Represif Tangani Demo Tolak BBM, Kapolri Harus Dicopot

Sabtu, 29 November 2014 - 06:27 WIB
Represif Tangani Demo...
Represif Tangani Demo Tolak BBM, Kapolri Harus Dicopot
A A A
JAKARTA - Tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani demo mahasiswa yang menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai berlebihan.

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Iswandi Syahputra menilai, sejak reformasi sampai saat ini, ada gejala polisi lupa diri, karena lepas dari saudara tuanya TNI.

"Mereka euforia, terlalu senang. Saya harap kegembiraan itu jangan kelamaan, cukup satu masa kepemimpinan Presiden saja. Setelah itu kembali profesional," katanya, kepada wartawan, Jumat (28/11/2014).

Menurut Iswandi, sikap polisi yang lupa diri dapat dilihat dari tindakannya yang arogan, karena merasa di bawah perintah Presiden langsung.

Iswandi menyebutkan, pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang paling kentara menjadikan polisi sebagai penopang kekuasaan adalah disaat ini.

"Di zaman Mega sekalipun, polisi tidak main pentung, terukur. Anarkis itu bila mengancam keselamatan, membuat kericuhan kalau cuma bakar ban itu biasa, kecuali melempar bom molotov," jelasnya.

Tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian yang semestinya bertindak sebagai pengayom, pelayan, dan pelindung masyarakat sudah over atau berlebihan.

Iswandi menyebutkan, beberapa tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani aksi demo mahasiswa seperti di Yogyakarta, Makassar, dan lebih buruk lagi di Pekanbaru, di mana polisi memaksa masuk ke dalam masjid dengan menggunakan sepatu hanya karena ingin menangkap pelaku kejahatan.

"Polisi sudah melakukan represif juga melakukan penistaan. Ini lebih parah dari zaman Orde Baru (Orba). Pada zaman itu tidak ada demokrasi, dan polisi belum diajarkan soal HAM, serta bagaimana bernegosiasi. Jadi siapapun yang melawan pemerintah salah. Tindakan tersebut secara politik masih dibenarkan, tapi zaman sekarang ini tidak bisa lagi," katanya.

Padahal, dalam alam demokrasi sekarang ini, siapapun berhak berbeda pandangan dan menyampaikan pendapatnya. Apalagi, mereka yang berunjukrasa adalah rakyat Indonesia.

"Itu rakyat kita juga, polisi digaji oleh rakyat. Baru bakar ban sudah ditembakkan gas air mata. Bahkan di Pekanbaru itu udah dikatakan penistaan. Jangankan polisi, Nabi, Presiden saja lepas alas kaki kalau masuk ke masjid," terangnya.

Oleh karena itu, institusi kepolisian harus dikembalikan ke bawah kementerian, dan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman harus dicopot, karena tidak bisa memimpin anggotanya.

"Ini persoalan kebanggaan kalau di bawah Presiden langsung. Kalau di bawah Presiden sulit melakukan pemanggilan langsung kalau terjadi tindakan yang melanggar. Kalau di bawah kementerian, ada kontrol budget dan kebijakan," ujar Iswandi.

Dia menambahkan, Presiden Jokowi harus mengambil tindakan tegas mencopot Kapolri. Sebab jika tidak, itu artinya Presiden bagian dari kekerasan karena membiarkan kekerasan terjadi.

"Kita pernah menjalani masa yang lebih keras, tapi bisa diselesaikan dengan hangat. Kapolri harus meminta maaf kepada rakyat," ungkapnya.

Tidak hanya itu, Komisi III DPR RI juga harus segera memanggil Kapolri untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan jajarannya.

"DPR jangan ribut sendiri, ini rakyat sudah menjadi korban seperti di Sulawesi. Apalagi itu terjadi sebelum 40 hari pemerintahan Jokowi," tukasnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1139 seconds (0.1#10.140)