Yogyakarta Garap Proyek Trem
A
A
A
YOGYAKARTA - Kemacetan di Kota Yogyakarta dan sekitarnya kian parah. Ini adalah bukti ketidakpercayaan masyarakat terhadap armada angkutan umum yang ada.
Memang harus diakui kemacetan lebih banyak disebabkan tingginya volume kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua. Padahal jumlah angkutan umum sebenarnya lebih dari cukup untuk melayani 450.000 warga Kota Yogyakarta. Transjogja menyediakan 74 unit, bus per kota dan pedesaan ada 521 unit, serta armada taksi 812 unit.
Jumlah armada yang lumayan itu tidak sebanding dengan tingkat keterisian pe num pang atau okupasinya. Tingkat ke terisiannya di bawah ideal. Bus kota rata-rata hanya terisi 20%, meski idealnya minimal 75%. Sementara Transjogja ting kat keterisiannya relatif lebih bagus.
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DIY, Agus Andriyanto mengatakan, tingkat keterisian khususnya bus perkotaan memang tidak maksimal. “Terisi setengah saja sudah bagus,” ungkapnya, kemarin.
Kurniasih, 30, warga Rejowinangun, Umbulhar jo, Yogyakarta, mengungkapkan pelayanan bus perkotaan tidak nyaman. “Tidak nyaman dinaiki, sopirnya kadang-kadang juga ugal-ugalan. Takut,” ujarnya. Atas pertimbangan itu, dia memilih naik sepeda motor untuk menunjang mobilitasnya sehari-hari.
“Selain itu, kalau naik motor juga lebih gesit, mudah ke mana-mana. Trans jogja juga tidak semua sudut kota dilalui,” kata Kurniasih. Setidaknya tiga alasan tersebut bisa mewakili mayoritas warga Yogyakarta dan sekitarnya enggan memanfaatkan trans portasi umum. Mayoritas warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Alhasil, kendaraan di jalanan makin berjubel.
Kemacetan dan kesemrawutan di sejumlah titik men jadi pemandangan seharihari. Pemda DIY sejatinya sudah memikirkan hal itu, yakni mengurai kemacetan agar tidak semakin parah. Yogyakarta membutuhkan angkutan publik dengan harapan warga yang biasa naik kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum. Hal ini bisa mengurangi kemacetan karena jumlah kendaraan pribadi yang ada jalanan menjadi berkurang.
Angkutan publik yang digadang-gadang tersebut adalah kereta api di tengah perkotaan alias trem. Pemda DI Y menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Perhubungan menyusun kajiannya. Dalam kajian awal trem direncanakan mengitari ring road. Jalur trem juga akan membelah jalan-jalan dalam kota untuk menghubungkan objek wisata dan pusat pendidikan.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Aset UGM, Budi Santoso Wigyosukarto mengungkapkan, pengembangan trem sejalan dengan program green city yang akan diterapkan di DIY. Itu juga akan terhubung dengan program green campus yang dikembangkan UGM selama ini. “Secara bersamaan, UGM juga akan mengembangkan light rail mengitari kampus untuk membatasi jumlah kendaraan yang masuk kawasan kampus,” ungkapnya.
Dosen Teknik Sipil UGM ini mengungkapkan, beban jalan di DIY semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat per tumbuhan kendaraan yang tidak terkendali. Di sisi lain, luas jalan tidak mengalami perluasan signifikan sehingga dampaknya tentu kemacetan. Selain itu, kata Budi, kemacetan juga berimplikasi terhadap konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang semakin tinggi.
Saat terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi muncul keresahan lantaran mayoritas warga menggunakan kendaraan pribadi. “Muncul keresahan karena semua pakai kendaraan masing- masing ,” kata Budi.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sepakat dengan rencana pengembangan trem untuk mengurangi kemacetan di Yogyakarta. Selain itu, pelebaran jalan juga tidak memungkinkan karena dampak sosialnya terlalu tinggi. Hanya Sultan mengakui penerapan trem juga memiliki ken dala bagi Yogyakarta.
Karena ada berbagai moda transportasi tradisional yang beroperasi di Yogyakarta , seperti becak dan andong. Kedua moda transportasi tradisional itu memiliki kecepatan berbeda dengan trem. “Nah, itu akan jadi problem enggak. Itu yang harus diantisipasi,” kata HB X .
