Olah Kotoran Sapi Jadi Pupuk Organik
A
A
A
SLEMAN - Kotoran sapi kebanyakan hanya dimanfaatkan untuk pupuk kandang namun tanpa proses pengolahan. Biasanya kotoran sapi itu hanya dibiarkan mengering di suatu lahan dan setelah kering baru digunakan untuk penyuburan tanah atau tanaman.
Kondisi ini tentu dapat merusak lingkungan, terutama pencemaran udara. Sebab kotoran sapi yang masih basah menimbulkan bau tidak sedap. Ini jelas membahayakan kesehatan bagi orang yang menghirupnya. Padahal kotoran sapi itu sebenarnya bisa dibuat diolah menjadi pupuk organik.
Hal ini yang dilakukan kelompok ternak Sedyo Makmur Dusun Ngemplak I, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngempak, Sleman, yang berhasil mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk padat. Selain menjadi pupuk alternatif, pupuk organik ini juga dapat mencegah kerusakan lingkungan disebabkan dari kotoran sapi itu.
Ketua II Kelompok Ternak Sedyo Makmur, Harno Muyono mengatakan, pembuatan pupuk organik ini berawal saat ada penyuluhan dan pelatihan dari Dinas Pertanian setempat terkait pengembangan pupuk organik dari kotoran sapi pada 2011 lalu. “Berawal dari situ menjadi inspirasi kami, mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik,” ungkap Harno di rumah produksi pupuk organik kelompok ternak mereka.
Harno menjelaskan, setelah mendapatkan penjelasan dan pelatihan, kemudian pihaknya mencoba memanfaatkan kotoran sapi itu menjadi pupuk organik. Hanya untuk pengembangannya terkendala pada peralatan, terutama alat produksi yang harganya mahal. “Setelah konsultasi dengan Dinas Pertanian, kami disarankan membuat proposal ke pusat,” ungkapnya.
Atas saran tersebut pihaknya kemudian mengajukan proposal dan oleh pusat dikabulkan. Selain mendapatkan bantuan alat pengolahan berupa mesin penggiling, juga kadang komunal, rumah produksi, dan kendaraan bermotor roda tiga. Total bantuan tersebut senilai Rp340 juta. “Dari bantuan itu, kami mulai mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik,” ujarnya.
Menurut Harno, proses pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik, yakni langkah pertama mencampur kotoran sapi dengan bahan pengurai, kapur, dan tetes tebu. Campuran itu kemudian didiamkan beberapa hari untuk proses penguraian. Untuk penguraian tergantung cuaca. Untuk cuaca kering biasanya membutuhkan waktu tiga pekan, sedangkan saat musim hujan lebih lama lagi, yaitu selama enam pekan.
“Selama proses penguraian, juga harus dibolak-balik, yaitu satu kali seminggu pada musim kering dan saat musim hujan sekali dalam dua Minggu. Untuk pembalikan ini dilakukan tiga kali,” katanya. Harno menambahkan, setelah penguraian, kotoran sapi itu selanjutnya digiling sebelum dikemas masih membutuhkan pengayaan lagi agar teksturnya halus. Tetapi karena di tempatnya belum ada mesin pengayaan, setelah digiling langsung di kemas.
Meskipun begitu, tekstur pupuk yang dihasilkan sudah bagus. Untuk pengolahan membutuhkan waktu lima jam. “Dalam sebulan, kami bisa mengolah 2,3 ton pupuk organik. Pupuk itu dijual Rp600 per kg. Pupuk langsung disalurkan ke petani dan tokotoko pertanian terdekat,” katanya.
Harno mengungkapkan, jumlah sapi kelompok ternak Sedyo Makmur ada 143 ekor dari tiga jenis, yaitu metal, limusin, dan peranakan ongole (PO). Sapi itu milik 38 anggota kelompok. Setiap sapi rata-rata menghasilkan 25 kg kotoran per hari. Dari jumlah itu hanya 60% yang dapat diolah menjadi pupuk organik dan sisanya 40% digunakan langsung untuk pupuk kandang.
Hasil dari pengolahan pupuk organik ini 80% untuk pemilik sapi dan 20% untuk pengembangan kelompok tani. “Selain memberikan tambahan bagi kelompok tani dengan menggunakan pupuk organik ini, produksi pertanian juga meningkat 60%,” katanya.
Sekretaris kelompok ternak Sedyo Makmur, Susmardono mengatakan, selain mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik, pihaknya juga akan mengolah limbah cair kotoran sapi menjadi pupuk cair dan biogas.
