Kejanggalan Tragedi AirAsia QZ8501

Minggu, 04 Januari 2015 - 14:51 WIB
Kejanggalan Tragedi AirAsia QZ8501
Kejanggalan Tragedi AirAsia QZ8501
A A A
PANGKALAN BUN - Hilangnya AirAsia menjadi kabar mengejutkan menjelang tutup tahun 2014. Pesawat dengan nomor penerbangan QZ8501 itu hilang kontak pada Minggu 28 Desember 2014 lalu.

Setelah dilanda kebingungan, tiga hari kemudian Basarnas menemukan serpihan-serpihan pesawat yang tersebar di Selat Karimata, 105 mil laut dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Selain serpihan, Basarnas yang dibantu tim gabungan dari TNI, Polri, dan bantuan asing itu, juga menemukan jasad-jasad penumpang AirAsia di atas perairan. Namun tim pencari belum menemukan badan pesawat yang diduga tidak jauh dari lokasi tersebut.

Hingga saat ini proses evakuasi korban dan pencarian pesawat rute Surabaya-Singapura itu terus dilakukan.

Dalam tragedi itu terdapat beberapa hal yang perlu dipertanyakan, jika tidak ingin disebut kejanggalan. Sindonews mencoba menghimpun beberapa hal yang perlu dipertanyakan tersebut.

1. 2 Menit yang Hilang Antara AirAsia dengan ATC


Direktur Safety and Standard AirNav Indonesia Wisnu Darjono mengakui ada kelambanan pihak Air Traffic Control (ATC) merespons permintaan Kapten Iriyanto di komunikasi terakhir dengan AirAsia QZ8501.

Menurut Wisnu, Kapten Iriyanto sempat meminta izin ATC agar pesawat yang dikemudikannya naik ke ketinggian di 38 ribu kaki dari ketinggian 32 ribu kaki. Namun ATC tidak langsung menjawab permintaan tersebut.

Terdapat jeda komunikasi selama 2 menit antara ATC dengan QZ8501. Hingga akhirnya pihak ATC kehilangan kontak dengan kokpit pesawat QZ8501.

Jeda dua menit itu, kata Wisnu, digunakan ATC untuk melakukan cross check lalu lintas udara di sekitar QZ8501. Pihak ATC juga sempat melihat data dari accuweather.com yang menunjukkan ada badai di jalur pesawat AirAsia, kemudian enam pesawat dengan ketinggian berbeda di sekitar AirAsia.

Saat itu ATC memutuskan hanya ingin mengizinkan QA8501 untuk naik di ketinggian 34 ribu kaki. Namun terlambat, ATC sudah kehilangan kontak.

"Ini kemungkinan yang memberikan kontribusi atas lambatnya respons ATC terhadap permintaan pilot AirAsia,” kata Wisnu.

Kelambanan tersebut menimbulkan kecurigaan atas kinerja petugas ATC. Namun General Manager AirNav Indonesia Budi Hendro Setiyono membantahkan kelambanan itu.

"Tidak benar itu, kita justru ketika itu terus memanggil berkali-kali. Itu pun kita duluan yang memanggil kok," ujarnya.

2. AirAsia Bermanuver Aneh


Dengan penemuan serpihan-serpihan pesawat dan jasad penumpang di Selat Karimata, 105 mil dari Pangkalan Bun, AirAsia QZ8501 melenceng jauh ke arah kanan dari rute yang direncanakan.

Bahkan sebelum hilang kontak, Kapten Pilot Iriyanto tercatat telah mengubah arah QZ8501 ke kiri sebanyak tiga kali.

Berdasarkan posisi sebelum hilang kontak, QZ8501 berada di koordinat 03.36.31 Lintang Selatan, dan 108.41.46 Bujur Timur. Koordinat ini lebih dekat dengan Pulau Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.

Namun serpihan-serpihan awal ditemukan di koordinat 03.46.50 Lintang Selatan dan 110.29.27 Bujur Timur, 03.50.43 Lintang Selatan dan 110.29.21 Bujur Timur, serta 03.54.48 Lintang Selatan dan 110.31.4 Bujur Timur. Koordinat ini lebih dekat dengan Pangkalan Bun.

Basarnas pun memusatkan pencarian pesawat di sekitar daerah tersebut, kemudian disebut Sektor 4.

3. ELT Tak Menyala
Emergency Locator Transmitter (ELT) aircraft

Emergency Locator Transmitter (ELT) adalah suatu perangkat suar penentu lokasi untuk pesawat. Fungsi alat ini memancarkan sinyal radio agar lokasinya bisa diketahui sistem deteksi yang ada.

Alat ini dirancang untuk bisa aktif begitu terjadi crash (benturan keras) dan memancarkan sinyal yang memberitahukan posisi diri.

Namun dalam tragedi AirAsia, ELT sama sekali tidak menyala. Sehingga pencarian badan pesawat itu menemui kendala.

Keanehan ini sempat terucap dari mulut Kepala Basarnas Jakarta Sutrisno, beberapa waktu setelah tersiar kabar AirAsia hilang dari radar.

"Jika jatuh, Emergency Locator Tramsiter (ELT) pesawat tersebut seharusnya berbunyi. Begitupun ketika terkena benturan keras atau masuk ke air," kata Sutrisno.

Sebaliknya ELT tidak akan menyala jika pesawat melakukan pendaratan secara halus, atau sama sekali tidak terhempas.

Namun mungkinkah AirAsia mendarat di perairan Selat Karimata, sementara hingga saat ini Basarnas terus menemukan jasad-jasad yang mengambang di atas perairan?

4. Penemuan Perangkat Emergency Procedure



Pintu darurat (emergency exit) pesawat AirAsia merupakan satu serpihan yang ditemukan
pertama kali mengambang di perairan Selat Karimata. Kemudian juga ditemukan tangga darurat pesawat, dan sekoci penyelamat (life craft).

Tiga penemuan benda ini menimbulkan dugaan, pesawat AirAsia sempat melakukan prosedur darurat penyelamatan penumpang. Secara logika prosedur penyelamatan ini bisa dilakukan jika pesawat sukses mendarat darurat di atas perairan.

Namun pada faktanya, hingga kini belum diperoleh kabar keberadaan penumpang AirAsia yang selamat.

Pendaratan di air atau biasa disebut water landing biasanya dijadikan keputusan seorang pilot untuk menyelamatkan penumpang. Pilot dan awak kabin memiliki waktu sebanyak 90 detik untuk mengeluarkan penumpang, sebelum pesawat tenggelam.

Sebelum mengeluarkan penumpang, pilot dan awak kabin sudah harus melepaskan perahu penyelamat. Sementara penumpang telah dipastikan mengenakan jaket pelampung sebelum keluar pesawat.

Lalu apa yang terjadi dengan prosedur penyelamatan di pesawat AirAsia?
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7329 seconds (0.1#10.140)
pixels