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, Ni Made Dw ipanti Indrayanti mengungkapkan, Pemda DIY tetap memberikan ruang terhadap andong dan becak. Salah satunya ditunjukkan melalui penyusunan masterplan jalur ataupun zona angkutan tradisional meliputi becak dan andong pada 2015. “Penyusunan masterplan dialokasikan Rp400 juta dari Danais (Dana Keistimewaan),” katanya.
Menurut dia, masterplan itu akan menjadi acuan pendukung untuk penataan moda transportasi lainnya. Saat ini DIY juga sedang menggarap kajian pengembangan trem di dalam kota. Dalam kajian awal, ada potensi singgungan antara trem dengan angkutan tradisional, yakni becak dan andong. “ Sehingga perlu penataan merinci untuk mengatasi singgungan itu,” ujarnya.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti menegaskan, Yogyakarta yang kian macet membutuhkan angkutan publik seperti trem. “Jangan hanya mengeluh di mana-mana macet tapi mari beralih ke angkutan publik,” katanya. Bahkan, dia berani menjamin trem lebih murah dan lebih cepat dibandingkan menggunakan kend araan pribadi.
Sebab lebih murah karena Pemkot Yogyakarta siap memberikan subsidi. Sosiolog UIN Sunan Kalijaga, Pajar Hatma Indra Jaya mengungkapkan, ada potensi konflik sosial terhadap penerapan trem di Yogyakarta. Pengembangan trem berpeluang bergesekan dengan jalur moda transportasi lain seperti Trans - jogja dan bus kota.
Menurut Hatma , potensi konflik tersebut harus diantisipasi karena sudah menyangkut ekonomi warga. “ Toleransi agama bagus tapi kalau toleransi dalam kehidupan sehari-hari, apalagi yang menyangkut ekonomi, itu sudah hilang ,” katanya. Dia mengusulkan pengembangan trem sebaiknya tidak langsung diterapkan di perkotaan Yogyakarta.
Pemda harus membuat pilot project dulu di lokasi lain. Lokasi paling tepat di air port city Kulonprogo yang lahannya masih luas. “Kalau sudah berhasil, baru diterapkan di perkotaan Yogyakarta,” uja Hatma.
Ridwan anshori
Memang harus diakui kemacetan lebih banyak disebabkan tingginya volume kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua. Padahal jumlah angkutan umum sebenarnya lebih dari cukup untuk melayani 450.000 warga Kota Yogyakarta. Transjogja menyediakan 74 unit, bus per kota dan pedesaan ada 521 unit, serta armada taksi 812 unit.
Jumlah armada yang lumayan itu tidak sebanding dengan tingkat keterisian pe num pang atau okupasinya. Tingkat ke terisiannya di bawah ideal. Bus kota rata-rata hanya terisi 20%, meski idealnya minimal 75%. Sementara Transjogja ting kat keterisiannya relatif lebih bagus.
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DIY, Agus Andriyanto mengatakan, tingkat keterisian khususnya bus perkotaan memang tidak maksimal. “Terisi setengah saja sudah bagus,” ungkapnya, kemarin.
Kurniasih, 30, warga Rejowinangun, Umbulhar jo, Yogyakarta, mengungkapkan pelayanan bus perkotaan tidak nyaman. “Tidak nyaman dinaiki, sopirnya kadang-kadang juga ugal-ugalan. Takut,” ujarnya. Atas pertimbangan itu, dia memilih naik sepeda motor untuk menunjang mobilitasnya sehari-hari.
“Selain itu, kalau naik motor juga lebih gesit, mudah ke mana-mana. Trans jogja juga tidak semua sudut kota dilalui,” kata Kurniasih. Setidaknya tiga alasan tersebut bisa mewakili mayoritas warga Yogyakarta dan sekitarnya enggan memanfaatkan trans portasi umum. Mayoritas warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Alhasil, kendaraan di jalanan makin berjubel.
Kemacetan dan kesemrawutan di sejumlah titik men jadi pemandangan seharihari. Pemda DIY sejatinya sudah memikirkan hal itu, yakni mengurai kemacetan agar tidak semakin parah. Yogyakarta membutuhkan angkutan publik dengan harapan warga yang biasa naik kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum. Hal ini bisa mengurangi kemacetan karena jumlah kendaraan pribadi yang ada jalanan menjadi berkurang.
