebih penting tentu saja meningkatkan pertumbuhan penduduk Malinau sendiri,” ujarnya.
Dia pun berharap, agar fenomena desa yang hilang ini bisa segera teratasi. Pembangunan infrastruktur terus dikebut agar warga desa tak lagi tergiur pindah ke daerah lainnya yang dianggap lebih maju.
Banyak program pemerintah yang ditawarkan untuk terus mempertahankan kearifan lokal di desa-desa yang ada di perbatasan Kalimantan.
(sms)