Bertahan di Tengah Ujian
A
A
A
Menjadi seseorang yang hidup sehat adalah anugerah yang tak terkira. Hal ini terkadang kita lupakan dengan alasan kesibukan. Tapi pernahkah terbayang untuk tetap bertahan saat fisik dan orang yang kita cintai menderita sesuatu yang entah kapan sembuhnya?
Inilah yang dilakukan tiga ibu muda ketika hampir saja mereka merasa menjadi orang paling menderita sedunia. Anak-anak mereka divonis mengidap kanker. Mereka pun harus menjalani hari-hari bolak-balik rumah sakit menemani buah hati untuk kemoterapi. Mereka adalah Ina, Vina, dan Yaneu. Tahun lalu ketiganya sering bertemu ketika mendampingi anaknya terapi kanker di Rumah Sakit Borromeus Bandung.
“Kebetulan kamar kami berhadap-hadapan, jadi kami pasti sering ketemu,” ucap Ina ketika ditemui Bandung Care for Cancer Kids Foundation Jalan Sukimin No 8, Kota Bandung. Yayasan itu adalah rumah singgah untuk anak-anak yang berobat kanker. Selain anak-anaknya divonis kanker, kesamaan ketiganya adalah berjauhan dengan suami. Ina,41, yang suaminya tengah bekerja di luar negeri harus mendampingi anaknya, Lintang,4, berobat. Demikian juga Vina dan Yaneu.
Setiap mereka menemani anaknya berobat, barang ba waan mereka persis seperti orang yang akan pindahan rumah atau berlibur. Bahkan karena seringnya menginap di rumah sakit, sampai-sampai dokter memaksa mereka untuk seje nak pulang ke rumah masing-masing. Kondisi yang serba sama inilah yang menguatkan mereka.
“Lalu kami pun berpikir sebaiknya ada komunitas untuk orang tua seperti kami yang anak-anaknya sakit kanker,” kata Ina yang terpaksa mengelola rumah singgah tanpa Vina dan Yaneu sekarang. Menurut Ina, komunitas inilah yang akan menguatkan mereka. Ucapan sabar dari orang-orang yang menjenguk me reka menjadi kata pem bangkit semangat mereka. Mereka tidak bisa terus-menerus meng asihani nasib mereka.
“Karena di luar sana, masih banyak orang dengan anak yang sakit seperti anak kami, tapi dengan kondisi yang lebih berat,” ucap Ina. Ina, Vina, dan Yaneu lalu mencari informasi untuk membentuk komunitas. Ditemukanlah kontak Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) di Jakarta. Yayasan tersebut mendukung rencana ketiga ibu itu. Singkat cerita, semua kebutuhan mereka dibantu YKAKI Jakarta.
Bahkan mereka tidak menyangka sudah disewakan sebuah rumah yang letaknya tidak berjauhan dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin, yaitu di Jalan Sukimin. Hal paling sulit dalam mengelola yayasan adalah mengajak anak-anak dan orang tuanya yang berobat ke RSHS untuk datang ke rumah singgah. Bersama staf dari rumah singgah, Yoyoh dan Taufik, Ina rajin mendatangi anak-anak yang mengidap kanker yang tengah menunggu giliran kemotheraphy.
“Saya miris melihatnya. Mereka tidur di mana saja demi mendapatkan kamar lebih dulu,” ujar Ina. Hingga satu hari, dia melihat seorang anak yang tidur di tempat yang tak layak di rumah sakit. Bersama Taufik dan Yoyoh, Ina lalu membawanya ke rumah singgah dengan menggunakan taksi.
Sejak saat itulah dari mulut ke mulut cerita rumah singgah sampai kepada para penunggu giliran diobati. Berdiri Maret 2013, kini sudah ada 75 pasien yang datang ke rumah singgah. Di pan ti tersebut ada 13 tempat tidur yang bisa dipakai oleh anakanak saat menunggu giliran berobat. Tidak hanya sebagai tem pat transit, pengurus di rumah singgah juga mengontrol jad wal berobat.
Namun tidak jarang mereka terlambat satu siklus untuk berobat. Alas annya, tidak ada ongkos untuk ke Bandung. Benar, anak-anak yang transit ke rumah singgah adalah dari keluarga yang tidak mampu. Mereka berobat ke RSHS dengan bekal jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (jamkesda).
Meski pengobatan dibiayai pemerintah, tapi tidak untuk ongkos dan akomodasi mereka selama di RSHS. Saat anak dikemoterapi, orang tua terpaksa tidak bekerja karena tidak cukup waktu seminggu untuk pemulihan setelah dikemoterapi. Ditambah lagi, jumlah dokter hemato yang sedikit membuat antrean pengobatan kian panjang.
Obat paling berharga bagi anak-anak yang sakit kanker dan orang tua yang menemaninya adalah dukungan. Tercatat 17 anak yang meninggal di rumah singgah berusia remaja. Mereka tidak punya daya juang untuk hidup akibat penyakitnya itu. Dalam pikiran mereka, waktu hidupnya tinggal sedikit lagi. Tinggal hitungan hari menunggu malaikat maut menjemput.
“Kalau usia anak-anak dikasih mainan pun sudah senang. Bermain bersama dengan anak seumurannya pun bisa membuat mereka lupa dengan sakitnya. Tapi untuk yang sudah remaja, dukungan moral sangat dibutuhkan. Kondisi emosional mereka sangat labil. Kondisi inilah yang membuat mereka semakin rentan,” pungkas Ina.
