Karya-karyanya Tak Lekang Dimakan Usia
A
A
A
BANDUNG - “Ngke atawa isukan, saha nu terang....” sekilas lirik kawih karya seniman dan budayawan Sunda, Wahyu Wibisana dilantunkan dengan merdu dan syahdu oleh juru kawih Neneng Dinar dalam acara Mieling Maestro dan Budayawan Sunda, Wahyu Wibisana di Aula Universitas Pasundan (Unpas), Jalan Setiabudhi, Kota Bandung, kemarin.
Wahyu Wibisana bukan hanya seorang seniman, tapi juga budayawan dan sejarawan Sunda yang telah menciptakan karya-karya monumental sepanjang hayatnya. Sebut saja kawih berjudul Samoja, Pakuan, dan Kembang Tanjung Panineungan yang merupakan sederet karya monumental yang tak lekang dimakan zaman.
Karya-karyanya pun kerap didendangkan dalam berbagai helaran budaya hingga hajatan. Rektor Unpas Eddy Jusuf mengatakan, dari banyaknya karya monumental Wahyu Wibisana, dia mengaku paling menyukai kawih Kembang Tanjung Panineungan. Bahkan, saat pertama mendengar kawih tersebut dan mulai menyukainya, dia mengaku tak tahu siapa pencipta kawih yang berlirik indah tersebut.
“Setelah banyak bertanya ke sana sini, rupanya itu karya kang Wahyu. Saya terkejut, betapa karya beliau sangat indah dan enak didengar di zaman kini. Meski itu lagu dulu, tetapi rasanya karya beliau tetap cocok diperdengarkan kini,” tuturnya seusai membuka acara tersebut. Acara ini digelar Unpas dalam rangka menggiatkan kembali penghargaanpenghargaan terhadap budayawan dan pahlawan Jawa Barat.
Tak hanya itu, dalam acara tersebut, sebanyak 7 juru kawih pun melantunkan karyakarya beliau. Di antaranya Neneng Tidar, Ida Rosida, Rita Tila, Mustika Iman, Rosyanti, Ujang Bejo, dan lainnya. Lebih dari 10 lagu monumental lainnya pun diperdengarkan kembali dan mampu menghangatkan suasana yang kala itu digelar malam hari.
Eddy menuturkan, acara ini diharapkan bisa mengingatkan kembali generasi muda kini untuk memperteguh kembali akar budaya Jabar yang saraf makna dan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan bernegara. “Saya melihat generasi sekarang sudah mulai luntur mengenai kecintaannya terhadap budayanya sendiri. Saya khawatir, mereka tidak mengenal sejarahnya sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, karya-karya Wahyu Wibisana memiliki nilai-nilai dalam membangun karakter diri yang baik. Selain itu, pemikiran Wahyu yang disampaikan melalui kawihnya pun sangat dalam dan mampu memaknai nilai-nilai perjuangan bangsanya. Selama hidupnya, Wahyu dikenal sebagai pribadi yang jujur, handap asor, seniman yang tulus dan mampu merangkul rekan-rekannya yang usianya lebih muda.
Dia pun dikenal aktif di berbagai organisasi ke- Sundaan, termasuk di Paguyuban Pasundan sejak awal organisasi itu berdiri. Berbagai penghargaan pun berhasil diraihnya serta karyakaryanya pun masih lekat di ingatan para pendengar di masanya.
“Bagi kami, warga Jawa Barat, dia tak hanya seorang seniman dan budayawan, melainkan juga pejuang pelestari budaya yang karyakaryanya tak lekang dimakan usia,” tandas Eddy.
Anne Rufaidah
Wahyu Wibisana bukan hanya seorang seniman, tapi juga budayawan dan sejarawan Sunda yang telah menciptakan karya-karya monumental sepanjang hayatnya. Sebut saja kawih berjudul Samoja, Pakuan, dan Kembang Tanjung Panineungan yang merupakan sederet karya monumental yang tak lekang dimakan zaman.
Karya-karyanya pun kerap didendangkan dalam berbagai helaran budaya hingga hajatan. Rektor Unpas Eddy Jusuf mengatakan, dari banyaknya karya monumental Wahyu Wibisana, dia mengaku paling menyukai kawih Kembang Tanjung Panineungan. Bahkan, saat pertama mendengar kawih tersebut dan mulai menyukainya, dia mengaku tak tahu siapa pencipta kawih yang berlirik indah tersebut.
“Setelah banyak bertanya ke sana sini, rupanya itu karya kang Wahyu. Saya terkejut, betapa karya beliau sangat indah dan enak didengar di zaman kini. Meski itu lagu dulu, tetapi rasanya karya beliau tetap cocok diperdengarkan kini,” tuturnya seusai membuka acara tersebut. Acara ini digelar Unpas dalam rangka menggiatkan kembali penghargaanpenghargaan terhadap budayawan dan pahlawan Jawa Barat.
Tak hanya itu, dalam acara tersebut, sebanyak 7 juru kawih pun melantunkan karyakarya beliau. Di antaranya Neneng Tidar, Ida Rosida, Rita Tila, Mustika Iman, Rosyanti, Ujang Bejo, dan lainnya. Lebih dari 10 lagu monumental lainnya pun diperdengarkan kembali dan mampu menghangatkan suasana yang kala itu digelar malam hari.
Eddy menuturkan, acara ini diharapkan bisa mengingatkan kembali generasi muda kini untuk memperteguh kembali akar budaya Jabar yang saraf makna dan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan bernegara. “Saya melihat generasi sekarang sudah mulai luntur mengenai kecintaannya terhadap budayanya sendiri. Saya khawatir, mereka tidak mengenal sejarahnya sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, karya-karya Wahyu Wibisana memiliki nilai-nilai dalam membangun karakter diri yang baik. Selain itu, pemikiran Wahyu yang disampaikan melalui kawihnya pun sangat dalam dan mampu memaknai nilai-nilai perjuangan bangsanya. Selama hidupnya, Wahyu dikenal sebagai pribadi yang jujur, handap asor, seniman yang tulus dan mampu merangkul rekan-rekannya yang usianya lebih muda.
Dia pun dikenal aktif di berbagai organisasi ke- Sundaan, termasuk di Paguyuban Pasundan sejak awal organisasi itu berdiri. Berbagai penghargaan pun berhasil diraihnya serta karyakaryanya pun masih lekat di ingatan para pendengar di masanya.
“Bagi kami, warga Jawa Barat, dia tak hanya seorang seniman dan budayawan, melainkan juga pejuang pelestari budaya yang karyakaryanya tak lekang dimakan usia,” tandas Eddy.
Anne Rufaidah
(ftr)