Ubah Tanah Gersang Jadi Kebun Produktif
A
A
A
Ismadi merupakan sosok petani andal yang menjadi salah satu inisiator konservasi lahan tandus di Salatiga. Dia rela pensiun dini dari pekerjaannya sebagai pegawai PT Telkom demi untuk mengolah lahan tandus.
Seiring perjalanan waktu dan kerja kerasnya, Ismadi akhirnya berhasil mengubah tanah gersang seluas 4 hektare miliknya di Bendosari, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Salatiga menjadi lahan produktif.
Bahkan, nilai lahan beserta tanamannya yang terdiri atas 5.400 pohon kopi, 2.800 pohon sengon, 470 pohon suren, dan 80 pohon mahoni yang telah ia tanam sejak 2003 ditaksir mencapai puluhan miliaran rupiah. Tak hanya itu, lahan produktif milik pria kelahiran Salatiga, 9 Mei 1955 ini juga telah menyelamatkan sejumlah permukiman di wilayah Kecamatan Argomulyo dan Sidomukti dari bencana banjir.
Dahulu setiap musim penghujan, sejumlah permukiman di dua kecamatan tersebut kerap dilanda banjir. Sekarang ratusan kepala keluarga (KK) yang bermukim di daerah tersebut bisa terbebas dari banjir. Itu berkat sistem perkebunan terasering yang diterapkan oleh Ismadi di lahannya.
Kini lahan seluas 4 hektare tersebut mampu menjadi daerah tangkapan air sehingga air hujan tidak mengalir ke daerah bawah. Bagaimana perjalanan petani andal berjuang mengolah lahannya selama bertahun-tahun? Berikut wawancara KORAN SINDO dengan ayah tiga anak ini:
Apa yang melatarbelakangi Anda ingin menjadi petani?
Saya dibesarkan di lingkungan perkebunan Salib Putih. Sejak kecil, saya melihat di wilayah Kumpulrejo ini sangat identik dengan perkebunan yang rimbun dan udara yang sejuk. Namun, sejak 1980-an semuanya berubah, pembangunan dengan dalih modernisasi menjadikan kaum petani kebun terpinggirkan. Kemudian pada awal 2000, saat saya sedang cuti, saya menyempatkan diri berjalan mengelilingi kebun di dekat rumah saya. Miris dan sedih rasanya setelah melihat kebun yang dulunya subur telah berubah menjadi tandus dan tidak produktif lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk bertekad membeli sejumlah lahan di dekat tempat tinggal saya untuk dijadikan perkebunan.
Semua yang saya miliki saya jual. Saat itu saya memiliki sapi hampir 70 ekor yang saya titipkan di sejumlah para peternak. Selain itu, saya juga menjual mobil yang biasa saya gunakan untuk berjualan roti setelah saya pulang kerja. Uang yang terkumpul dari menjual sebagian besar harta benda, saya belikan tanah di belakang rumah seluas 7.200 meter persegi.
Dari situlah saya mulai mencoba mengolah lahan. Pada 2003 silam saya memutuskan untuk pensiun dini dari pekerjaan untuk menjadi petani. Dengan belajar cara bertani secara autodidak, saya mulai mengolah tanah dan menanaminya dengan tanaman perkebunan, seperti kopi, sengon, suren, dan mahoni.
Itu saya lakukan dengan dasar untuk mencari rezeki yang halal dan dekat dengan alam. Selain itu, saya juga memiliki tekad mengolah lahan agar mendatangkan manfaat bagi warga sekitar.
Motivasi apa yang mendorong Anda menggeluti dunia pertanian?
Saya terinspirasi dari seorang dalang bernama Ki Narto Sabdo yang mengatakan jika ingin sukses dalam berbisnis maka ada tiga hal yang harus kita punya, yaitu rumah atau tanah, tanaman, dan ternak. Selain itu, saya juga melihat lahan-lahan di wilayah di Kumpulrejo, khususnya di Bendosari ini sudah tidak produktif dan sering menimbulkan bencana banjir bagi sejumlah permukiman di sekitarnya.
