Kubur Abuku di Tanah Toba

Senin, 22 Desember 2014 - 10:57 WIB
Kubur Abuku di Tanah...
Kubur Abuku di Tanah Toba
A A A
MEDAN - Kabar duka cita dari Apeldoorn, Belanda, menghentakkan seniman di seantero Tanah Air. Semua terkejut dengan kabar bahwa sastrawan Angkatan 1945, Sitor Situmorang, telah mengembuskan napas terakhirnya, kemarin.

Wartawan, sastrawan, dan penyair yang lahir di Harianboho, Tapanuli Utara (Taput), pada 2 Oktober 1923 itu akhirnya menyerah dengan penyakit Alzheimer yang menggerogoti tubuhnya dalam beberapa tahun terakhir. Sitor pun pergi untuk selamanya, namun karya-karyanya tetap abadi.

Sastrawan Indonesia, Radhar Panca Dahana, menggoreskan kenangannya bersama Sitor Situmorang. Bagi dia, Sitor adalah seorang sahabat yang setia, keras dalam prinsip (apalagi politik), tapi lembut dan fragile dalam menghadapi wanita (cinta).

Penyair yang pernah menerima Paramadina Award pada 2015 ini juga menyebutkan, Sitor merupakan orang yang pantas mendapatkan respek utama untuk semua yang dia miliki dan lakukan. Orang yang sangat tahu orang seperti apa yang pantas dia beri respek.

“Tak disangka, selain sangat mandiri dalam ketidaksehatannya, dia juga helpful . Tidak pernah dia mengizinkan saya membuatkan minum untuknya, tapi dia selalu masak untuk makan saya. Daya cipta seperti mata air gunung yang hingga waktu selesai takkan pernah usai,” tulis Radhar dalam pesan singkatnya kepada KORAN SINDO MEDAN , kemarin.

Penulis dan sejarawan, JJ Rizal, merupakan pengunggah kabar kematian sastrawan besar Indonesia, Sitor Situmorang, kemarin. “Saya memang sangat dekat dengan Sitor dan saya merasa sangat sedih. Dia adalah sastrawan besar Indonesia dari Angkatan 45 yang terakhir,” katanya.

Rizal menyebut Sitor Situmorang sebagai sosok yang sangat penting dalam kebudayaan Indonesia. Sitor tidak pernah membedakan barat dan timur seperti sastrawan Angkatan 45 yang lain, tetapi justru membuktikan melalui karyanya bahwa barat dan timur tidak berjarak.

Sebagai generasi yang lahir pada masa revolusi, Sitor adalah orang yang sadar betul bahwa sastra tidak akan bisa dipisahkan dari politik dan persoalan bangsa. Sitor tidak mengalami keterbelahan.

Rizal yang meneliti karyakarya Sitor dan sudah membukukan enam judul buku hasil penelitiannya mengatakan, bila berbicara mengenai kebudayaan Indonesia, tidak mungkin bisa mengabaikan nama Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer.

Dia menyesalkan politik pemerintahan di Indonesia, khususnya ketika masa Orde Baru, yang telah dengan sengaja meniadakan nama beberapa sastrawan Indonesia, seperti Sitor Situmorang karena dianggap berhaluan kiri.

Sitor pernah menjadi wartawan di berbagai harian di Sumatera dan pegawai di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman.

Sastrawan yang dikenal banyak penyuka puisi lewat Malam Lebaran itu pada masa Pemerintahan Orde Baru menjadi tahanan politik sejak 1967- 1974. Menurut sastrawan Martin Aleida, orang boleh suka atau tidak suka, tetapi Sitor adalah tonggak sastra dan politik Indonesia, seperti batu tapal yang bisa menjadi penanda perjalanan sastra dan politik Indonesia.

Dia melihat bahwa dalam berkarya, Sitor sangat terlihat setia, tulus membela bangsa dan Tanah Air. “Bagi Sitor negeri itu ada tiga, Tanah Batak tempat dia dilahirkan, Indonesia sebagai negaranya, dan Belanda yang menjadi kampung halaman kedua pada masa tuanya,” ucapnya.

Karya-karya Sitor, menurut dia, mudah dipahami, memakai pilihan kata yang kuat dan bukan hanya puitis tetapi juga musikal. “Indah, misalnya ketika dia menulis tentang Danau Toba,” ungkapnya Dalam bukunya berjudul “Toba Na sae” Sitor mengkritik penulis-penulis barat yang sering mengatakan bahwa orang Batak suka perang hanya dengan melihat di halaman rumah Batak sering ada tumpukan batu.

