Awalnya Dipakai Menyamar Pasukan Mataram
A
A
A
BANDUNG - Pertunjukan tari topeng Bekasi yang disuguhkan sejumlah mahasiswa Institus Seni Budaya Indonesia (ISBI) Kota Bandung, seakan menjadi jembatan mengenal sejarah kelahiran seni topeng itu.
Pasalnya kesenian daerah ini memiliki usia yang tua, bahkan telah ada sejak masa penjajahan. Berdasarkan sejarahnya, kesenian tradisi khas Bekasi ini dilahirkan oleh sisa-sisa laskar Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung yang gagal melakukan penyerangan ke Batavia (VOC) sekitar 1746. Karena peperangan besar saat itu berbuah kegagalan, akhirnya sisa-sisa pasukan itu memilih tinggal di sejumlah tempat yang menjadi persingggahan dalam masa peperangan, seperti di Karawang, Bekasi, dan Tambun.
Konon, mereka enggan kembali ke kampung halamannya karena takut menerima hukuman mati dari sang Sultan. Untuk menafkahi anggota keluarga dan membaur dengan penduduk asli, sebagian dari mereka memilih menekuni jalur berkesenian. Tapi agar identitas mereka tak diketahui, pihak penjajah (VOC), sebuah penutup muka atau topeng selalu digunakan mereka saat menari dalam pertunjukan. Sejak saat itulah, mulai dikenal seni tari topeng.
Seiring berjalanya waktu, bentuk tari topeng ini juga terus mengalami perkembangan. Begitu juga dengan bentuk fisik topengnya, tekstur, dan ukirannya terus berkembang sesuai selera pelaku seni itu sendiri. Hingga kini nama tari topeng Bekasi banyak dikenal masyarakat awam dengan topeng Betawi. Padahal masyarakat Betawi sendiri tak memiliki sejarah kesenian topeng.
Bahkan laporan hasil penyadapan tari rakyat II, tari topeng tunggal, Sanggar Putra Budaya Pimpinan Nomir Bekasi oleh sejumlah mahasiswa ISBI menyebutkan timbulnya sebutan topeng bekasi adalah karena adanya hubungan kekeluargaan seniman tari dengan masyarakat Betawi. Lebih jelasnya, musabab sebutan Topeng Betawi itu karena salah seorang seniman topeng yakni Bapak Bokir menikah dengan seorang wanita yang berasal dari Kampung Dukuh.
Kemudian mereka mendirikan Sanggar Topeng di tempat. Sehingga masyarakat betawi menyebutnya topeng Betawi. Sekilas, Topeng yang digunakan dalam tarian topeng tunggal hampir sama dengan topeng Cirebon. Perbedaannya hanya dalam jumlah peng gu naan varian topeng, bila di Cirebon menggunakan lima jenis topeng.
Di Bekasi jumlah topeng yang digunakan hanya tiga jenis yakni putih, jingga, dan merah. Salah seorang tenaga pengajar seni tari di ISBI Mas Nanu Munajar menuturkan, pembelajaran untuk mengenal keberadaan seni tari tradisi tentu tak bisa dilakukan dalam pembelajaran kuliah semata. Namun memerlukan upaya penerjunan langsung kepada para pelaku seni.
“Kami membiasakan mahasiswa melakukan kegiatan nyatrikatau belajar langsung kepada seniman agar mereka benar-benar memahami secara dalam tentang berbagai tari yang mereka pelajari. Karena pembelajaran dalam bangku perkuliahan belum cukup tanpa adanya pembelajaran mereka langsung kepada pelaku seni,” jelas lelaki yang akrab disapa Abah Nanu itu.
Dia menambahkan, selain memberikan pemahaman secara mendalam, aktivitas nyatrikitu juga ditujukan untuk mencetak mahasiswa seni yang profesional dan mampu menjalin hubungan dengan para seniman.