Anne Rufaidah
Kota Bandung
Inilah yang dilakukan tiga ibu muda ketika hampir saja mereka merasa menjadi orang paling menderita sedunia. Anak-anak mereka divonis mengidap kanker. Mereka pun harus menjalani hari-hari bolak-balik rumah sakit menemani buah hati untuk kemoterapi. Mereka adalah Ina, Vina, dan Yaneu. Tahun lalu ketiganya sering bertemu ketika mendampingi anaknya terapi kanker di Rumah Sakit Borromeus Bandung.
“Kebetulan kamar kami berhadap-hadapan, jadi kami pasti sering ketemu,” ucap Ina ketika ditemui Bandung Care for Cancer Kids Foundation Jalan Sukimin No 8, Kota Bandung. Yayasan itu adalah rumah singgah untuk anak-anak yang berobat kanker. Selain anak-anaknya divonis kanker, kesamaan ketiganya adalah berjauhan dengan suami. Ina,41, yang suaminya tengah bekerja di luar negeri harus mendampingi anaknya, Lintang,4, berobat. Demikian juga Vina dan Yaneu.
Setiap mereka menemani anaknya berobat, barang ba waan mereka persis seperti orang yang akan pindahan rumah atau berlibur. Bahkan karena seringnya menginap di rumah sakit, sampai-sampai dokter memaksa mereka untuk seje nak pulang ke rumah masing-masing. Kondisi yang serba sama inilah yang menguatkan mereka.
“Lalu kami pun berpikir sebaiknya ada komunitas untuk orang tua seperti kami yang anak-anaknya sakit kanker,” kata Ina yang terpaksa mengelola rumah singgah tanpa Vina dan Yaneu sekarang. Menurut Ina, komunitas inilah yang akan menguatkan mereka. Ucapan sabar dari orang-orang yang menjenguk me reka menjadi kata pem bangkit semangat mereka. Mereka tidak bisa terus-menerus meng asihani nasib mereka.
“Karena di luar sana, masih banyak orang dengan anak yang sakit seperti anak kami, tapi dengan kondisi yang lebih berat,” ucap Ina. Ina, Vina, dan Yaneu lalu mencari informasi untuk membentuk komunitas. Ditemukanlah kontak Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) di Jakarta. Yayasan tersebut mendukung rencana ketiga ibu itu. Singkat cerita, semua kebutuhan mereka dibantu YKAKI Jakarta.
Bahkan mereka tidak menyangka sudah disewakan sebuah rumah yang letaknya tidak berjauhan dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin, yaitu di Jalan Sukimin. Hal paling sulit dalam mengelola yayasan adalah mengajak anak-anak dan orang tuanya yang berobat ke RSHS untuk datang ke rumah singgah. Bersama staf dari rumah singgah, Yoyoh dan Taufik, Ina rajin mendatangi anak-anak yang mengidap kanker yang tengah menunggu giliran kemotheraphy.
“Saya miris melihatnya. Mereka tidur di mana saja demi mendapatkan kamar lebih dulu,” ujar Ina. Hingga satu hari, dia melihat seorang anak yang tidur di tempat yang tak layak di rumah sakit. Bersama Taufik dan Yoyoh, Ina lalu membawanya ke rumah singgah dengan menggunakan taksi.
Sejak saat itulah dari mulut ke mulut cerita rumah singgah sampai kepada para penunggu giliran diobati. Berdiri Maret 2013, kini sudah ada 75 pasien yang datang ke rumah singgah. Di pan ti tersebut ada 13 tempat tidur yang bisa dipakai oleh anakanak saat menunggu giliran berobat. Tidak hanya sebagai tem pat transit, pengurus di rumah singgah juga mengontrol jad wal berobat.
Namun tidak jarang mereka terlambat satu siklus untuk berobat. Alas annya, tidak ada ongkos untuk ke Bandung. Benar, anak-anak yang transit ke rumah singgah adalah dari keluarga yang tidak mampu. Mereka berobat ke RSHS dengan bekal jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (jamkesda).
Meski pengobatan dibiayai pemerintah, tapi tidak untuk ongkos dan akomodasi mereka selama di RSHS. Saat anak dikemoterapi, orang tua terpaksa tidak bekerja karena tidak cukup waktu seminggu untuk pemulihan setelah dikemoterapi. Ditambah lagi, jumlah dokter hemato yang sedikit membuat antrean pengobatan kian panjang.
Obat paling berharga bagi anak-anak yang sakit kanker dan orang tua yang menemaninya adalah dukungan. Tercatat 17 anak yang meninggal di rumah singgah berusia remaja. Mereka tidak punya daya juang untuk hidup akibat penyakitnya itu. Dalam pikiran mereka, waktu hidupnya tinggal sedikit lagi. Tinggal hitungan hari menunggu malaikat maut menjemput.
“Kalau usia anak-anak dikasih mainan pun sudah senang. Bermain bersama dengan anak seumurannya pun bisa membuat mereka lupa dengan sakitnya. Tapi untuk yang sudah remaja, dukungan moral sangat dibutuhkan. Kondisi emosional mereka sangat labil. Kondisi inilah yang membuat mereka semakin rentan,” pungkas Ina.
Anne Rufaidah
Kota Bandung
(ars)