Kursi Roda Tak Menghalanginya Gapai Asa Jadi Penerjemah
A
A
A
SEMARANG - Semangat dan tekad kuat Mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) semester I Universitas Negeri Semarang (Unnes) bernama Natalia Hersaniati ini patut ditiru oleh generasi bangsa ini.
Di tengah keadaan anggota tubuhnya yang mengalami kelumpuhan, tak menghalanginya merajut cita-cita meski harus menggunakan kursi roda. Meski tiap hari berangkat kuliah dengan diantar oleh orang tua maupun kerabatnya kekampus, Lia, panggilan akrabnya, tak lantas patah arang. Letak kediaman Lia di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang memangjauh dari kampusnya menimba ilmu. Paling tidak puluhan kilometer yang harus ditempuhnya saban hari.
Di kampus pun, Lia juga harus membutuhkan bantuan orang tua maupun saudaranya untuk mendorong kursi rodanya. Salah satu saudara Lia, Imam Suryanto yang kala itu menemani mengungkapkan, Lia memang seseorang yang tidak mudah menyerah pada keadaan. “Dengan tekad dan ketabahannya ia selalu ingin berusaha melewati setiap permasalahan itu,” katanya.
Lia memang spesial dari mahasiswi lainnya. Beberapa dosen yang mengampunya pun mengacunginya jempol. Sebab, dari sisi kecerdasan memiliki kemampuan akademis bagus. Bahkan sesama teman-teman kuliahnya mengakui kemampuan akademik yang dimiliki Lia. “Conversation Lia bagus. Di dalam kelas juga aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen ketika kuliah,” ujar salah satu teman Lia.
Ketika ditemui di Gedung B3 Ruang 117 FBS yang merupakan tempat Lia menimba ilmu, dia menceritakan bagaimana besar cita-citanya yang ingin menjadoi seorang penerjemah. Menjadi seorang penerjemah merupakan pekerjaan mulia, menurutnya. “Iya, itu sangat mulia karena mampu membantu orang lain untuk memahami percakapan orang lain dengan bahasa berbeda. Itu sangat luar biasa,” katanya.
Anak pertama dari pasangan Herlambang Pambudi dan Meliana Susan Supriatun itu juga menceritakan perjuangannya untuk diterima masuk ke Unnes. Lia mampu melalui seleksi penerimaan tersebut melalui jalur prestasi atau nilai rapor. Proses seleksi yang diikutinya sama persis dengan mahasiswa lainnya di kampus tersebut tanpa keistimewaan apa pun.
“Saya bersyukur dengan nilai di atas rata-rata saya dapat diterima di Unnes. Meski pada awalnya saya sempat tidak yakin jika akan diterima. Namun berkat semangat dan dorongan dari orang tua serta guru-guru maka rasa optimistis itu muncul,” paparnya.
Lia, memang sudah lama menderita kelumpuhan di bagian tangan dan kaki. Semula, Lia tak ubahnya balita lain, dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Namun, ketika usia Lia kala itu menginjak 15 bulan, demam tinggi menyerangnya.
Setelah dibawa ke puskesmas, diketahui Lia terserang polio sehingga mengakibatkan bagian syarafnya tidak berfungsi optimal. “Kaki dan tangan mengecil sehingga uratnya menegang dan akhirnya tidak dapat digerakkan. Dengan kondisi seperti ini, saya tidak boleh putus asa. Setiap ketidaksempurnaan pasti ada hikmahnya,” ucap alumni SMA N 1 Bergas ini.
Gadis kelahiran 27 Desember 1994 ini, bahkan sudah memiliki cita-cita menamtakan pendidikannya hingga ke jenjang S-3. Apa yang dialami pada anggota tubuhnya itu lantas menjadikannya malu atau minder. Dia justru mengaku malu ketika tidak bisa memahami materi perkuliahan dengan baik. “Itu aib bagi saya,” ucapnya.
Selain bercita-cita ingin menjadi seorang penerjemah, Lia juga memiliki harapan lain, yakni perhatian pemerintah daerah terutama Kota Semarang untuk menyediakan fasilitas pendukung bagi penyandang disabilitas seperti dirinya.