“Dalam kehidupan nyata, setelah berkuliah tentu mereka dituntut langsung menjalani peran dalam kehidupan masyarakat. Kami harap dengan kegiatan ini, kebutuhan tersebut bisa dipersiapkan secara optimal,” jelasnya.
Heru Muthahari
Pasalnya kesenian daerah ini memiliki usia yang tua, bahkan telah ada sejak masa penjajahan. Berdasarkan sejarahnya, kesenian tradisi khas Bekasi ini dilahirkan oleh sisa-sisa laskar Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung yang gagal melakukan penyerangan ke Batavia (VOC) sekitar 1746. Karena peperangan besar saat itu berbuah kegagalan, akhirnya sisa-sisa pasukan itu memilih tinggal di sejumlah tempat yang menjadi persingggahan dalam masa peperangan, seperti di Karawang, Bekasi, dan Tambun.
Konon, mereka enggan kembali ke kampung halamannya karena takut menerima hukuman mati dari sang Sultan. Untuk menafkahi anggota keluarga dan membaur dengan penduduk asli, sebagian dari mereka memilih menekuni jalur berkesenian. Tapi agar identitas mereka tak diketahui, pihak penjajah (VOC), sebuah penutup muka atau topeng selalu digunakan mereka saat menari dalam pertunjukan. Sejak saat itulah, mulai dikenal seni tari topeng.
Seiring berjalanya waktu, bentuk tari topeng ini juga terus mengalami perkembangan. Begitu juga dengan bentuk fisik topengnya, tekstur, dan ukirannya terus berkembang sesuai selera pelaku seni itu sendiri. Hingga kini nama tari topeng Bekasi banyak dikenal masyarakat awam dengan topeng Betawi. Padahal masyarakat Betawi sendiri tak memiliki sejarah kesenian topeng.
Bahkan laporan hasil penyadapan tari rakyat II, tari topeng tunggal, Sanggar Putra Budaya Pimpinan Nomir Bekasi oleh sejumlah mahasiswa ISBI menyebutkan timbulnya sebutan topeng bekasi adalah karena adanya hubungan kekeluargaan seniman tari dengan masyarakat Betawi. Lebih jelasnya, musabab sebutan Topeng Betawi itu karena salah seorang seniman topeng yakni Bapak Bokir menikah dengan seorang wanita yang berasal dari Kampung Dukuh.
Kemudian mereka mendirikan Sanggar Topeng di tempat. Sehingga masyarakat betawi menyebutnya topeng Betawi. Sekilas, Topeng yang digunakan dalam tarian topeng tunggal hampir sama dengan topeng Cirebon. Perbedaannya hanya dalam jumlah peng gu naan varian topeng, bila di Cirebon menggunakan lima jenis topeng.
Di Bekasi jumlah topeng yang digunakan hanya tiga jenis yakni putih, jingga, dan merah. Salah seorang tenaga pengajar seni tari di ISBI Mas Nanu Munajar menuturkan, pembelajaran untuk mengenal keberadaan seni tari tradisi tentu tak bisa dilakukan dalam pembelajaran kuliah semata. Namun memerlukan upaya penerjunan langsung kepada para pelaku seni.
“Kami membiasakan mahasiswa melakukan kegiatan nyatrikatau belajar langsung kepada seniman agar mereka benar-benar memahami secara dalam tentang berbagai tari yang mereka pelajari. Karena pembelajaran dalam bangku perkuliahan belum cukup tanpa adanya pembelajaran mereka langsung kepada pelaku seni,” jelas lelaki yang akrab disapa Abah Nanu itu.
Dia menambahkan, selain memberikan pemahaman secara mendalam, aktivitas nyatrikitu juga ditujukan untuk mencetak mahasiswa seni yang profesional dan mampu menjalin hubungan dengan para seniman.
“Dalam kehidupan nyata, setelah berkuliah tentu mereka dituntut langsung menjalani peran dalam kehidupan masyarakat. Kami harap dengan kegiatan ini, kebutuhan tersebut bisa dipersiapkan secara optimal,” jelasnya.
Heru Muthahari
(ftr)