“Sitor adalah pengagum Bung Karno yang setia, baik ketika masa dia berjaya maupun pada saat runtuh. Sitor juga romantis seperti Soekarno,” kata Martin. Dia mengaku pernah mempunyai pengalaman menarik bersama Sitor saat menjadi moderator dalam suatu peluncuran buku di Jakarta.

Ketika itu Sitor menjadi salah seorang pembahas dan sempat marah , berdiri dan hendak meninggalkan ruangan, karena ada tamu yang mengobrol terus. “Saya berhasil membujuk dan menenangkan Sitor, dan akhirnya dia beruntung karena Megawati yang memberi kata sambutan pada acara itu, memberinya kenang-kenangan berharga,” kata Martin dengan tawa, mengenang kejadian tersebut.

Kelincahan Sitor

JJ Rizal, yang masih menyelesaikan dua buku lain mengenai Sitor, mengagumi sosok Sitor sebagai budayawan yang menurutnya sangat lincah bergerak di panggung seni drama, film, menulis puisi dan cerpen juga menulis banyak esai dan kritik seni sejak tahun 1970-an, ketika orang lain belum banyak melakukannya.

“Dia sangat produktif, dan yang penting lagi karyanya berkualitas, mempunyai kekayaan referensi, penguasaan lanskap dan terutama mengenai pemakaian bahasa Indonesia,” ucapnya.

Menurut dia, Sitor sangat mampu memilih kata-kata dalam bahasa Indonesia secara tepat untuk mengungkapkan perasaan yang paling dalam. “Kita sudah lama durhaka dan berutang pada Sitor. Sayang sekali negara kita kurang memperhatikan kebudayaan,” kata Rizal yang sudah sejak lama gigih memperjuangkan nama Sitor bisa kembali masuk dalam catatan sejarah Indonesia.

Sitor, putra seorang panglima perang asal Batak pada masa kolonial itu, meninggalkan warisan budaya yang sangat kaya bagi Indonesia. Karya Sitor berjudul Pasar Senen termasuk salah satu yang disukai Rizal, orang Betawi yang merasa dihargai oleh pendatang dari Batak yang menulis keindahan Pasar Senen pada waktu lalu.

“Banyak karyanya yang saya sukai dengan catatan-catatan alasannya sehingga sulit untuk menentukan satu atau dua judul yang paling saya sukai,” kata Rizal, yang sedang mencari cara menerbitkan kumpulan esai Sitor Situmorang setebal 2.000 halaman.

Kepergian Sitor, yang mendapat penghargaan sastra nasional tahun 1955 untuk kumpulan cerpen “Salju di Paris” dan hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1976 untuk kumpulan sajak Peta Perjalanan, juga membuat budayawan M Sobary berduka. “Penyair besar telah pergi dan tidak kembali. Kita ingat puisinya yang bikin gempar, ‘Malam Lebaran, Bulan di atas Kuburan’ . Penyair Toba yang perkasa,” katanya.

Sementara itu, seorang seniman di Medan, Teja Purnama, mengatakan, terhenyak ketika membaca wall Facebook rekan- rekan seniman di Medan yang menyatakan Sitor Situmorang telah wafat. “Selama ini sosok Sitor Situmorang itu merupakan kebanggaan kita. Dia adalah sastrawan Sumut yang telah membesarkan sastra Indonesia di mata dunia. Makanya kita sangat kehilangan sosok seperti beliau,” ujarnya.

Dia tidak memandang Sitor merupakan sosok yang dulu pernah bergabung di Lekra maupun Manikebu. “Kita memandangnya sebagai manusia dan penyair, karya-karyanya akan tetap abadi,” ucapnya.

Satu puisinya sangat menyaratkan bahwa sosok Sitor Situmorang yang terlahir dari Taput dan sudah melanglang buana berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain, akhirnya berkeinginan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Sitor, menurut Teja, telah menuliskan dalam puisinya berjudul “Tatahan Pesan Bunda” bahwa dia ingin dikuburkan di Tanah Toba, di samping makam ibundanya.

Bait puisi yang dituliskan Sitor jelas mensyaratkan bahwa dirinya ingin sekali kembali ke Samosir. Bila nanti ajalku tiba/Kubur abuku di tanah Toba/ Di tanah danau perkasa/Terbujur di samping Bunda/. “Ini merupakan wasiat dari Sitor, makanya kita sangat berharap agar jenazah Sitor bisa dibawa ke Taput,” tandasnya.