“Saat ini kami sedang membangun instalasi pengolahannya. Setelah jadi kami segera memproduksi dalam jumlah besar,” ujarnya.
Priyo Setyawan
Kondisi ini tentu dapat merusak lingkungan, terutama pencemaran udara. Sebab kotoran sapi yang masih basah menimbulkan bau tidak sedap. Ini jelas membahayakan kesehatan bagi orang yang menghirupnya. Padahal kotoran sapi itu sebenarnya bisa dibuat diolah menjadi pupuk organik.
Hal ini yang dilakukan kelompok ternak Sedyo Makmur Dusun Ngemplak I, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngempak, Sleman, yang berhasil mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk padat. Selain menjadi pupuk alternatif, pupuk organik ini juga dapat mencegah kerusakan lingkungan disebabkan dari kotoran sapi itu.
Ketua II Kelompok Ternak Sedyo Makmur, Harno Muyono mengatakan, pembuatan pupuk organik ini berawal saat ada penyuluhan dan pelatihan dari Dinas Pertanian setempat terkait pengembangan pupuk organik dari kotoran sapi pada 2011 lalu. “Berawal dari situ menjadi inspirasi kami, mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik,” ungkap Harno di rumah produksi pupuk organik kelompok ternak mereka.
Harno menjelaskan, setelah mendapatkan penjelasan dan pelatihan, kemudian pihaknya mencoba memanfaatkan kotoran sapi itu menjadi pupuk organik. Hanya untuk pengembangannya terkendala pada peralatan, terutama alat produksi yang harganya mahal. “Setelah konsultasi dengan Dinas Pertanian, kami disarankan membuat proposal ke pusat,” ungkapnya.
Atas saran tersebut pihaknya kemudian mengajukan proposal dan oleh pusat dikabulkan. Selain mendapatkan bantuan alat pengolahan berupa mesin penggiling, juga kadang komunal, rumah produksi, dan kendaraan bermotor roda tiga. Total bantuan tersebut senilai Rp340 juta. “Dari bantuan itu, kami mulai mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik,” ujarnya.
Menurut Harno, proses pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik, yakni langkah pertama mencampur kotoran sapi dengan bahan pengurai, kapur, dan tetes tebu. Campuran itu kemudian didiamkan beberapa hari untuk proses penguraian. Untuk penguraian tergantung cuaca. Untuk cuaca kering biasanya membutuhkan waktu tiga pekan, sedangkan saat musim hujan lebih lama lagi, yaitu selama enam pekan.
“Selama proses penguraian, juga harus dibolak-balik, yaitu satu kali seminggu pada musim kering dan saat musim hujan sekali dalam dua Minggu. Untuk pembalikan ini dilakukan tiga kali,” katanya. Harno menambahkan, setelah penguraian, kotoran sapi itu selanjutnya digiling sebelum dikemas masih membutuhkan pengayaan lagi agar teksturnya halus. Tetapi karena di tempatnya belum ada mesin pengayaan, setelah digiling langsung di kemas.
Meskipun begitu, tekstur pupuk yang dihasilkan sudah bagus. Untuk pengolahan membutuhkan waktu lima jam. “Dalam sebulan, kami bisa mengolah 2,3 ton pupuk organik. Pupuk itu dijual Rp600 per kg. Pupuk langsung disalurkan ke petani dan tokotoko pertanian terdekat,” katanya.
Harno mengungkapkan, jumlah sapi kelompok ternak Sedyo Makmur ada 143 ekor dari tiga jenis, yaitu metal, limusin, dan peranakan ongole (PO). Sapi itu milik 38 anggota kelompok. Setiap sapi rata-rata menghasilkan 25 kg kotoran per hari. Dari jumlah itu hanya 60% yang dapat diolah menjadi pupuk organik dan sisanya 40% digunakan langsung untuk pupuk kandang.
Hasil dari pengolahan pupuk organik ini 80% untuk pemilik sapi dan 20% untuk pengembangan kelompok tani. “Selain memberikan tambahan bagi kelompok tani dengan menggunakan pupuk organik ini, produksi pertanian juga meningkat 60%,” katanya.
Sekretaris kelompok ternak Sedyo Makmur, Susmardono mengatakan, selain mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik, pihaknya juga akan mengolah limbah cair kotoran sapi menjadi pupuk cair dan biogas.
“Saat ini kami sedang membangun instalasi pengolahannya. Setelah jadi kami segera memproduksi dalam jumlah besar,” ujarnya.
Priyo Setyawan
(ftr)