Angkutan publik yang digadang-gadang tersebut adalah kereta api di tengah perkotaan alias trem. Pemda DI Y menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Perhubungan menyusun kajiannya. Dalam kajian awal trem direncanakan mengitari ring road. Jalur trem juga akan membelah jalan-jalan dalam kota untuk menghubungkan objek wisata dan pusat pendidikan.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Aset UGM, Budi Santoso Wigyosukarto mengungkapkan, pengembangan trem sejalan dengan program green city yang akan diterapkan di DIY. Itu juga akan terhubung dengan program green campus yang dikembangkan UGM selama ini. “Secara bersamaan, UGM juga akan mengembangkan light rail mengitari kampus untuk membatasi jumlah kendaraan yang masuk kawasan kampus,” ungkapnya.
Dosen Teknik Sipil UGM ini mengungkapkan, beban jalan di DIY semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat per tumbuhan kendaraan yang tidak terkendali. Di sisi lain, luas jalan tidak mengalami perluasan signifikan sehingga dampaknya tentu kemacetan. Selain itu, kata Budi, kemacetan juga berimplikasi terhadap konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang semakin tinggi.
Saat terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi muncul keresahan lantaran mayoritas warga menggunakan kendaraan pribadi. “Muncul keresahan karena semua pakai kendaraan masing- masing ,” kata Budi.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sepakat dengan rencana pengembangan trem untuk mengurangi kemacetan di Yogyakarta. Selain itu, pelebaran jalan juga tidak memungkinkan karena dampak sosialnya terlalu tinggi. Hanya Sultan mengakui penerapan trem juga memiliki ken dala bagi Yogyakarta.
Karena ada berbagai moda transportasi tradisional yang beroperasi di Yogyakarta , seperti becak dan andong. Kedua moda transportasi tradisional itu memiliki kecepatan berbeda dengan trem. “Nah, itu akan jadi problem enggak. Itu yang harus diantisipasi,” kata HB X .
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, Ni Made Dw ipanti Indrayanti mengungkapkan, Pemda DIY tetap memberikan ruang terhadap andong dan becak. Salah satunya ditunjukkan melalui penyusunan masterplan jalur ataupun zona angkutan tradisional meliputi becak dan andong pada 2015. “Penyusunan masterplan dialokasikan Rp400 juta dari Danais (Dana Keistimewaan),” katanya.
Menurut dia, masterplan itu akan menjadi acuan pendukung untuk penataan moda transportasi lainnya. Saat ini DIY juga sedang menggarap kajian pengembangan trem di dalam kota. Dalam kajian awal, ada potensi singgungan antara trem dengan angkutan tradisional, yakni becak dan andong. “ Sehingga perlu penataan merinci untuk mengatasi singgungan itu,” ujarnya.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti menegaskan, Yogyakarta yang kian macet membutuhkan angkutan publik seperti trem. “Jangan hanya mengeluh di mana-mana macet tapi mari beralih ke angkutan publik,” katanya. Bahkan, dia berani menjamin trem lebih murah dan lebih cepat dibandingkan menggunakan kend araan pribadi.
Sebab lebih murah karena Pemkot Yogyakarta siap memberikan subsidi. Sosiolog UIN Sunan Kalijaga, Pajar Hatma Indra Jaya mengungkapkan, ada potensi konflik sosial terhadap penerapan trem di Yogyakarta. Pengembangan trem berpeluang bergesekan dengan jalur moda transportasi lain seperti Trans - jogja dan bus kota.
Menurut Hatma , potensi konflik tersebut harus diantisipasi karena sudah menyangkut ekonomi warga. “ Toleransi agama bagus tapi kalau toleransi dalam kehidupan sehari-hari, apalagi yang menyangkut ekonomi, itu sudah hilang ,” katanya. Dia mengusulkan pengembangan trem sebaiknya tidak langsung diterapkan di perkotaan Yogyakarta.
Pemda harus membuat pilot project dulu di lokasi lain. Lokasi paling tepat di air port city Kulonprogo yang lahannya masih luas. “Kalau sudah berhasil, baru diterapkan di perkotaan Yogyakarta,” uja Hatma.
Ridwan anshori
(ftr)