Seniman di Sumut yang juga penggagas Opera Batak Plot, Thompson HS, bahkan mengakui sangat kehilangan sosok Sitor yang disebutnya sebagai Amangboru. Thompson pun menuliskan puisinya di wall Facebook - nya berjudul “Selamat Jalan, Amangboru Sitor”.

Dibait pertama puisi Thompson ini terkesan kedekatan yang dalam di antara dirinya dengan Sitor. Thompson ingin sekali memberikan topi hitam kepada Sitor, namun hal itu belum terwujudkan. Dalampuisinya dikatakanThompson; amangboru, aku sudah beli/topi hitam untukmu/ topi hitam dari negeri jiran/- meskipun kita tak pernah cerita/ banyak tentang negeri lain/aku ingin menyerahkan topi hitam itu/

Di akhir puisinya, dia juga terlihat sangat berkeinginan kuat agar Sitor Situmorang dapat dikuburkan di Samosir. Bait terakhir puisinya; tapi sudahlah, amangboru/pergilah/topi hitam dari negeri jiran itu/akan kuberikan padamu/kalau engkau pulang/ke kampung saja/badan kita tak mungkin lagi bertemu andai aku dapat lagi berkunjung ke tempatmu, negeri lain itu/pulanglah ya, amangboru!/

Thompson mengungkapkan, dia sempat membacakan puisi-puisi Sitor Situmorang di saat peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) lalu. Menurut dia, beberapa waktu lalu, seniman di Bandung, Jawa Barat, juga sempat membuat pertunjukkan Lingkar Dua untuk Sitor, sebagai upaya dukungan untuk kesehatan bagi Sitor yang ketika itu berat badannya turun drastis karena penyakit Alzheimer .

Dia sangat ingin agar jenazah Sitor dibawa ke Taput, asal kelahirannya. Namun, untuk mewujudkan hal itu tentunya berpulang kepada kebijakan Pemerintah Indonesia. Thompson mengaku belum menghubungi keluarga Sitor, tapi dia yakin keluarga berkeinginan menguburkan Sitor di Taput.

Apalagi hingga sekarang Sitor masih merupakan WNI, walaupun memiliki keistimewaan diplomatik karena istrinya warga Belanda. Sastrawan Medan lainnya, Idris Pasaribu, juga mengaku sangat kehilangan sosok Sitor Situmorang. Bagi Idris, Sitor merupakan seorang Soekarnois.

“Sitor adalah sosok nasionalis yang sangat peduli terhadap kemajuan kebudayaan mulai dari tahun 1950 hingga sekarang,” ujarnya. Sitor merupakan sosok yang terus memperjuangkan keberadaan menteri kebudayaan yang harus berdiri sendiri, tanpa disatukan dengan menteri pendidikan.

“Sitor juga sosok yang pernah membuat geger dengan puisinya yang sangat fenomenal dan kontroversial berjudul Malam Lebaran . Isi puisinya hanya Bulan di Atas Kuburan, seperti kita tahu bahwa malam Lebaran tidak ada bulan dalam kasatmata yang bisa dilihat, tapi Sitor menuliskannya ada bulan di atas kuburan di malam Lebaran, tentu ini sangat sarat sekali maknanya,” papar Idris.

Bagi dia, Sitor merupakan sosok yang selama ini menatap kebudayaan jauh ke depan. “Kepergian Sitor sangat memprihatinkan bangsa, perlu kita pertanyakan apa yang sudah diberikan negara untuk Sitor. Padahal, sangat banyak sumbangsih yang telah diberikan Sitor. Masyarakat dunia tidak akan mengenal budaya Indonesia kalau tidak karena Sitor. Makanya, Sitor patut diberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional atau minimal penghargaan sebagai budayawan negara,” tandasnya.

Begitu kehilangannya seniman di Sumut terhadap kepergian Sitor, meski karya-karyanya tetap memukau dan abadi selamanya seperti Pertempuran dan Salju di Paris, serta karya fenomenalnya Malam Lebaran dan Chatedrale de Chartres.

Sosok Sitor tak akan pernah tergantikan. Selamat Jalan Ompung Sitor, Bulan Itu Masih di Atas Kuburan, tulis seorang sastrawan Medan T Agus Khaidir di wall Facebook - nya.

Lia Anggia Nasution/ Antaranews
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1509 seconds (0.1#10.140)