“Kesempatan dan fasilitas pada penyandang disabilitas masih dinomorduakan selama ini. Di mata Tuhan semua manusia memiliki derajat yang sama, kenapa harus dibedabedakan,” ungkapnya.
Susilo Himawan
Di tengah keadaan anggota tubuhnya yang mengalami kelumpuhan, tak menghalanginya merajut cita-cita meski harus menggunakan kursi roda. Meski tiap hari berangkat kuliah dengan diantar oleh orang tua maupun kerabatnya kekampus, Lia, panggilan akrabnya, tak lantas patah arang. Letak kediaman Lia di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang memangjauh dari kampusnya menimba ilmu. Paling tidak puluhan kilometer yang harus ditempuhnya saban hari.
Di kampus pun, Lia juga harus membutuhkan bantuan orang tua maupun saudaranya untuk mendorong kursi rodanya. Salah satu saudara Lia, Imam Suryanto yang kala itu menemani mengungkapkan, Lia memang seseorang yang tidak mudah menyerah pada keadaan. “Dengan tekad dan ketabahannya ia selalu ingin berusaha melewati setiap permasalahan itu,” katanya.
Lia memang spesial dari mahasiswi lainnya. Beberapa dosen yang mengampunya pun mengacunginya jempol. Sebab, dari sisi kecerdasan memiliki kemampuan akademis bagus. Bahkan sesama teman-teman kuliahnya mengakui kemampuan akademik yang dimiliki Lia. “Conversation Lia bagus. Di dalam kelas juga aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen ketika kuliah,” ujar salah satu teman Lia.
Ketika ditemui di Gedung B3 Ruang 117 FBS yang merupakan tempat Lia menimba ilmu, dia menceritakan bagaimana besar cita-citanya yang ingin menjadoi seorang penerjemah. Menjadi seorang penerjemah merupakan pekerjaan mulia, menurutnya. “Iya, itu sangat mulia karena mampu membantu orang lain untuk memahami percakapan orang lain dengan bahasa berbeda. Itu sangat luar biasa,” katanya.
Anak pertama dari pasangan Herlambang Pambudi dan Meliana Susan Supriatun itu juga menceritakan perjuangannya untuk diterima masuk ke Unnes. Lia mampu melalui seleksi penerimaan tersebut melalui jalur prestasi atau nilai rapor. Proses seleksi yang diikutinya sama persis dengan mahasiswa lainnya di kampus tersebut tanpa keistimewaan apa pun.
“Saya bersyukur dengan nilai di atas rata-rata saya dapat diterima di Unnes. Meski pada awalnya saya sempat tidak yakin jika akan diterima. Namun berkat semangat dan dorongan dari orang tua serta guru-guru maka rasa optimistis itu muncul,” paparnya.
Lia, memang sudah lama menderita kelumpuhan di bagian tangan dan kaki. Semula, Lia tak ubahnya balita lain, dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Namun, ketika usia Lia kala itu menginjak 15 bulan, demam tinggi menyerangnya.
Setelah dibawa ke puskesmas, diketahui Lia terserang polio sehingga mengakibatkan bagian syarafnya tidak berfungsi optimal. “Kaki dan tangan mengecil sehingga uratnya menegang dan akhirnya tidak dapat digerakkan. Dengan kondisi seperti ini, saya tidak boleh putus asa. Setiap ketidaksempurnaan pasti ada hikmahnya,” ucap alumni SMA N 1 Bergas ini.
Gadis kelahiran 27 Desember 1994 ini, bahkan sudah memiliki cita-cita menamtakan pendidikannya hingga ke jenjang S-3. Apa yang dialami pada anggota tubuhnya itu lantas menjadikannya malu atau minder. Dia justru mengaku malu ketika tidak bisa memahami materi perkuliahan dengan baik. “Itu aib bagi saya,” ucapnya.
Selain bercita-cita ingin menjadi seorang penerjemah, Lia juga memiliki harapan lain, yakni perhatian pemerintah daerah terutama Kota Semarang untuk menyediakan fasilitas pendukung bagi penyandang disabilitas seperti dirinya.
“Kesempatan dan fasilitas pada penyandang disabilitas masih dinomorduakan selama ini. Di mata Tuhan semua manusia memiliki derajat yang sama, kenapa harus dibedabedakan,” ungkapnya.
Susilo Himawan
(ftr)