Bagaimana cara mengubah lahan tandus menjadi produktif?
Semua saya kerjakan dengan manual dengan dibantu istri, anak, dan dua orang tetangga yang saya jadikan karyawan saya. Pada awalnya saya hanya memiliki satu lahan di belakang rumah yang saya namai Kebun Kandang karena di lahan tersebut dulu saya juga memelihara sapi dan kandangnya sampai sekarang masih berdiri.
Setelah saya berhasil di satu lahan tersebut, dengan sisa tabungan pensiun yang saya miliki, saya membeli lahan lagi di sebelah utara dan selatan taman kota Bendosari. Di kedua lahan tersebut saya mengalami banyak kesulitan karena kondisi lahan yang kering dan penuh tumbuhan liar. Sedikit demi sedikit, saya bisa membuat lahan tersebut dengan sistem terasering.
Selain itu, saya juga menanami lahan saya dengan bermacam-macam tanaman. Cara tersebut kemudian saya sebut sebagai cara menanam dengan konsep kebhinekaan, artinya bermacam tanaman saya tanam dalam satu lahan.
Saya juga membuat lubang-lubang di sejumlah titik dengan diameter 2 meter persegi dengan kedalaman 3 meter. Lubang tersebut saya gunakan untuk menimbun daun kering dan sampah. Selain itu, di setiap titik pohon saya memberikan kerikil untuk ditata sedemikian rupa untuk menjaga kelembaban serta membantu air cepat meresap ke tanah sehingga akar pohon bisa tumbuh dengan kuat di bawah tanah yang berkerikil tersebut.
Adakah kendala yang dihadapi?
Kalau kendala yang saya hadapi, mungkin hanya saat awal membuka lahan. Saya pernah mendapati ada bongkahan batu yang setelah saya pecah bersama karyawan saya, hasilnya ada tiga bak truk. Saya hampir setiap hari berkebun, untuk melihat apakah ada yang perlu dibenahi atau tidak
Apakah ada yang mendukung Anda dalam menggeluti dunia pertanian?
Dukungan yang saya dapatkan yang terbesar tentu dari istri dan anak saya. Mereka yang dari awal membantu saya sejak dari nol. Untuk dukungan yang lain, selain saya tidak terlalu berharap, sejauh ini masih minim, baik dari pemerintah ataupun pihak lain. Namun demikian, saya bersyukur bahwa apa yang saya lakukan ini dapat mendatangkan manfaat bagi warga sekitar. Minimal mereka tidak lagi takut akan ada banjir seperti sepuluh tahun lalu.
Apa fungsi lahan itu bagi konservasi lahan?
Tentu saja banyak fungsinya, mulai dari ketersediaan daerah resapan air hingga kualitas oksigen di sekitar kebun yang masih sejuk. Ini sangat berbeda jika kita melihat kondisi di sekitar Kota Salatiga lainnya.
Ke depan, adakah upaya untuk terus mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif tersebut?
Tentu saja ada, bahkan saya juga sudah menawarkan kepada pemerintah dalam hal ini Pemkot Salatiga maupun Pemprov Jateng untuk menjadikan lahan saya ini sebagai tempat percontohan. Silakan jika ada yang mau belajar dan melihat bagaimana konsep konservasi lahan yang saya garap ini.
Apa harapan bapak terhadap generasi muda terkait dunia pertanian?
Saya melihat saat ini banyak generasi muda yang sudah mulai melirik bidang pertanian. Saya juga menerapkan ini kepada dua anak saya. Mereka sudah mulai saya ajarkan bagaimana mengolah lahan hingga mampu memasarkan hasilnya. Contohnya, anak saya yang kedua, David Bimo Santosa, yang kini mulai mencoba mengolah kopi hasil kebun kami sendiri. Saya berharap, generasi muda di Salatiga jangan gengsi menjadi petani.
