Militansi Tinggi namun Kurang Diperhatikan

Sabtu, 13 Desember 2014 - 11:55 WIB
Militansi Tinggi namun...
Militansi Tinggi namun Kurang Diperhatikan
A A A
YOGYAKARTA - Kasus sepak bola gajah yang terjadi beberapa waktu lalu menambah kelam catatan sepak bola tanah air. Sorotan terhadap kinerja federasi yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pun kian tajam.

Bahkan, petisi #BekukanPSSI menjadi trending topic di media sosial Twitter. Tapi di luar hiruk pikuk kompetisi profesional, ada militansi yang nyaris terabaikan yakni kompetisi lokal. Kompetisi yang menjadi cikal bakal lahirnya pesepak bola andal hanya dipandang sebelah mata. Kiprahnya pun tak sepenting jenjang yang lain. Bisa jadi ini karena nilai ekonomi yang terlihat tak seglamor kompetisi profesional.

Lihat saja, kebutuhan sebuah klub profesional yang bermain di kasta kedua sepak bola tanah air, Divisi Utama, untuk sekadar bertahan saja tak kurang dari Rp4–5 miliar. Itu pun, kondisi tim biasanya terseok saat kompetisi masih berjalan. Angka lebih besar dibutuhkan jika tim memasang target lebih. Karenanya, kiprah tim selalu saja menjadi perhatian.

Terlebih saat tim tersandung masalah serius semacam sepak bola gajah. Tapi di luar itu, tak banyak yang mau bahkan peduli dengan perkembangan kompetisi di level lebih rendah sekelas kompetisi lokal tingkat pengurus cabang. Padahal, perputaran dana di tingkat ini pun tak kalah besar.

Di lingkung Pengcab PSSI Sleman misalnya, dana yang berputar di kompetisi Divisi II, Divisi I, dan Divisi Utama Pengcab nyaris mencapai Rp3 miliar. “Angka itu jika diakumulasi pengeluaran setiap kontestan,” ucap Hendricus Mulyono, Ketua Umum Pengcab PSSI Sleman.

Dia mengatakan, di Sleman terdapat 88 klub perkumpulan yang bermain di liga level kompetisi tersebut. Untuk ikut berkiprah, setiap klub setidaknya membutuhkan dana minimal Rp25 juta yang dikumpulkan secara swadaya. Dana akan membengkak hingga Rp40–50 juta jika klub mengejar target promosi.

“Kalau dihitung per klub memang kecil, tapi jika ditotalkan jumlahnya sangat besar karena semua itu hasil swadaya murni. Ini yang tidak diperhatikan banyak orang. Padahal, mereka ini justru yang menjadi ujung tombak melahirkan calon pemain bintang di masa depan,” ucapnya.

Di Kota Yogyakarta tak jauh berbeda. Jumlah kontestan di daerah ini memang lebih sedikit hanya 28, tapi kebutuhan dana untuk mengikuti kompetisi tak jauh berbeda. “Kami semuanya swadaya, cari dana sendiri untuk membiayai diri sendiri. Kalau tidak begitu ya tidak jalan,” ucap Akhmad Khasinun, pelatih PS ADKY.

Dibanding Sleman, pada 2014 ini, Kota memang kurang beruntung. Sebab, kompetisi lokal tingkat Pengkot tak diputar karena problem anggaran. Sedangkan Sleman masih bisa berputar kendati dalam jangka waktu yang cukup mepet dan dana yang cukup terbatas.

“Kebutuhan kami Rp400 juta untuk menggulirkan kompetisi, tapi yang dicairkan hanya 50%. Jadi mungkin nanti ada beberapa jenjang kompetisi yang harus kami putar dengan dana swadaya karena dananya tidak cukup,” tandas Hendricus.

Sodik
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1596 seconds (0.1#10.140)