Angga rosa
Seiring perjalanan waktu dan kerja kerasnya, Ismadi akhirnya berhasil mengubah tanah gersang seluas 4 hektare miliknya di Bendosari, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Salatiga menjadi lahan produktif.
Bahkan, nilai lahan beserta tanamannya yang terdiri atas 5.400 pohon kopi, 2.800 pohon sengon, 470 pohon suren, dan 80 pohon mahoni yang telah ia tanam sejak 2003 ditaksir mencapai puluhan miliaran rupiah. Tak hanya itu, lahan produktif milik pria kelahiran Salatiga, 9 Mei 1955 ini juga telah menyelamatkan sejumlah permukiman di wilayah Kecamatan Argomulyo dan Sidomukti dari bencana banjir.
Dahulu setiap musim penghujan, sejumlah permukiman di dua kecamatan tersebut kerap dilanda banjir. Sekarang ratusan kepala keluarga (KK) yang bermukim di daerah tersebut bisa terbebas dari banjir. Itu berkat sistem perkebunan terasering yang diterapkan oleh Ismadi di lahannya.
Kini lahan seluas 4 hektare tersebut mampu menjadi daerah tangkapan air sehingga air hujan tidak mengalir ke daerah bawah. Bagaimana perjalanan petani andal berjuang mengolah lahannya selama bertahun-tahun? Berikut wawancara KORAN SINDO dengan ayah tiga anak ini:
Apa yang melatarbelakangi Anda ingin menjadi petani?
Saya dibesarkan di lingkungan perkebunan Salib Putih. Sejak kecil, saya melihat di wilayah Kumpulrejo ini sangat identik dengan perkebunan yang rimbun dan udara yang sejuk. Namun, sejak 1980-an semuanya berubah, pembangunan dengan dalih modernisasi menjadikan kaum petani kebun terpinggirkan. Kemudian pada awal 2000, saat saya sedang cuti, saya menyempatkan diri berjalan mengelilingi kebun di dekat rumah saya. Miris dan sedih rasanya setelah melihat kebun yang dulunya subur telah berubah menjadi tandus dan tidak produktif lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk bertekad membeli sejumlah lahan di dekat tempat tinggal saya untuk dijadikan perkebunan.
Semua yang saya miliki saya jual. Saat itu saya memiliki sapi hampir 70 ekor yang saya titipkan di sejumlah para peternak. Selain itu, saya juga menjual mobil yang biasa saya gunakan untuk berjualan roti setelah saya pulang kerja. Uang yang terkumpul dari menjual sebagian besar harta benda, saya belikan tanah di belakang rumah seluas 7.200 meter persegi.
Dari situlah saya mulai mencoba mengolah lahan. Pada 2003 silam saya memutuskan untuk pensiun dini dari pekerjaan untuk menjadi petani. Dengan belajar cara bertani secara autodidak, saya mulai mengolah tanah dan menanaminya dengan tanaman perkebunan, seperti kopi, sengon, suren, dan mahoni.
Itu saya lakukan dengan dasar untuk mencari rezeki yang halal dan dekat dengan alam. Selain itu, saya juga memiliki tekad mengolah lahan agar mendatangkan manfaat bagi warga sekitar.
Motivasi apa yang mendorong Anda menggeluti dunia pertanian?
Saya terinspirasi dari seorang dalang bernama Ki Narto Sabdo yang mengatakan jika ingin sukses dalam berbisnis maka ada tiga hal yang harus kita punya, yaitu rumah atau tanah, tanaman, dan ternak. Selain itu, saya juga melihat lahan-lahan di wilayah di Kumpulrejo, khususnya di Bendosari ini sudah tidak produktif dan sering menimbulkan bencana banjir bagi sejumlah permukiman di sekitarnya.
Bagaimana cara mengubah lahan tandus menjadi produktif?
Semua saya kerjakan dengan manual dengan dibantu istri, anak, dan dua orang tetangga yang saya jadikan karyawan saya. Pada awalnya saya hanya memiliki satu lahan di belakang rumah yang saya namai Kebun Kandang karena di lahan tersebut dulu saya juga memelihara sapi dan kandangnya sampai sekarang masih berdiri.
Setelah saya berhasil di satu lahan tersebut, dengan sisa tabungan pensiun yang saya miliki, saya membeli lahan lagi di sebelah utara dan selatan taman kota Bendosari. Di kedua lahan tersebut saya mengalami banyak kesulitan karena kondisi lahan yang kering dan penuh tumbuhan liar. Sedikit demi sedikit, saya bisa membuat lahan tersebut dengan sistem terasering.
Selain itu, saya juga menanami lahan saya dengan bermacam-macam tanaman. Cara tersebut kemudian saya sebut sebagai cara menanam dengan konsep kebhinekaan, artinya bermacam tanaman saya tanam dalam satu lahan.
Saya juga membuat lubang-lubang di sejumlah titik dengan diameter 2 meter persegi dengan kedalaman 3 meter. Lubang tersebut saya gunakan untuk menimbun daun kering dan sampah. Selain itu, di setiap titik pohon saya memberikan kerikil untuk ditata sedemikian rupa untuk menjaga kelembaban serta membantu air cepat meresap ke tanah sehingga akar pohon bisa tumbuh dengan kuat di bawah tanah yang berkerikil tersebut.
Adakah kendala yang dihadapi?
Kalau kendala yang saya hadapi, mungkin hanya saat awal membuka lahan. Saya pernah mendapati ada bongkahan batu yang setelah saya pecah bersama karyawan saya, hasilnya ada tiga bak truk. Saya hampir setiap hari berkebun, untuk melihat apakah ada yang perlu dibenahi atau tidak
Apakah ada yang mendukung Anda dalam menggeluti dunia pertanian?
Dukungan yang saya dapatkan yang terbesar tentu dari istri dan anak saya. Mereka yang dari awal membantu saya sejak dari nol. Untuk dukungan yang lain, selain saya tidak terlalu berharap, sejauh ini masih minim, baik dari pemerintah ataupun pihak lain. Namun demikian, saya bersyukur bahwa apa yang saya lakukan ini dapat mendatangkan manfaat bagi warga sekitar. Minimal mereka tidak lagi takut akan ada banjir seperti sepuluh tahun lalu.
Apa fungsi lahan itu bagi konservasi lahan?
Tentu saja banyak fungsinya, mulai dari ketersediaan daerah resapan air hingga kualitas oksigen di sekitar kebun yang masih sejuk. Ini sangat berbeda jika kita melihat kondisi di sekitar Kota Salatiga lainnya.
Ke depan, adakah upaya untuk terus mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif tersebut?
Tentu saja ada, bahkan saya juga sudah menawarkan kepada pemerintah dalam hal ini Pemkot Salatiga maupun Pemprov Jateng untuk menjadikan lahan saya ini sebagai tempat percontohan. Silakan jika ada yang mau belajar dan melihat bagaimana konsep konservasi lahan yang saya garap ini.
Apa harapan bapak terhadap generasi muda terkait dunia pertanian?
Saya melihat saat ini banyak generasi muda yang sudah mulai melirik bidang pertanian. Saya juga menerapkan ini kepada dua anak saya. Mereka sudah mulai saya ajarkan bagaimana mengolah lahan hingga mampu memasarkan hasilnya. Contohnya, anak saya yang kedua, David Bimo Santosa, yang kini mulai mencoba mengolah kopi hasil kebun kami sendiri. Saya berharap, generasi muda di Salatiga jangan gengsi menjadi petani.
Angga rosa
(ars)